T I G A B E L A S

1077 Kata
Heri masih tidak mengatakan apa-apa, setelah dia menoleh ke arahku, dia kembali fokus lagi ke sepatunya. Kini sepatunya sudah terpasang dua-dua nya dan Heri pun berdiri dari duduknya. Aku ikut berdiri. "Kamu beneran mau pulang?" tanyaku lagi. "Iya, aku mau pulang." ucap Heri lalu dia berjalan keluar tanpa mempedulikan aku. "Tunggu, tunggu." Ucapku sambil meraih tangannya untuk menghentikannya, Heri pun berhenti berjalan tanpa menoleh ke arahku. "Kok tiba-tiba?Aku ngerti kamu pasti marah. Tapi aku nggak bermaksud ngebentak atau apapun itu. Aku nggak nyaman aja. Aku juga takut kalau nanti ada yang datang ke rumah. Nanti kalau ada yang datang gimana?" tanyaku lagi pada Heri, aku berusaha menjelaskan apapun alasan yang sebenarnya terjadi. Dan apa yang aku ucapkan itu benar-benar hal yang aku takutkan selain aku merasa tidak nyaman karena Heri menciumi pundak dan leherku terus. "Kamu mikir apa tentang aku emangnya?" tanya Heri. Aku terdiam. Pertanyaan telak yang bila ku jawab pun, akan membuat Heri marah. Sebenarnya aku tidak berpikir macam-macam pada Heri, aku tidak berpikir Heri cowok yang brengs*k atau apa pun. Aku hanya tidak nyaman saja. Itu saja. "Kamu mikir aku cowok yang nggak-nggak?" tanya Heri lagi saat aku belum juga menjawab pertanyaannya. "Nggak, nggak gitu. Sumpah, nggak gitu." ucapku lagi berusaha agak Heri percaya. "Ya terus gimana? Kamu nyuruh aku stop kayak aku cowok apaan aja." ucap Heri lagi. "Heri, aku kan udah jelasin. Bukan itu maksud aku." ucapku lagi. Heri lalu menatapku dengan tatapan kesal. "Yaudah, aku mau pulang." ucap Heri seperti tidak ada solusi lain selain pulang. Memangnya kalau dia pulang, masalah ini akan selesai? Memangnya dengan dia pulang, dia akan mengerti maksudku? Bukannya hal ini harusnya dibicarakan dengan baik-baik? Kalau dia pulang, yang ada aku harus menunggu kabar Heri lagi. Kalau dia pulang dengan keadaan seperti ini, aku yakin mungkin Heri akan mengabariku seminggu lagi. Apa aku harus menunggu terus? "Kenapa harus pulang? Kita kan mau menghabiskan waktu sama-sama hari ini." Ucapku. Entah kenapa mataku berkaca-kaca. Aku tidak siap harus menunggu berhari-hari lagi hanya untuk dikabari. Dia tidak marah saja mungkin aku akan dikabari dua hari sekali saja. Ini kesempatan aku dan dia untuk menghabiskan waktu bersama. Tapi aku malah merusaknya. "Menghabiskan waktu sama-sama? Kamu aku begitu aja nyuruh berhenti terus," ucap Heri lagi. Aku terdiam, tidak mengerti dengan maksud ucapan Heri. Apa maksudnya aku harus terima saja walaupun aku tidak nyaman? "Kita duduk dulu boleh nggak? Aku nggak ngerti sama yang kamu omongin. Oke, kamu boleh pulang. Tapi setelah masalah ini clear." pintaku lagi padanya. Heri terdiam, tampak menimbang-nimbang permintaanku. Kini aku mengurangi egoku, aku akan membiarkannya pulang, tapi dengan syarat kita berdua harus membicarakan masalah ini terlebih dahulu sampai benar-benar selesai. "Ya?" pintaku lagi, memohon Heri untuk menjawab 'ya' atas permintaanku. Aku merasa permintaanku bukanlah permintaan yang berat, bahkan menurutku dengan kita membicarakan permasalahan yang bahkan sebenarnya hanya salah paham ini akan lebih baik dari pada Heri harus pulang tanpa menyelesaikan masalah. Yang ada malah menambah masalah. "Buat apa kita omongin? Kalo kita omongin emang kamu bakal ngebolehin aku cium kamu lagi?" tanya Heri lagi. Aku menganga, kaget dengan pertanyaan Heri yang menohok seperti itu. Kenapa dia malah tidak bisa melihat maksudku? Apa dia benar-benar ingin melakukan itu? Apa itu concern utamanya? Padahal ada hal lain yang bisa lebih dilihat daripada sekedar hanya hal yang tadi. Apa dia hanya ingin menciumku? Apa itu yang membuatnya merasa lebih baik ketimbang hanya berada di dekatku? Flashback ends Setelah membayar di kasir, kami berdua masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil kita menikmati es krim gratis dari restoran All You Can Eat tadi. Risky terlihat senang, ia memilih es krim rasa semangka dan melahapnya dengan wajah sumringah. Aku ikut sumringah melihatnya. "Udah nggak enek, nih?" godaku padanya karena sebelumnya wajahnya terlihat sangat tidak nyaman dengan after taste makanan yang tadi. "Udah nggak, ini penolongnya." jawab Risky sambil mengacungkan es krim semangka yang sudah habis setengahnya itu. Aku sendiri memilih es krim rasa cokelat dan melahapnya dengan perasaan yang senang. Lalu saat menikmati es krim tersebut, rasa sedih menggerogoti hatiku karena teringat bahwa setelah ini aku dan Risky akan jauh lagi. Tapi aku tidak mengatakannya pada Risky karena aku takut dia malah jadi ikut kepikiran. Risky tidak suka aku sedih. Jadi aku tidak akan sedih. Tapi itu semua adalah omong kosong karena saat ini aku malah sedang menangis. "Sayang..." panggil Risky sambil mencoba mengusap punggung tanganku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menyetir. Kita sudah beranjak dari parkiran dan sedang menuju tempat lain. "Aku sedih." ucapku lagi lalu aku memindahkan diri untuk menyender di pundak Risky. "Ya ampun kasian banget." ucap Risky dengan nada setulus mungkin. "Nanti aku pulang lagi ke sini." lanjut Risky. Risky selalu menyebut kota yang aku tinggali adalah rumahnya, karena Risky bilang di kota ini ada orang spesial, yaitu aku. Memang terdengar agak gombal, sih. Tapi masa bodo. Aku tetap mempercayainya karena Risky memang selalu menepati janjinya untuk pulang menemuiku. Aku juga akan setia menunggunya di sini. Huft, hubungan jarak jauh memang sangat melelahkan hati. Karena mau melakukan hal bersama dengan Risky juga rasanya susah sekali. Bahkan banyak sekali wish list kita yang belum terpenuhi karena waktu kita yang tidak cukup. Rasanya dua hari tidak cukup sama sekali. Aku rasa ingin sekali sebulan bersama dengan Risky. Tapi itu tidak mungkin karena kita berdua memiliki kesibukan masing-masing. Tidak mungkin kita akan meninggalkan tanggung jawab tersebut, kan? Satu-satunya solusi agar bisa terus dekat adalah menikah. Tapi menikah kan tidak semudah itu. Harus banyak yang dipersiapkan. Aku dan Risky juga harus memikirkan matang-matang. Karena menikah bukan hanya tentang cinta-cintaan. Aku sendiri belum siap karena finansial, spiritual dan emotionalku belum mumpuni. Di tambah lagi menikah itu bukan hanya tentang aku dan Risky. Tapi ini tentang dua keluarga yang akan disatukan lewat janji suci yang akan Risky ucapkan. Kalau dipikir-pikir soal kesiapan menikah, temanku pernah bilang bahwa jangan menikah menunggu siap karena sampai kapan pun tidak akan pernah siap. "Kamu juga sedih, nggak?" tanyaku pada Risky. Risky mengangguk. "Tentu aja aku sedih, tapi aku harus kuat. Aku nggak mau mengantongi sedih pulang dari sini. Aku mikirnya aku akan ke sini lagi, jadi itu obat rasa sedih aku. Saat aku sedih nih mau pisah sama kamu, aku selalu berpikir bahwa nanti aku akan ke sini lagi ketemu kamu. Jadi aku langsung semangat lagi. Terus, kalau misal aku sedih, siapa yang nguatin? Kita harus saling menguatkan, ya. Nanti ada saatnya kamu yang harus kuat." ucap Risky dengan bijaksana. Lalu mendengar itu, tangisanku makin menjadi-jadi. Manusia baik ini, kenapa kita baru bertemu? Kenapa tidak dari dulu saja?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN