Jangan Sentuh

689 Kata
Haruskah aku turun sekarang dan melabrak Mas Pram dan wanita itu? Ah, rasanya tidak perlu. Terlalu barbar dan tidak berkelas. Lebih baik aku fokus saja pada tujuanku semula. Membahagiakan Bapak dan diri sendiri selepas aku keluar dari rumah gedong itu. Kudekap Riana makin erat lantas menciumi bocah dua tahun yang memiliki garis wajah seperti Mas Pram tapi kerap diabaikan oleh nenek dan bibinya. Kita harus kuat, Sayang. Ibu akan berusaha melakukan yang terbaik demi masa depanmu yang cerah. Aku berbisik dalam hati sambil memandang lekat Riana yang tampak menikmati perjalanan dengan menaiki angkot ini. Sesampainya di rumah Astri, suaminya yang kesehariannya bekerja sebagai buruh pabrik terlihat tengah bermain dengan anak laki-lakinya di halaman rumahnya. "Assalamu'alaikum." Aku dan Bapak berucap kompak saat kami sampai di depan rumah Astri yang minimalis tapi terlihat rapi. "Waalaikumussalam." Mas Rio—suami Astri menoleh padaku dan Bapak yang berdiri di sampingku. "Listi, Bapak. Mari masuk!" Mas Rio mempersilakan tamunya ini masuk ke rumah setelah bola di tangannya dia ulurkan pada sang anak. Sejenak, bayang Mas Pram bersama wanita itu aku hilangkan. Ingin fokus pada tujuan utamaku. Astri menyambut baik aku dan Bapak yang berniat mencari informasi tentang usaha pemeliharaan ikan hias yang hasilnya konon lumayan menjanjikan kalau berhasil. Aku memang bertekad memanfaatkan uangku sebaik mungkin agar tak mubadzir dan bisa menjadi modal untuk kesinambungan hidup aku dan keluargaku. Setelah mengobrol lama, aku dan Bapak mendapat banyak informasi dari Mas Rio tentang seluk beluk pemeliharaan ikan hias. "Jadi harus bikin kolam dulu, ya?" Bapak bertanya dengan pelan. Seperti sudah terbayang dalam pikirannya tentang mahalnya biaya membuat kolam ikan. "Iya, Pak. Betul." Mas Rio mengangguk pelan sambil mengurai senyum—membenarkan pertanyaan Bapak. "Apa kamu punya duit sebanyak itu, Lis?" tanya Bapak sambil menunjukkan wajah penuh keraguan saat menatapku. "Loh, Bapak belum dikasih tau, Lis, kalau kamu menang undian?" Astri mengernyitkan dahi sambil menunjukkan wajah bingung. Aku menggeleng samar sambil tersenyum tipis. "Belum, Tri. Takut Bapak nggak percaya kalau aku yang ngomong langsung." "Owalah …." Sontak Astri dan Mas Rio kompak tertawa mendengar penjelasanku. Mendengar keterangan dari Astri tentang aku yang menang undian mobil, membuat Bapak mengucap kalimat hamdallah dan melakukan sujud syukur. Terharu rasanya melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Bapak saat ini. Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya diputuskan pembuatan kolam ikan dimulai hari besok. Beruntung Mas Rio kerja shift malam jadi bisa ikut membantu dan memantau proses pembuatan kolam ikan hias yang menjadi impianku. *** Aku sengaja tak ingin tidur cepat malam ini sebelum memastikan Mas Pram pulang. Ingin rasanya aku meminta penjelasannya tentang siapa wanita yang siang tadi diperlakukannya begitu mesra. "Tumben belum tidur, Lis?" Mas Pram yang masih lengkap dengan baju kerjanya sebagai pekerja kantoran, menanyaiku dengan tatapan heran. "Belum." Aku menjawab dingin pertanyaannya meski dalam hati ada bara yang siap berkobar jika teringat akan pengkhianatannya. "Oh …." Mas Pram tampak santai membuka baju kerjanya. Tak terlihat sedikit pun rasa bersalah di wajahnya karena hampir tak pernah menyentuh anaknya sekadar untuk memberikannya sedikit kasih sayang. "Kamu kenapa, sih, Mas? Pulang telat terus? Apa kamu pengen Riana nggak kenal bapaknya?" Aku mengungkit dengan perasaan geram. Kekesalan yang kupendam padanya selama ini makin bertambah setelah melihatnya tampak mesra dengan seorang perempuan seksi siang tadi. "Lembur, lah … kayak nggak tahu aja." Mas Pram geleng kepala seperti menyepelekan pertanyaanku. Aku mendecak singkat. Menggerutu dalam hati. Kalau saja Riana tak terbangun dan menangis, sudah pasti aku mengolok alasan klasik Mas Pram yang selalu mengatakan lembur padahal entah benar entah tidak alasannya itu. "Ya sudah, aku mandi dulu." Setelah menyambar handuk. Suamiku lantas berjalan ke kamar mandi. Membiarkanku menenangkan Riana seorang diri tanpa mau peduli dengan anaknya ini. Heran. Jadi ayah, kok, bisa begitu cuek dengan anak sendiri. Selepas mandi, Mas Pram mendekatiku seperti ingin meminta haknya malam ini. Buru-buru ku tepis tangannya saat tangan kekarnya menyentuh pundakku yang berbaring miring. "Kamu tahu kan dosa menolak ajakan suami?" desis Mas Pram tajam. Aku mencebik. "Lalu, jalan mesra dengan wanita lain padahal di rumah sudah ada istri, apakah tidak berdosa?" "Ngomong apa kamu, Listi?" berang Mas Pram sambil melotot padaku saat aku menatapnya. "Jangan sentuh aku lagi, Mas. Aku tidak mau masa iddahku terlalu lama." "Apa?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN