Kenapa dirinya mendadak menjadi tersangka? Kasus seperti apa yang kini menimpa Belva? Mereka memang sangat dekat ketika dirinya menjadi Kacung, tetapi kenapa dia tiba-tiba menjadi pelaku percobaan pembunuhan sekaligus pelecehan?
Ini memang sangat aneh, sekalipun ingatan tidak di tempat. Mana mungkin dia bisa melakukan tindakan tak manusiawi? King merasa ada yang sengaja memanipulasi kenyataan, terkait luka serta bahaya yang mengintai Belva.
Hanya saja, siapa yang akan menyerang dan memburu anak SMA? King terlihat berpikir keras untuk bisa menemukan jawaban tersebut, dirinya tentu sangat tidak menginginkan hal rumit menimpa kehidupan. Jika masih membiarkan semua pendapat mengalir begitu saja, akan sangat menggiring pada opini sesat.
“Biarkan hukum yang memprosesnya, kami akan mengawal kasus ini dengan adil. Nenek tenang saja, Psikopat yang berpura-pura dungu akan segera membusuk di penjara.” Kalimat ini berasal dari salah satu laki-laki berpakaian preman yang melenggang santai menuju mereka, terlihat si pembicara menunjukkan kartu identitas saat benar-benar tiba di hadapannya.
Instingnya mengatakan jika kehadiran orang-orang ini bukan sedang ingin melakukan kerja sama, mereka lebih menunjukkan sikap sebagai lawan. Apa kini seseorang telah membuatnya menjadi seorang tersangka kasus berantai? Sungguh kejutan luar biasa di saat ingatan baru saja kembali, itu pun tidak sepenuhnya bisa menangkap kenangan di kepala.
Rupanya para polisi, mereka gabungan dari Unit Jatanras (Kejahatan dan Kekerasan) serta tim khusus yang dibentuk untuk kasus pembunuhan berantai yang ternyata terjadi sejak dua tahun terakhir. Pria dengan tinggi yang setara dengan King merupakan polisi forensik, kapten yang memimpin tim khusus. Sengaja didatangkan dari Ibu Kota karena keberhasilannya menangkap ‘Tato’, Psikopat yang menganut Satanisme.
Dokter Hans mengenal nama yang berada di kartu, sosok yang sempat mendapatkan penghargaan dari Presiden. Sebab, dengan keberanian serta kecerdasannya mampu menangkap komplotan pelaku pembunuhan para penulis n****+. Kutukan yang terjadi di Jakarta beberapa tahun lalu sempat menjadi trending di mana-mana, berkat pria inilah semua kembali kondusif.
“Apa yang kalian katakan?” Dokter Hans melepas Nenek Sri sebelum berlari melindungi King, “jangan menyentuh pasien, dia tidak dalam kondisi baik-baik saja!”
Peringatan ini sepertinya percuma karena sang polisi hanya mengabaikan, pandangan penuh selidik diberikan pada King yang terlihat santai. Situasi begini bukanlah sesuatu yang baru, hal paling menegangkan pun sudah pernah ia lalui. Termasuk bangkit dari kematian.
“Dokter bisa mendampinginya ke kantor, dia harus menjelaskan semua yang terjadi pada kami.” Sang polisi tampan tersenyum sambil menatap King yang terlihat membeku di tempat, “pria ini harus mengatakan alasan menghabisi gadis-gadis itu.”
King bereaksi, dia mengarahkan tatap pada laki-laki yang kemungkinan memang memiliki usia sama dengan dirinya. Adrian Dhananjaya, kapten tim khusus yang mengincar pelaku pembunuhan berantai. Mereka menyebutnya ‘Hundred Days Hunter’.
Kasus ini terjadi sejak dua tahun lalu, pelaku akan melakukan pembunuhan setiap 100 hari. Belva merupaka korban keenam, tetapi menjadi satu-satunya target yang selamat. Jika melihat luka di perut, bentuknya yang mirip round nib—mata dari fountain pen—menembus perut sekitar lima senti meter.
Namun, yang membuat semua targer tewas bukan karena kedalaman tusukan, melainkan tetanus. Hampir semua korban mendapatkan pertolongan, tetapi sepertinya sengaja dibuang pada saat Clostridium Tetani sudah benar-benar meracuni saraf sehingga bantuan medis pun percuma. Sebab, korban telah mengalami kejang otot akut. Bahkan, ada yang sampai membusuk di bagian perut.
Kemudian, para polisi menemukan petunjuk kuat yang mengarah pada salah satu cucu pemilik toko pernak-pernik di Pasar Seni. Ciri fisik sesuai dengan sketsa kasar pelaku berdasarkan keterangan beberapa saksi. Mereka datang bukan hanya berdasarkan kecurigaan, tetapi barang bukti ditemukan di rumah Dante.
“Pasien kami masih belum bisa diajak berdialog dengan normal, dia mengalami gangguan mental yang parah. Bukankah kondisi ini termasuk pengecualian?” Dokter Hans masih mempertahankan posisi berdirinya, melindungi King dengan penegtahuan yang dimiliki.
"Setiap pelaku kriminal akan mengaku sedang dalam mental buruk, bukankah keinginan melenyapkan nyawa orang lain termasuk perilaku sadar dari seseorang? Jangan mencoba memaklumi setiap kejahatan sebagai bentuk khilaf, lalu menyebut nasib tragis korban atas nama takdir.”
King hanya terus menjadi pendengar setia, dia merasa lucu sekarang. Bahkan, nenek tua yang dalam ingatannya selalu bersikap manis justru mulai memusuhi, benar-benar tak-tik adu domba yang luar biasa. Pelaku tentu sedang tertawa senang di suatu tempat, menertawakan kedunguan para penegak hukum.
“Kami akan bekerja sama setelah kondisinya benar-benar pulih, untuk saat ini jangan memaksa Pasien untuk menghadapi hal-hal yang bisa membuatnya stress sehingga menghambat masa penyembuhan.” Dokter Hans bersikeras melindungi King, ini bentuk loyalitas sebagai keluarga dari Klan Hyena.
Dia dikirim sebagai dokter khusus dari Korea Selatan, dia ditugaskan memantau perkembangan kesehatan laki-laki yang diungsikan karena perang antar Klan di Milan. Namun, kenapa di sini justru menjadi tersangka pembunuhan? Hanya saja, bagaimana cara menjelaskan ketidakterlibatan King dalam kecelakaan yang menimpa Belva?
Jika harus mengungkapkan identitas, tentu hanya akan membuat pria itu semakin berada dalam bahaya. Sebab, keberadaannya sangat diburu oleh musuh. Dia dikabarkan mati di negaranya dan dikembalikan ke tanah kelahiran sang ibu.
“Jika begitu, kami akan berada di rumah sakit ini sampai kesehatannya benar-benar pulih.” Adrian menunjukkan sisi keras kepala yang menyebalkan, “tapi, berikan kartu tanda pengenalnya pada kami.”
Baik King maupun Hans terlihat kaget, timing yang salah. Kondisi fisik dan psikis yang tidak benar-benar stabil hanya akan membuat keributan dengan para polisi, tetapi pria dari Milan tersebut enggan bertindak gegabah. Dia hanya perlu mengikuti arus, berpura-pura menjadi Kacung.
“Kartu?” Tiba-tiba King mengeluarkan suara yang cukup membuat Dokter Hans mengerutkan kening, “ah, flash card? Aku tak membawanya, bagaimana kalau kupanggil kakek agar mengambilkan kartu-kartu itu?”
Dokter Hans sendiri tak bisa membedakan antara akting dan kenyataan, kali ini King benar-benar menjadi Kacung. Tersenyum tanpa beban, sorot mata yang begitu polos mulai terlihat berbeda dari sebelumnya. Cekungan di pipi memaksa para polisi saling pandang, mereka mulai meragukan bukti-bukti yang ditemukan.
“Nenek, di mana Tinker Bell?” King mulai menyapa Nenek Sri yang hanya bengong, “kami harus memberi makan kucing-kucing di pasar, apa Nenek sudah menyiapkan ikan-ikannya?”
King mendekat pada Nenek Sri yang langsung terdiam di tempat, pria dewasa dengan tingkah bocah tersebut tersenyum. Kemudian, memeluknya tanpa sungkan. Kesempatan untuk mengatakan sesuatu pada wanita tua tersebut.
“Nek, Belva sudah tertusuk sebelum kami bertemu. Kemungkinan dia sedang diincar oleh pelaku karena selamat dari maut, aku akan membalas perbuatan siapa pun yang membuat Tinker Bell ketakutan. Percaya padaku.” King berbisik dengan begitu pelan, tetapi nada tegas membuat sang nenek tua terlihat bimbang sejenak.
Siapa yang akan dipercaya saat ini? Laki-laki yang selama ini terlihat begitu kekanakan atau para polisi-polisi itu? Nenek Sri hanya memilih diam, mematung dalam dekapan King.
“Jika mereka menemukan barang bukti di rumah Kakek, apa Nenek pikir aku akan tetap berada di rumah sakit ini?” Lagi-lagi King mengatakannya dengan sangat pelan, “biarkan aku yang menjadi Malaikat Kematian untuk pelaku, Nek.”
Sang nenek kembali gundah, dilemma dengan apa yang saat ini sedang terjadi? Para polisi sudah di depan mata, bukankah sebaiknya dia menyerahkan semua pada para penegak hukum? Apalagi Adrian dikenal sebagai aparat jujur dan berani, kemungkinan kasus Belva akan terpecahkan dengan adil olehnya.
Apa yang akan dia pilih sekarang?
***