Impian

1510 Kata
Gerald main ke rumah Zoya, dia juga membawa buku tugas bahasa Inggris di tangannya. Saat itu Shana langsung menyuruhnya naik ke lantai atas, ke kamar Zoya. "Siapa?" Zian mendengar istrinya bicara dengan seseorang. "Gerald, dia akhir-akhir ini terlihat sangat serius dengan pelajarannya. Main saja bawa buku!" Shana sudah mengenal karakter teman-teman dekat Zoya, dan Gerald yang dia kenal bukan anak yang malas, tapi juga bukan anak yang rajin. Tertawa, Zian juga merasa lucu mendengar Gerald main bawa buku. "Anak itu sangat menarik. Aku bertemu dengan papanya kemarin, di Restoran dekat proyek pembangunan apartemen. Dia mengeluhkan Gerald memilih jalan yang berbeda dari yang telah direncanakan setelah lulus nanti. Anak itu bahkan bertengkar dengan orangtuanya. Tidak tahu apa keinginan anak itu!" "Benarkah? Anak-anak memang selalu sangat sulit ditebak. Tapi bukankah itu hebat? Mereka sangat kreatif, tahu apa yang mereka inginkan!" Shana malah menganggap itu hal bagus, anak-anak tidak boleh hanya menurut, tanpa memahami keinginannya sendiri. "Kalian membicarakan tentang siapa? Aku?" Raksa baru saja datang, dia langsung mencari keberadaan Shana dan Zian terlebih dahulu. Seperti biasanya, jika tidak sedang sibuk, orangtua Zoya akan berada di ruangan tengah. Sekedar mengobrol atau menonton film, layaknya pasangan romantis dalam film. Usia mereka bukan batasan untuk saling menunjukkan cinta. Shana langsung menepuk tempat di sebelahnya, agar Raksa duduk di sana. "Gerald, anak itu bertengkar dengan orangtuanya, karena memiliki keinginan yang berbeda dari apa yang diharapkan orangtuanya!" Raksa sudah duduk, dan dia mendapatkan pelukan singkat dari Shana. Dengan sengaja dia melirik pada Zian, menyombongkan kemesraan dengan Shana barusan. Sangat menyenangkan menggoda papanya Zoya, meskipun dia tahu Zian hanya pura-pura bereaksi cemburu. Karena Zian pasti tahu dia menggodanya. "Anak nakal!" Zian melemparkan bantal, ditangkap oleh Raksa dengan mudah. "Oh tentang Gerald, Zoya juga pernah bilang Gerald akan menjadi lebih baik dalam memotret di masa depan. Mungkinkah kalau Gerald akan terjun di dunia fotografi, atau mungkin hal yang lebih besar tentang menggambil gambar!" Raksa sangat ingat dengan yang Zoya katakan, karena beberapa kali juga Zoya memuji hasil pengambilan gambar yang Gerald lakukan untuknya. Mengerutkan keningnya, Zian berpikir itu mungkin saja. Karena akhir-akhir ini Zoya juga bercerita tentang kegemaran Gerald pada kamera miliknya yang dipinjam Gerald beberapa waktu lalu. "Mungkin saja seperti itu!" "Zoya seperti cenayang saja. Kalau kamu, apa yang kamu inginkan di masa depan?" tanya Shana pada Raksa. Raksa bingung, dia tidak memiliki mimpi apapun. Bahkan dia tidak pernah merencanakan apa yang akan dilakukannya besok. Dia melewati waktu dengan pikiran masih hidup atau tidak besok. Rasa sakit yang begitu menyiksa fisik dan mentalnya, membuatnya lupa apa itu sebuah mimpi. Hingga akhirnya dia tidak merasa sakit lagi, tapi tinggal di waktu yang salah. "Aku belum tahu!" jawab Raksa menatap bergantian antara Shana dan Zian. "Tidak masalah. Pikirkan setelah ini, kamu juga harus tahu apa yang kamu inginkan. Hiduplah sesuai apa yang kamu inginkan, jika bisa. Karena hidup terlalu singkat, jangan sampai kamu melewatkan momen milikmu sendiri!" Shana mengulurkan tangannya mengusap puncak kepala anak laki-laki di sampingnya. Ikut tersenyum, Raksa mengalihkan tatapannya pada Zian. Laki-laki itu juga sedang melihatnya dengan senyum tipis. Seolah-olah mengatakan kalau apa yang dikatakan istrinya, dia menyetujuinya. "Aku mengerti!" Raksa rasanya sangat ingin memeluk pasangan itu erat. Bagaimana mungkin ada orang yang begitu baik, seperti mereka. Terutama Zian, dia akan berhutang terlalu banyak padanya. Bagaimana caranya dia membalas? "Aku akan menemui Zoya!" Raksa beranjak meninggalkan Shana juga Zian. Senyum yang tadinya terpanjang di wajahnya, langsung lenyap begitu dia membalikkan badan. Berjalan menjauh menahan perasaan sesak, dia tidak mau menunjukkan emosi yang dirasakannya pada Zian dan Shana. Tidak akan ada yang mengerti seberapa besar tekanan yang dirasakannya, saat pertama kali mengenal keluarga Pyralis. Betapa sesak dadanya, tiap kali melihat kebaikan keluarga itu. Berjalan menuju kamar Zoya. Sebelum membuka pintu, Raksa menarik napas beberapa kali dan mencoba tersenyum. Baru setelah dia merasa lebih baik, tangannya membuka pintu kamar Zoya. Pemandangan yang dilihatnya, Zoya sedang melakukan workout, sedangkan Gerald sedang mengerjakan sesuatu di bukunya. Berjalan mendekati Zoya, dia mengulurkan tangannya untuk mengusap keringat di keningnya. Zoya juga langsung berhenti melakukan workout, merebahkan badannya di atas karpet. "Bantuin Gerald sana. Gue mau mandi dulu. Eh, minta minum ke mama gue sana, atau bikin sendiri. Harus mandiri ya!" Zoya melenggang pergi ke kamar mandinya. "Jangan lama-lama mandinya, nanti masuk angin!" Raksa berteriak. "Iye!" Zoya balas berteriak dari kamar mandi. Gerald melirik pada Raksa. "Lo suka sama Zoya?" "Mana ada!" Raksa reflek menjawab, bahkan ekspresinya menunjukkan jika dia tidak terima dengan pertanyaan itu. Gerald memperhatikan ekspresi di wajah Zoya. "Oh, bagus deh. Berarti Lo gak bakal patah hati!" "Hah, gimana?" Raksa sudah cukup akrab dengan Gerald, karena sering main game bersama. Sebenarnya Gerald adalah teman kedua bagi Raksa, setelah Zoya. Gerald meletakkan penanya, kemudian menghadap pada Raksa yang masih berdiri di hadapannya. Dia menanyakan hal tersebut, karena merasa sangat sayang pada Zoya, dan mulai cukup menyukai karakter Raksa sebagai teman barunya. Jika Raksa memiliki perasaan lebih pada Zoya, maka akan sangat menyedihkan. Karena dia sangat mengenal Zoya. "Lo perhatian dan sangat dekat dengan Zoya maupun keluarganya. Bagus kalo Lo gak ada perasaan seperti itu sama Zoya, karena Zoya pernah bilang Lo kayak adek buat dia!" Tersenyum lebar, bahkan Raksa juga menghirup napas lega. Duduk di sebelah Gerald, dan menatap ke arah pintu balkon yang terbuka, memperlihatkan pemandangan malam. "Dia kakak gue, jadi tentu gue akan perhatiin dia, jaga dia!" "Lo sebenarnya siapa? Kami gak pernah tahu tentang keluarga Lo, kenapa lo mau tinggal di rumah sebelah sendirian. Jika Lo gak ada perasaan lebih ke Zoya, kenapa Lo deketin dia. Gak mungkin Lo tiba-tiba anggap dia kakak, kita seumuran. Itu terlalu gak masuk akal!" Gerald sudah sangat penasaran, dia bahkan juga pernah membicarakan tentang Raksa dengan Zoya beberapa waktu lalu. Kehadirannya sangat misterius, dan anehnya keberadaannya tidak bisa ditolak, mereka tidak merasa terganggu dengan kehadirannya yang cukup asing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Raksa mengedipkan matanya beberapa kali. "Gue juga gak bisa jawab pertanyaan Lo, yang pasti gue ada di sini karena takdir. Dan tentang keluarga gue, mereka ada di tempat lain, gue anak tunggal!" Gerald tidak merasa puas dengan jawaban yang diberikan Raksa. Tapi karena Raksa laki-laki yang baik, maka dia tidak ingin membuatnya terusik dengan pertanyaannya barusan. "Okay, gue cuma penasaran aja!" "Hm!" Raksa tersenyum lebar, dia kemudian melihat tugas yang sedang dikerjakan oleh Gerald. "Lo mau jadi apa nanti? Maksud gue tentang mimpi Lo. Tadi, Shana bertanya tentang ini, gue gak punya impian!" Raksa menoleh pada Gerald yang masih sibuk dengan tugasnya. Tidak langsung menjawab, Gerald masih berpikir apakah akan mengatakannya pada Raksa atau tidak. Karena dia belum mengatakannya pada siapapun. Bahkan Mia, Zoya dan Ariel sebagai sahabatnya saja dia belum memberitahukannya. "Ini masih rahasia, karena gue perlu mempersiapkan mimpi itu. Tapi gue bakal kasih tahu ke Lo, agar Lo juga nanti kepikiran untuk memiliki mimpi Lo sendiri!" Gerald kembali meletakkan penanya. Kini dia bangkit untuk mengambil laptop Zoya di atas meja belajarnya. Membukanya, dan menunjukkan file foto pada Raksa. "Gue mau jadi fotografer profesional. Saat gue mengambil foto, rasanya sangat bersemangat, gue baru menyadari setelah Zoya minta gue fotoin dia. Awalnya gue masih ragu, karena dulu fotografi hanya gue anggap sebagai hobi aja!" Raksa menatap kosong, dia bahkan memiringkan kepalanya. "Wah, mimpi yang hebat. Tapi Lo benaran ini masih rahasia?" "Iya, gue bakal kasih tahu temen-temen pas gue udah siap nanti!" Gerald berencana meyakinkan orangtuanya, juga memperdalam ia llmu tentang fotografi, baru nanti akan memberitahukan pada yang lainnya. "Gimana Zoya bisa tahu?" Raksa bergumam. Dia mencoba menemukan alasan, dan berpikir mungkin Zoya sudah sangat mengenal Gerald luar dalam, sehingga bisa tahu minatnya. "Hah? Lo ngomong gak jelas, begok!" Gerald agak kesal, karena dia sedang bicara cukup serius, tapi Raksa malah bicara tidak jelas. "Kok mukul!" Raksa memegangi belakang kepalanya, Gerald mendorong kepalanya. "Bales aja, gue pukul dua kali lipat!" Gerald sudah bersiap dengan tangan terangkat. Dia pikir Raksa akan membalas, karena teman-temannya biasanya begitu. Candaan anak lelaki terlihat agak kasar. Tapi tidak sesuai ekspektasi, Raksa hanya cemberut saja. "Hah, sono buat minum. Haus gue!" perintah Gerald, bersamaan dengan Zoya yang baru selesai mandi dan berpakaian. Terlihat sedang akan mengeringkan rambutnya. Raksa menurut. Dia langsung akan berjalan keluar dari kamar Zoya untuk membuat minuman. "Minta mama buatin makan aja, Lo belum makan kan?" Zoya menginterupsi. Raksa juga langsung mengangguk, dia memang belum makan malam. "Lo ambil aja minuman di kulkas kecil itu, kayaknya masih ada deh isinya!" saran Zoya untuk Gerald, karena mungkin memang sedang haus. "Lo cuma sayang sama tu anak. Gue juga laper kali, Zo!" Gerald berjalan menuju kulkas kecil di pojok ruangan sambil mengungkapkan protes. "Gak usah manja, biasanya juga kalo mau makan tinggal ke dapur. Sono ikut si Raksa!" Zoya mengeringkan rambut pendeknya, sambil memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Karena tangannya yang terangkat, dia jadi malah fokus melihat pada pantulan gelang. Ingat gelang itu bersinar, saat dia menepuk pipi Lander waktu itu. Padahal sebelumnya tidak pernah, apakah itu sebuah pertanda? Tapi sudah dua hari ini dia tidak merasakan sakit lagi pada perutnya. Aneh. Zoya memperhatikan gelang di tangannya dan melihat tulisan di bagian dalamnya. "Lander!" Padahal gelang itu untuk Luna, sengaja dia ukir nama Lander pada gelang tersebut. Seakan dia mengikhlaskan nama yang dulu pernah ada di hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN