Pactum | 3

1171 Kata
Kenan Almeer, CEO salah satu perusahaan terkenal ibu Kota dalam bidang properti milik turun temurun dari keluarga besarnya, Almeer's Group. Kenan berusia tiga puluh lima tahun, lebih tua dua belas tahun dari istrinya—Natasya. Kenan adalah pewaris tunggal keluarga Almeer, dulu Violet—ibu Kenan mengalami keguguran dan pendarahan hebat yang mengakibatkan pengangkatan rahim. Namun karena Violet sangat ingin memiliki seorang putri, dia bersama sang suami memutuskan mengadopsi anak yang hingga saat ini begitu mereka sayangi seperti anak kandung sendiri. Kenan juga menyayangi adik perempuannya satu itu, dia bernama Senja Almeer, begitu cantik dan tumbuh menjadi anak dengan segudang prestasi, memang tak pernah gagal didikan dari keluarga Almeer, semua menjadi seseorang yang berguna dalam bidang yang sedang digeluti. Berbeda dari Kenan yang memilih menetap di Indonesia setelah dia berhasil menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Harvard University, Senja memilih menetap di sana. Kuliah sambil bekerja menjadi seorang pembisnis yang handal di bidang busana dan penata rias adalah pilihannya yang mendapat dukungan oleh orang-orang terdekat. Senja akan pulang ke Indonesia ketika masa liburan, atau bisa juga saat dia merasa bosan dan rindu keluarga. Kenan meraih handuk putih yang tergantung di tempatnya, melilitkan ke pinggang. Membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka memperlihatkan otot-otot perut yang terpahat sangat apik. Lengan kekar terdapat banyak bulu itu menyugar rambutnya yang hitam dan basah, mengurangi kadar air di sana. Mata hitam milik Kenan menelisik diri melalui cermin besar di hadapannya, pria itu benar-benar bisa dikatakan mendekati kata sempurna. Kenan terkenal maskulin dengan rahang tegas, tatapan mata tajam, beralis tebal, dan rambut tipis pada wajah yang semakin mempertegas kelakiannya. Kenan adalah pria keturunan Timur Tengah, tak memungkiri jika ketampanannya di atas rata-rata, seperti seorang dewa. Setelah menggosok gigi, Kenan keluar dari kamar mandi. Dia melangkah menuju ruang pakaian. Ketika malam, Kenan terlihat lebih santai dari cara berpakaiannya. Dia sering menggunakan celana selutut dan kaos polos hitam, sama sekali tidak mencerminkan dirinya sudah berumur tiga puluh lima tahun, masih kelihatan begitu segar, panas, dan awet muda. Para wanita mengidolakannya, bahkan rela menawarkan diri secara cuma-cuma kepada Kenan agar bisa merasakan bagaimana berada di bawah kuasa pria itu. Siapa saja tak bisa menolak pesonanya, hanya Natasya yang nampak selalu meremehkan dan begitu membenci seorang Kenan. Benar-benar aneh! Kenan menghampiri Lala, menguruh wanita itu untuk mengantarkan makan malam untuk Natasya yang sejak tadi sore—setelah dari ruangan Kenan tak memunculkan diri kembali. Meski nampak jahat dan begitu tega, Kenan juga sedikit mengkhawatirkan keadaan Natasya. Bagaimana pun perilaku Natasya padanya, wanita itu tetaplah istri Kenan. Semua tanggung jawab ada pada Kenan, jika sampai Natasya kenapa-kenapa, orang tua Kenan pasti tak akan tinggal diam. Mereka akan memarahi Kenan bahkan tak segan memberikan pukulan jika Natasya celaka. Biar kelakuannya seperti anak setan begini, Natasya adalah kesayangan kedua orang tua Kenan. Sejak kecil Kenan mengenal Natasya, dulu wanita itu tak sebebas sekarang. Berubah seratus delapan puluh derajat, Kenan sampai tak mengenali Natasya kecil yang sering dia ajak main sepedaan di taman komplek. "Antarkan makanan ke kamar Tasya. Bilang jika saya memaksa dia makan." Lala mengangguk mengiyakannya. "Bawakan dia makanan lebih banyak. Badan kayak lidi gitu pakai diet diet segala!" Kenan bergumam pelan pada kalimat terakhirnya, kesal. Natasya selalu makan sedikit, katanya takut gendut. Hei ... lebih baik berisi daripada kurus kerempeng. Bagi Kenan, tubuh Natasya tak ada beda dengan lidi. Apa kata kedua orang tua Kenan nanti, dia tak becus menjaga dan merawat istrinya. Padahal semua orang juga tahu yang keras kepala dan susah diatur itu siapa! "Baik, Tuan. Akan saya penuhi porsi makan malam kali ini." "Bagus. Jangan biarkan dia menolak, kamu tunggu dia sampai menghabiskan makanannya. Jangan sampai membuat saya marah lagi, gadis itu sekali-kali harus dikasih pelajaran biar lebih menurut sedikit." Wajah datar dan tatapan dingin Kenan membuat Lala merinding takut. "Siap, Tuan. Akan saya laksanakan perintah dari Tuan." Lala kemudian beranjak dari dapur setelah berhasil menyiapkan makanan untuk Natasya. Dia tidak berani terlalu lama berhadapan dengan Kenan, pria itu datar dan dingin. Namun di balik itu semua, orang-orang pun tahu jika Kenan adalah pria yang baik. Lala mengetuk pintu kamar Natasya beberapa saat, baru kemudian masuk ke dalam. Lala melihat Rara sedang selonjoran di sofa, menonton acar yang sedang berlangsung pada televisinya. "Waktunya makan malam, Nona Tasya. Tuan Kenan menyuruh saya mengantarkannya, mungkin Tuan tahu jika Nona tak akan turun ke bawah untuk makan malam bersama." Natasya tidak menoleh kepada Lala, dia masih fokus pada layar televisinya, malah tanpa dosa menambah volume suaranya. "Nona, makanlah. Saya akan tetap berada di sini sampai Nona Tasya menghabiskan semua makanan ini. Tuan Ken akan marah jika Nona menolak lagi." Bukannya takut, Natasya malah menarik napas heran. Dia menoleh pada Lala, memberikan tatapan permusuhan. "Bawa kembali makanan itu, aku tidak lapar. Sudah kenyang liat muka pria sok tampan itu." Dalam hati Lala menyahut, "Hei, Nona ... Tuan Kenan memanglah sangat tampan." Hanya bisa dalam hati, kalau beneran diucapkan bisa mati Lala dihabisi oleh Natasya. Gadis bar-bar itu akan memberikan pukulan pada wajahnya, sudah Lala pastikan itu. Setiap sore ketika ada waktu luang, Natasya selalu menghabiskan waktu di ruang olahraga. Dia bergelut dengan samsak, mengerikan. "Tapi, Nona ...." "Pergi!" Nyali Lala menciut, dia terpaksa membawa kembali makanannya ke bawah. Lala lebih baik di marahi Kenan daripada kena tonjok Natasya. Kenapa Lala harus berada di tengah-tengah kedua manusia yang seperti ini? Kadang-kadang dia ikut pusing sendiri melihat kelakuan Natasya. Ada-ada saja ulah gadis itu untuk membuat keributan di rumah. "Kenapa kembali dengan makanan yang masih utuh? Kamu tidak dengar perintah saya tadi?" semprot Kenan duluan sebelum Lala membuka suara. Benaran, Lala serba salah sekarang. Dia bunuh diri ke kolam Jacky saja boleh? "An-anu, Tuan ... Nona Tasya marah, saya takut kena tonjok." Lala berkata jujur, dia memang takut. Kenan memutar bola mata malas, kemudian bangkit dari tempat duduknya—sofa single ruang keluarga. "Biar saya yang memaksanya." Lantas menaiki satu persatu undakan tangga yang membawanya ke arah kamar Natasya. Sebenarnya kamar Kenan juga berada di lantai atas, hanya beda wilayah. Biasanya Kenan menaiki tangga sebelah untuk menuju kamarnya, lebih dekat dan mempersingkat waktu. Tidak heran, kediaman Kenan Almeer begitu luas dan megah. "Natasya!" panggil Kenan yang langsung memberikan hawa dingin dan menyeramkan. "Jangan masuk kamarku, pergi sana!" kesal Natasya yang langsung bangkit dari posisinya. Dia memang kesal ketika Kenan seenak jidat masuk ke ruangan pribadinya, sementara Natasya tidak boleh melakukan sebaliknya. "Aku kenyang liat muka kamu ini, aku nggak makan sampai besok!" ucapnya lantang, melipat kedua tangan di depan d**a. Ingat, hanya Natasya yang berani memperlakukan Kenan seperti ini. Tidak terhitung wanita di luar sana yang ingin Kenan bawakan makanan seperti ini, Natasya malah menolak mentah-mentah. Betapa kurang ajarnya Kenan punya istri. Dosa apa yang telah dia lakukan dulu? "Makan!" Hanya kalimat singkat itu, penuh penekanan. Kenan mengambil duduk di sofa, memberikan tatapan mengunci pada Natasya. "Tidak mau! Aku nggak suka ya dipaksa-paksa, apalagi sama kamu. Ogah banget, jijik sumpah!" Oke baiklah, Natasya memang sedang mengibarkan bendera peperangan pada Kenan. Salah besar jika Natasya melakukan ini, Kenan tak gampang mundur dan memiliki rasa kasihan yang banyak. Kesabarannya berbatas, jangan main-main. "Makan atau saya perkosa kamu sekarang juga?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN