Seperti bunga yang tumbuh dan mekar,
Hidup ini pun adalah tentang tumbuh dan berkembang...
Seperti kelopak bunga yang layu,
Hidup ini pula tentang kelemahan dan keikhlasan...
.
.
_____
.
"Nada kemarin malam permisi untuk nggak hadir beberapa hari kedepan. Jadi percuma sih kamu datang kesini, karna dia nggak disini," kata Aida menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan Dana mengenai gadis yang saat ini dengan gigih sedang ia dekati.
Sore itu Aida tengah menyapu halaman rumahnya sambil menyiram bunga - bunga yang beberapa hari lalu baru dikirimkan oleh mamanya atas permintaannya. Di rumah orang tuanya dahulu Aida memang suka sekali menghabiskan waktu luangnya dengan merawat tanaman setelah ia belajar untuk hijrah dan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dari pada sibuk menghabiskan waktunya yang sepi dengan hangout atau hal lain yang berbahaya dan kembali menyesatkannya, lebih baik ia menambah kesibukannya sendiri.
"Jadi kamu di rumah sendiri?" tanya Dana lagi.
Aida menganggukkan kepalanya yang tertutup kerudung instan berwarna kuning seperti kunyit yang sudah tua.
"Reza belum balik?"
Aida melirik ponselnya yang berada diatas meja rotan yang menghiasi teras minimalis rumah sang suami. "Masih jam segini biasanya sih belum. Mungkin bentar lagi. Kan tau sendiri gimana gigih dan getolnya sahabat kalian itu untuk urusan pekerjaannya,"
"Iya, apa lagi aku dengar dari Rendra kemarin ada beberapa orang mengajukan diri untuk menjadi distributornya. Pastilah dia makin sibuk,"
"Hmmm..." jawab Aida sambil memandang lurus ke arah pagar hitam yang tinggi menjulang di depan rumahnya.
'Aku bahkan tak tau apa - apa tentang kondisi peternakan suamiku sendiri,' desahnya dalam hati.
"Kamu kalau mau tahu tentang peternakan, bisa hubungi Rendra, Ai. Rendra itu tangan kanan Reza, dia juga yang mengusulkan Reza untuk mengembangkan bisnis peternakan ini dan berhenti mengajar. Dan ternyata memang Reza juga berbakat,"
"Iya, nanti kalau senggang aku coba tanya - tanya Rendra juga. Itu juga kalau temanmu itu izin. Kemarin aku cuma datang begitu aja dia marah, apalagi kalau aku lancang tanya - tanya ini itu ke Rendra," rutuk Aida.
"Tapi memang beda sekali ya Da,"
Aida menoleh pada Dana, "Apanya?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Rezeki setelah menikah itu. Lihat, kemarin - kemarin distributor mereka tidak membludak seperti sekarang, agen - agen kecil juga semakin bertambah. Mungkin karna ada doa istri sholehah yang sedang menembus lapisan langit, jadi rezeki Reza semakin luar biasa," kata Dana sambil mengelus dagunya yang ditumbuhi beberapa helai rambut halus.
Aida tersenyum, "Makanya kamu juga segera menikah. Bulan depan Rendra, kamu bulan berikutnya,"
"Halaah, ini juga lagi usaha. Tapi ya itu, sepupu suami mu itu masih kucing - kucingan,"
"Ya kamu juga jangan keliatan banget mepetnya, dia juga umurnya masih belasan, pasti masih banyak pertimbangannya. Suka bener ngincar daun muda," canda Aida.
Dana terkekeh geli. Kemudian bangkit dari duduknya, hendak pamit pada Aida. "Ya abis yang seumuran seperti kamu udah ditikung diluan sih. Atau ku tunggu jandamu aja yaa," balas Dana yang berbarengan dengan suara standar sepeda motor matic diturunkan.
Aida dan Dana sontak melirik ke arah sumber suara. Posisi mereka yang membelakangi arah halaman tempat memarkirkan kendaraan dan kondisi jalan yang cukup ramai sore itu membuat mereka tak menyadari ada kendaraan yang masuk ke pekarangan rumah berwarna biru tua itu.
"Mas," sapa Aida kikuk. Tak mengira suaminya pulang lebih cepat dari biasanya.
"Ada apa Dan?" tanya Reza yang berjalan mendekat ke arah tempat Aida dan Reza duduk sembari melepas helm hitam kesayangannya dari kepalanya dengan nada datar.
"Gak ada, bro. Iseng aja singgah. Apa nggak boleh singgah ke rumah sahabat sendiri," jawab Dana yang mencoba mencairkan suasana yang mendadak kikuk itu.
"Ooh,"
"Ya udah deh, kalau gitu aku pamit ya, Ai, Za. Makasih buat teh dan kuenya. Rasanya enak, sepertinya udah bisa deh kamu buka toko sendiri," kata Dana sambil menunjuk kue yang pagi tadi memang dibuat Aida untuk mengisi kekosongan waktunya.
"Eh iya, nanti coba aku fikirin," jawab Aida yang terlihat salah tingkah dimata Reza.
"Oke, hati - hati dijalan," pesan Reza pada Dana yang mulai melangkah menuju sepeda motor besar miliknya.
Pasangan itu menatap kepergian Dana dalam hening.
Aida kemudian berdeham untuk memecah keheningan mereka. Tangannya lantas meraih gelas dan piring kecil bekas makan dan minum Dana tadi.
"Mana Nada?" tanya Reza dingin.
"Nada permisi nggak masuk beberapa hari. Paklek Mulia kemarin malam kecelakaan, jadi Bulik Darmi minta Nada untuk pulang," terang Aida.
"Jadi kamu sendirian?" tanya Reza lagi dengan nada suara yang sulit dimengerti.
Aida yang bangkit sambil memegang gelas dan piring, mencoba tersenyum untuk menjawab pertanyaan suaminya.
Ia berharap sang suami menyesal karena kemarin meninggalkannya sendiri di rumah dalam kondisi jiwa dan raga yang tidak baik - baik saja karena ulahnya.
Reza mencengkram lengan Aida. "Jawab! Bukan malah senyum begitu! Kamu kira senyummu cukup menjawab semuanya!" hardik Reza yang tidak pernah disangka Aida.
"Mas..." kata Aida lirih. Hatinya sedikit gentar mendengar nada amarah dalam suara sang suami. Belum lagi cengkraman pada tangannya yang terasa begitu mengikat membuatnya teringat pada kejadian kemarin siang.
"Lepasin! Ini sakit, Mas!" Aida mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Reza. Tapi tenaganya kalah dengan Reza yang sudah tersulut emosi/
"Aku pergi untuk memberimu waktu befikir, tapi kau malah asik berduaan dengan lelaki itu!" bentak Reza.
"Tapi mas.. dia... dia itu kan Dana, mas.. Dia teman kamu..." kata Aida terbata.
Reza menarik kasar tangan Aida masuk ke rumah yang membuat piring dan gelas ditangannya jatuh dan pecah berserakan di lantai.
"Persetan dengan teman. Diluar sana teman bahkan sahabat yang selalu menjadi orang ketiga dalam rumah tangga! Ayo, masuk. Kita akan langsung ke kamar."
Reza menghempas kasar tangan Aida ketika mereka sampai di kamar Reza yang membuat Aida terjatuh tepat dipinggir tempat tidur berukuran king size milik Reza.
"Apa maksudmu, hah! Ku tunggu jandamu? Jadi kau dan dia sudah membuat rencana untuk segera menjadi janda dan bersatu? Begitu!!!" tanya Reza yang lebih kepada bentakan untuk Aida.
Aida yang tak mampu berkata hanya dapat menggelengkan kepalanya. Mencoba berdiri untuk mempertahankan harga dirinya yang mulai terinjak oleh pria yang bergelar Raja dalam rumah tangganya.
"Apa segitu haus kasih sayangnya kau sehingga begitu ku tinggal satu hari saja kau langsung menggatal? Mencari belaian laki - laki lain? Baiklah, sini, aku akan meladeni kamu semalam suntuk."
Reza berjalan mendekati Aida. Tangannya terulur untuk mengelus wajah Aida yang sudah pucat.
Aida menggelengkan kepalanya dengan cepat. Air mata sudah lolos dari bingkai kelopaknya saat ini.
"Kau sudah rindu untuk dibelai? Apa permainanku kemarin kurang memuaskanmu? Apa setelah bukan lagi seorang perawan, sisi liarmu kembali hidup?"
Reza tersenyum sinis dengan tangan yang mulai turun meraba lengan Aida yang tertutup gamis berlengan panjang.
Tubuh Aida bergetar menahan isak yang sejatinya ingin keluar dari bibirnya. Saat ini ia merasa ngeri pada suaminya sendiri.
Krekkk!!!
Aida tersentak saat tangan besar dan kuat Reza mengoyak lengan bajunya. Mengekspos kulit bahunya yang putih dan mulus. Bibir Reza kemudian menyentuk bahu itu. Aida berusaha melepaskan diri dan mendorong tubuh Reza yang menindihnya. Jeritannya pun tak berguna karena Reza sudah meraup bibirnya dengan sangat rakus.
"Dari dulu kita sudah terbiasa seperti ini, kan? Kau selalu ingin kita melakukan ini, akan ku lakukan," Reza menjejalkan pinggulnya di antara paha Aida.
Aida hanya mampu menggigit bibirnya dengan air mata yang terus mengalir. Rasa asin dan amis darah dari bibirnya semakin terasa ketika Reza menarik lepas kerudung yang dikenakannya dari kepalanya.
"Mas, tolong... Jangan begini. Sakit...ini sakit...." Aida kembali mencoba mendorong tubuh Reza saat perih dirasakannya pada bagian inti tubuhnya. Aida memejamkan matanya, menulikan telinga dan memati rasakan tubuhnya saat Reza kembali menyatukan diri padanya dengan kasar. Bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit karena sebuah paksaan yang tiba - tiba, tapi juga harga dirinya yang sudah terobek sampai ke bentuk serpihan.
Tak ada kelembutan, tak ada kasih sayang, tak ada cumbuan mesra. Reza terus menekan tubuhnya dengan paksaan dan gerakan kasar. Mengabaikan rintihan demi rintihan yang dilontarkan bibir tipis Aida yang terus mencoba untuk mengatupkan pahanya berkali - kali.
"Udah, Mas. Tolong jangan begini..." Aida masih terisak. Namun Reza tidak mendengarkannya. Lanjut menuntaskan hasrat yang malam itu menjadi kejahatan bagi istrinya sendiri. Hanya rasa pedih dan sakit yang tersisa dari semua aksinya.
"Jangan pernah berharap kau akan berpisah dariku! Kau harus ingat kalau aku sudah membelimu dari Papamu yang kaya raya itu!" kata Reza sinis setelah puas menuntaskan hasratnya, sambil melempar kasar kerudung Aida dan berlalu masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
.
.
.
_____