Sebagai seorang nona muda, semua kebutuhannya terpenuhi. Dengan fisik yang menarik dan juga kepribadian yang baik, sesungguhnya Zoya sangat sempurna untuk ukuran remaja wanita. Banyak yang mencoba mendekatinya, dari sekolah lain maupun dari sekolahnya sendiri.
"Lo selalu dapat coklat dari penggemar Lo. Mereka gak kepikiran kasih yang laennya gitu?" Tisa mengecek setiap kemasan coklat dengan aneka rasa berbeda. Bentuk yang normal hingga yang lucu. Dia adalah orang yang akan memakan itu semua nantinya, tapi jika diingat-ingat sisa yang kemarin-kemarin saja masih banyak. Tapi setiap harinya coklat terus bertambah.
Zoya mengangkat bahunya dengan ekspresi datar. "Gue ngerasa gak enak, karena gak makan hadiah mereka. Jika aja mereka ingat, gue seorang model, tentu gak bisa makan coklat setiap hari!"
"Mereka emang begok!" Tisa mengambil semua coklat masuk ke paper bag miliknya, selagi memaki.
"Gue jadi kebayang, gimana kalo suatu hari Lo memutuskan nikah muda, karena sudah tidak tahan dikejar oleh banyaknya laki-laki!" Tisa tidak akan heran, jika suatu hari nanti Zoya lebih dulu menikah. Karena pasti akan banyak laki-laki ingin menikahinya.
"Apaan sih, malah bahas nikah. Masa depan gak ada yang tahu, bisa aja gue malah memutuskan gak menikah!" Zoya memejamkan matanya, sangat enggan untuk membicarakannya.
"Bukan gitu konsepnya, tapi …," Tisa belum selesai bicara, saat melihat Zoya menutupi telinganya dengan mata terpejam.
"Zo, Lo kenapa?" Tisa kaget melihat apa yang dilakukan Zoya.
"Zo? Gue salah ngomong? Atau Lo ngerasa pusing?" Tisa kebingungan, dia mencoba untuk mengajak Zoya bicara dengan lembut, bahkan mengusap rambutnya sayang.
"Gue gak apa-apa!" Zoya mencoba tersenyum, meskipun sedang tidak merasakan kenyamanan.
"Ayo, ikut gue!" Seseorang berjalan mendekat, dengan gaya sombongnya.
"Mau kemana? Bentar lagi guru masuk!" Tisa tidak mengizinkan Lander mengajak Zoya pergi.
Lander mengabaikan Tisa, hanya tatapannya terus tertuju pada Zoya. Gadis itu juga menatap padanya, tapi kemudian dengan sengaja memalingkan wajahnya.
"Gue gak mau!" Zoya sedang tidak mood, perasaannya kembali memburuk. Dia benar-benar benci saat membicarakan tentang masa depan. Sebisa mungkin, dia mencoba untuk tidak mengingat apa yang terjadi di depan sana.
Lander mengerutkan keningnya, mendapatkan penolakan seperti itu. Dia ingin memaksa, tapi orang-orang di sekitar menatapnya tidak suka. Terutama para laki-laki di kelasnya, mereka mengawasinya seperti melihat seorang lawan.
"Lo yakin?"
"Hm!" Zoya masih tidak mau melihat pada Lander. Dia tahu sikapnya agak kekanakan. Padahal dia bukan remaja lagi seperti mereka.
Setelah itu Lander langsung berbalik dan berjalan keluar kelas. Semua anak di kelas itu merasa Lander jadi lebih aneh lagi. Mereka semakin tidak menyukainya, terutama karena saat ulangan, Lander adalah orang yang sangat menyebalkan.
Zoya melihat kepergian Lander, dia tidak tahu kenapa laki-laki itu tadi memintanya ikut bersamanya. Tapi bukan salahnya, karena Lander tidak mengatakan alasannya.
_
Setelah jam istirahat, Zoya pergi ke perpustakaan. Dia tidak melihat Lander masuk ke kelas setelah pergi pagi tadi. Karenanya, dia berpikir laki-laki itu ada di perpustakaan.
Tapi setelah ke perpustakaan, dia tidak menemukannya. Membuatnya jadi merasa tidak nyaman. Apakah tadi terjadi sesuatu padanya?
Zoya mencoba mencari Navo, karena mungkin laki-laki itu tahu keberadaan Lander. Tapi di perjalanan, dia bertemu dengan Tisa.
"Lo nyariin dia? Kenapa Zoya? Lo bilang udah gak suka lagi sama dia, tapi sekarang Lo masih peduli dan cari-cari dia?" Tisa tidak suka melihat temannya masih mempedulikan laki-laki kasar itu. Ada banyak laki-laki lain yang jauh lebih baik dari Lander.
Zoya tidak ingat ada kejadian seperti ini dalam ingatannya. Jadi dia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. "Setidaknya gue harus tahu dia dimana. Tadi gue agak jahat kan?"
"Zoya! Lo masih suka sama dia. Jujur aja, lo masih terus mikirin cowok freak itu, Lo masih suka kan?" Tisa melihat kepanikan di wajah Zoya, dan jawabannya sudah jelas.
"Enggak mungkin, perasaan gue udah mati!" Zoya memegang dadanya, memastikan sesuatu, dan merasa sangat yakin jantungnya tidak lagi berdebar karena Lander. Perasaannya tidak merasakan apapun lagi untuknya.
Tidak mau bicara lagi, Zoya pergi melanjutkan pencariannya. Dia tidak berhasil menemukan Navo di manapun. Bahkan di lapangan juga tidak. Apakah Navo sedang bersama Lander?
"Jangan menangis! Kamu mencari Lander?" Raksa datang dari arah belakang dan memegang bahu Zoya agar melihat padanya.
"Iya!" Zoya menjawab dengan nada datar, dia tidak menangis. Hanya merasa tidak nyaman saja.
"Dia kayaknya buru-buru tadi meninggalkan sekolah. Gosip dari anak-anak, katanya papa Lander dikabarkan lagi sakit. Mungkin dia ada urusan yang berkaitan dengan itu!" Raksa bicara dengan sangat lembut. Dia tadi diberitahu oleh Tisa tentang apa yang terjadi. Dan seketika langsung mencari Zoya.
Gadis itu berdiri diam di pinggir lapangan. Anehnya, saat tadi pertama kali melihatnya, Raksa melihat Zoya seperti sosok lain. Sosok yang diselimuti kesepian. Itulah kenapa dia pikir Zoya sedang menangis. Tapi setelah melihat dengan sangat dekat, Zoya hanya berdiri diam dengan ekspresi kosong. Zoya tidak sedang menangis.
"Zoya!" Navo berlari menghampiri, napasnya tidak teratur dan wajahnya memerah.
"Lo bingungin Zo! Tadi pagi Lo duduk di sana, cuma buat liat dia kan? Tapi kenapa pas dia mau ngomong sama Lo, Lo malah cuekin dia?" Navo bertanya dengan emosional.
"Jaga omongan Lo, Lander bersikap lebih buruk pada Zoya sebelumnya!" Raksa langsung merangkul pundak Zoya, menatap Navo dengan penuh peringatan. Laki-laki itu bicara menyalahkan Zoya, seakan-akan Zoya telah melakukan kejahatan.
Navo melihat Raksa sekilas, selanjutnya tatapannya kembali fokus pada Zoya. "Dia membatalkan rencana kuliah di luar negeri, bapaknya Lander sakit. Dia seharusnya gak balik lagi ke Jakarta, tapi dia tetap stay di sini, sampai hari kelulusannya!"
"Lalu apa masalahnya dengan Zoya!" Raksa menyimak dan merasa semua itu tidak ada hubungannya dengan Zoya.
Zoya mengangkat pandangannya, dia kemudian ingat sesuatu. Yah, kejadian ini mungkin tidak sama persis seperti diingatannya, tapi memang sebenarnya ada diingatannya. Lander diingatannya tidak pernah mempedulikannya, jadi tidak akan bicara hal apapun padanya tentang kehidupan pribadinya. Tapi tadi Lander memintanya ikut dengannya, mungkin ingin bicara padanya. Dengan tanpa alasan yang jelas, dia menolak ajakannya begitu saja.
"Lander kehabisan tiket pesawat?" Zoya ingat.
"Yah, dia dihubungi sektretaris bapaknya tentang kondisinya. Kami mencoba mencari tiket pesawat, tapi tidak ada lagi. Jadwal untuk penerbangan ke Singapura selanjutnya besok pagi. Tadinya Lander mau minta bantuan papa Lo melalui Lo, Zo! Tadi kami bahkan ke Bandara, tapi tetap tidak bisa pergi hari ini! Gue juga udah coba bilang ke papa gue, tapi dia lagi sibuk!" Navo baru selesai bicara, Zoya sudah berlari pergi. "Zoya, mau kemana?"
"Gue bisa usahain. Transit ke kota lain dulu. Pasti ada!" Zoya sering bepergian, dan dia pernah mengalami hal serupa, dan itu tanpa bantuan koneksi dari papanya.
"Lander ada di apartemennya!" Navo menggelengkan kepala frustasi melihat hubungan keduanya.
Raksa memperhatikan kepergian Zoya. Kemudian melihat pada Navo. Sebenarnya yang membuat Raksa bingung, bagaimana Zoya bisa langsung tahu masalahnya, padahal Navo belum memberitahukan.
"Bagaimana Zoya bisa tahu Lander kehabisan tiket, sebelum gue kasih tahu?" Navo baru menyadari keanehan dari percakapan mereka.
"Lo harusnya ngomong ke temen Lo, perlakukan Zoya lebih baik!" Raksa menepuk pundak Navo, kemudian berlalu pergi.