Bab 4

2039 Kata
Seharusnya Dean sudah menduga kalau Pamela tidak akan cukup hanya dengan makan siang. Perempuan itu juga mengajaknya menonton film, di apartemennya. Sekalian menghabiskan waktu istirahatnya yang kali ini lebih lama dari biasanya. Ini yang tidak ia suka dari perempuan, mereka selalu bertingkah saat diperlukan. Selalu meminta lebih banyak sebelum memberikan bantuan. Dean mendengkus kesal, terpaksa membiarkan lengannya dipeluk dan dijadikan sandaran oleh Pam. "Kau tidak menyukai film yang kuputar?" tanya Pamela setelah film yang mereka tonton selesai. Dean menggeleng. "Aku tidak menyukainya," akunya jujur. "Aku tidak suka menonton film. Semua adegan di film itu hanya omong kosong, bahkan untuk film aksi sekalipun. Itu hanya sebuah kebohongan." Pamela memutar bola mata jengah. Dean selalu seperti ini, terlalu serius dalam menanggapi segala sesuatunya. Padahal film hanya sekedar untuk hiburan, sebagai obat penghilang penat. "Dasar detektif!" decak Pamela kesal. "Tak bisakah kau memandang film dari sudut yang lain?" tanyanya. "Jangan terlalu serius, Dean. Kau perlu bersenang-senang." Senyum lima jari ditampilkan perempuan itu setelah tadi mencibirnya. Dean menggeleng pelan. Sungguh, ia benar-benar tidak paham dengan perempuan. Bukan hanya Pamela, tetapi semuanya. Dean mengangkat bahu. "Aku sedang memikirkan idemu itu, Pam. Oleh karena itu aku memerlukan informasi mayat Clarence." Pamela mendengkus. Dia sudah menduga, pasti Dean akan menanyakan hal itu. Hampir seluruh anggota di kesatuan mereka tahu bagaimana sifat Dean. Pria itu tidak suka membaca, Dean akan lebih paham kalau dijelaskan. Berhubung ia menerima kasus pembunuhan Clarence, dia yakin cepat atau lambat Dean pasti akan menghubunginya untuk meminta penjelasan lebih jauh. Tentu untuk mempermudahnya untuk mengerti. Jadi, tak masalah kalau dia meminta sedikit imbalan, 'kan? "Apa yang kau perlukan?" tanya Pamela sambil meletakkan dua gelas cokelat hangat untuk menemani perbincangan mereka di sore ini. Dia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke laboratorium forensik. Tidak ada mayat lagi yang harus diautopsi, dia bebas untuk hari ini dan besok. "Kurasa semua sudah lengkap di dalam berkas...." "Aku tidak membacanya!" potong Dean cepat. "Huruf-huruf itu membuat kepalaku pusing saja," erangnya. "Aku ingin kau yang menjelaskannya untukku, Pam." Pamela berdecak. "Bisakah kau tidak memotong perkataanku?" tanyanya sedikit kesal. Dean mengangkat bahu. "Kurasa tidak," sahutnya santai. "Apalagi kalau kau berbelit-belit, aku tidak bisa menjamin untuk tidak memotong perkataan konyolmu." Pamela melemparkan sepotong kentang goreng pada Dean. Kesal dengan perkataan pria itu. "Kau sangat menyebalkan!" erangnya. "Aku tahu itu." Dean mengangguk penuh percaya diri. "Aku juga tahu kalau kau menyukaiku." "Sialan kau, Dean Oliver!" Sekali lagi Pamela melemparnya dengan kentang goreng, kali ini beberpaa.poting sekaligus. Dean tidak menghindar, ia justru menangkapnya dan memasukkan potongan kentang ke dalam mulutnya. "Aku memang sialan," ucap Dean. "Mungkin juga baj*ngan, tetapi aku tampan. Aku baj*ngan yang tampan. Benar, bukan, Pam?" Pamela membuang muka. Menyembunyikan wajahnya yang memerah dari tatapan Dean. Sungguh memalukan, tapi semua yang dikatakan Dean memang benar. Pria itu adalah seorang baj*ngan yang sialnya sangat tampan. "Aku anggap kau setuju dengan perkataanku." Salah satu kebiasaan buruk Dean adalah suka memutuskan segala sesuatunya seorang diri. Begitu pun saat ini, dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi pria itu dengan seenaknya memutuskan. Pam mendengkus kesal, tapi tak menyangkal. Tangannya meraih cangkir cokelat hangat dan menyesapnya. "Oleh karena itu, bisakah kau menjelaskan apa yang kuminta?" Dean memang sialan! Pria ini selalu bisa membuatnya lemah. Tatapan mata hijau hazel Dean selalu berhasil menghipnotisnya. Pamela menarik napas, meletakkan cangkir cokelat, mengembuskan napas bersamaan dengan itu. "Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Pamela sambil menyandarkan punggung ke belakang. Kali ini dia berusaha bersikap santai dan profesional. Dia kembali pada pekerjaan yang tidak bisa digabungkan dengan masalah kehidupan pribadi. "Kurasa semuanya," jawab Dean. Ia melakukan hal yang sama dengan Pamela, bersandar. Dean menambahkan dengan melipat tangan di depan d*da. "Aku hanya membaca sambil lalu. Kertas-kertas itu terlalu banyak, aku tidak sanggup membacanya. Kepalaku rasanya berputar, Pam." Pamela meringis. Dia.sudah tahu akan hal itu. Dean sedikit phobia pada tulisan, dan itu sangat lucu menurutnya. Seolah tulisan bisa memakan saja sehingga membuat pria dewasa seperti Dean takut. Pamela menggelengkan kepala pelan beberapa kali. "Kau sangat buruk, Dean," komentarnya sambil tertawa kecil. Dean tidak menanggapi, ia hanya mengangkat bahu tak peduli. "Baiklah." Pamela menarik napas, telunjuknya mengusap dagu. "Bertanyalah!" Dean berdehem, menyamankan posisi duduknya sebelum bertanya. "Aku hanya ingin tahu, bagaimana kau bisa yakin dengan peluru dan semua yang kau tulis dalam laporanmu itu? Apakah kau mengukur berapa lingkar kepala Clarence?" Pamela memutar bola mata, mulutnya berdecak. Semua orang sudah tahu berapa lingkar kepala orang dewasa. Semuanya sama, rata-rata lima puluh lima sentimeter. Kalau kurang, paling-paling hanya satu atau dua sentimeter saja. Lalu mengenai dirinya yang menuliskan peluru terletak di tengah-tengah dahi, dia memang mengukurnya. Semua itu diperlukan untuk penyelidikan. Tidak sulit mengukur semuanya, sisi kanan dan kiri manusia itu simetris. Untuk mengetahui letak peluru, dia hanya menggunakan sebuah penggaris atau sesuatu yang lurus. Letakkan di ujung hidung. Kalau terletak sejajar berarti di tengah-tengah. Itu yang dilakukan Pamela pada jenazah Clarence. Untuk mengukur sudut tembakan bisa dilihat dari posisi peluru di dalam tengkorak kepala. Dia melakukan rontgen pada jenazah setelah mengeluarkan peluru dari tengkorak kepalanya. Dari pengamatan hasil rontgen itulah mereka dapat mengetahui apakah peluru ditembakkan secara lurus ataukah miring? Kalau miring mereka akan mengukur berapa kemiringannya, juga menggunakan foto hasil rontgen. Setelah itu baru bisa memperkirakan dari arah mana dan di mana posisi si penembak, apakah di ketinggian atau berpijak di tanah. Dean mengangguk sekali, ia mengerti. Jadi, ternyata memang harus diukur. Dean mengembuskan napas melalui mulut pelan, menegakkan punggung, dan menatap Pamela dengan tatapan itu-itu saja. "Lalu, menurut pendapatmu bagaimana? Di mana posisi si pembunuh?" tanya Dean. "Seharusnya pertanyaan itu aku yang mengajukan padamu!" dengus Pamela. "Untuk menentukan di mana posisi di penembak merupakan tugasmu. Aku dan tim yang bertugas di laboratorium hanya memberikan laporan saja." "Tidak benar seperti itu, Pam!" bantah Dean cepat. "Kau dan tim lab bertugas membantu kami yang bekerja di lapangan." "Aku tahu," sahut Pamela setelah kembali menyesap cokelatnya yang sudah mulai dingin. Suasana sore ini sudah tidak seberapa hangat lagi. Ini adalah akhir musim panas di mana sebagain orang sudah kembali dari tempat berlibur mereka. Wajar kalau sudah tidak sepanas saat awal musim panas. Peralihan musim, cuaca selalu berubah-ubah. "Aku hanya ingin kau yang menentukan di mana pembunuh itu berada." Dean mengusap wajah kasar. Kalau mendengar dari apa yang dikatakan Pamela tadi, dan dari kemiringan sudut yang tadi diberitahu perempuan berambut pirang di depannya ini, posisi si pembunuh sepertinya berada di atap gedung. Entahlah, semua masih buram. Dean mengembuskan napas. "Aku harap kau sudah mempunyai gambaran tentang tersangkamu," ucap Pamela melihat raut wajah Dean yang tampak kusut. "Atau setidaknya kau dapat menyimpulkan sesuatu yang bisa dijadikan bukti." "Aku akan menyimpulkannya nanti," sahut Dean sambil berdiri. "Terima kasih cokelat panas dan penjelasannya. Kurasa aku sudah paham." Pamela juga berdiri, kepalanya mengangguk sekali. "Hubungi aku kalau ada perkembangan lagi." Sekali lagi Pamela mengangguk. "Kau akan pergi sekarang?" tanyanya. Ada nada kecewa dalam pertanyaan itu, tapi Dean tidak memedulikan. Ia harus melanjutkan penyelidikan, dan tujuan utamanya adalah gedung apartemen di tempat diadakannya pesta beberapa malam yang lalu itu alias tempat terjadinya pembunuhan. Dean mengangguk. "Aku harus memulai penyelidikan," jawabnya. Semakin cepat kasus selesai semakin cepat juga ia menyongsong liburan yang sangat diinginkannya. "Aku sudah berjanji pada kepala polisi Storme akan mulai mengerjakan kasus ini hari ini." "Owh!" Pamela mencoba untuk mengerti. Sungguh, dia ingin Dean tetap di sini saja, setidaknya sampai makan malam. Namun, dia tahu semua itu tidak mungkin. Dean tidak pernah menunjukkan rasa suka padanya, mustahil ia menerima tawarannya untuk makan malam. Perasaan Dean sangat susah ditebak. "Baiklah." Dean tidak menanggapi. Ia terus melangkah menuju pintu keluar. Tak peduli dengan Pamela yang mengikutinya di belakang dengan lesu. Ia sudah terbiasa dengan raut wajah Pamela yang terlihat kesal atau memelas seperti sekarang. Ia sudah kebal dengan rajukan perempuan itu. Lagipula, tak ada alasan baginya untuk tetap tinggal. Pekerjaannya lebih utama dibandingkan apa pun. "Sampai nanti, Pam!" ucap Dean setelah pintu apartemen perempuan itu terbuka. "Aku akan menghubungimu lagi kalau ada yang kuperlukan." Pamela mengerang kesal dalam hati. "Kenapa tidak kau katakan sampai besok, Dean?" tanyanya. Dean yang sudah mengayunkan kaki untuk melangkah mengurungkan niatnya itu. Ia menoleh menatap Pamela yang juga menatapnya. "Karena besok aku tidak akan ke kantor apalagi ke laboratoriummu," jawab Dean,, dan melanjutkan niatnya untuk meninggalkan tempat ini. Lalu lintas di kota New York sedikit lebih padat sore itu, tetapi tidak menimbulkan macet. Dean mengemudikan mobil dengan santai. Ia tidak tergesa, untuk apa mengemudi cepat-cepat, masih banyak waktu. Lagipula, tidak mungkin ia bisa menyelesaikan kasus dengan cepat. Dean tidak ingin salah menetapkan tersangka seperti yang pernah dilakukan Jason. Akan merupakan contoh yang sangat tidak baik bagi seorang petugas kepolisian bila tidak mematuhi peraturan berkendara. Dengan cara mengemudinya yang tidak terburu, Dean tiba di tempat tujuan lebih dari satu jam kemudian. Beberapa petugas masih berjaga di depan gedung, ia yakin di dalam atau di lokasi tubuh Clarence tertembak jauh lebih banyak. Dean keluar dari mobil setelah memarkirkan mobil di tempat parkir bawah tanah. Tempat parkir di atas padat, ia juga menolak untuk parkir parkir di lantai yang lebih tinggi. Lebih baik parkir di bawah tanah di bawah tanah. Malah lebih menguntungkan baginya. Ia tidak perlu menempuh perjalanan yang cukup jauh hanya untuk memarkirkan sebuah mobil. Dugaan Dean benar. Di dalam gedung, tepatnya di unit tempat terjadinya peristiwa, jumlah petugas tiga kali lebih banyak dari di bawah sana. Setiap petugas yang berpapasan dengannya memberikan jalan, mereka tahu kalau Dean yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan ini. "Apakah ada perkembangan?" tanya Dean pada seorang opsir yang berdiri di depan pintu masuk apartemen. Beberapa kali Dean melongokkan kepala ke dalam unit. Ruang tamu terlihat sangat berantakan. Sepertinya di ruangan inilah pesta dilangsungkan. Garis polisi yang terpasang di depan pintu unit dan penjagaan yang ketat dari beberapa orang petugas membuat siapa pun tidak bebas keluar masuk. Hanya mereka yang memiliki kepentingan penyelidikan saja yang bisa memasuki unit. Ruang tamu itu tampak kosong, hanya ada beberapa petugas yang tampak berlalu-lalang. "Sejauh ini belum ada, Detektif." Petugas yang ditanyai Dean menggeleng. "Masih belum ditemukan bukti yang kuat untuk menetapkan tersangka. Tidak ada yang melihatnya." Tentu saja seperti itu? pikir Dean. Tentu saja tidak ada bukti karena peluru ditembakkan dari jarak sangat jauh. Dilihat dari jarak tempuh senjata yang digunakan, Dean merasa kalau si pembunuh berjarak paling dekat lima ratus meter dari gedung ini. Entahlah, itu hanya perkiraannya. Bisa lebih jauh atau justru lebih dekat. Namun, kalau dilihat dari kedalaman peluru di tengkorak kepala korban, jarak tembak si pembunuh diperkirakan lebih dari lima ratus.meter. Sesuatu yang semakin menambah kesulitan karena banyaknya jumlah gedung pencakar langit di daerah ini. Haruskah ia memeriksa gedung-gedung itu secara satu persatu agar bisa menemukakan bukti? Dean menggeleng pelan, tak mungkin ia melakukannya. Sangat menuang waktu sekali, mendatangi apalagi dengan gedung yang banyak itu. Sungguh, ia tak akan sanggup. Dean menyambut beberapa berkas yang diberikan opsir itu. Membacanya sekilas sebelum mengembalikannya pada opsir. "Terima kasih," ucap Dean. Opsir itu mengangguk. "Apa aku boleh memasuki unit?" tanya Dean. Sekali lagi opsir berambut cokelat gelap itu mengangguk. Tangan meraih garis kuning polisi, mengangkatnya untuk memberikan jalan bagi Dean. Di ruang tamu apartemen ini kacau balau, Kaca berhamburan di mana-mana begitu juga sisa makanan. Aroma pesta meriah dan mewah terbayang di pelupuk mata Dean, berikut dengan kegaduhan yang terjadi setelah salah satu tamu penting di pesta roboh tak bernyawa..Dean tersenyum miring, membayangkan reaksi para orang kaya itu. Pastilah mereka kalang kabut berlarian keluar. Bahkan mungkin sampai tak sadar kalau cincinnya tertinggal. Cincin bermata berlian itu berkilau tertimpa cahaya lampu. Alis Dean bertaut, kenapa tak ada seorang pun yang menyadari keberadaan cincin ini? Ataukah mereka semua sengaja tidak mengambil cincin ini dan benda-benda lain yang bisa dijadikan sebagai barang bukti? Dean membungkuk, mengambil cincin dan mengamatinya. Ia tidak perlu khawatir dengan sidik jarinya akan tertinggal di cincin, tangannya sudah dilapisi saring tangan. Seorang petugas perempuan lewat di depannya, Dean segera menghentikan petugas itu untuk bertanya. "Opsir!" Petugas perempuan itu berhenti. "Iya, Detektif?" Dean menunjukkan cincin di tangannya pada petugas perempuan itu. "Cincin ini, kenapa tidak ada seorang pun yang memungutnya? Apakah kalian tidak melihatnya?" tanya Dean, sepasang alisnya berkerut. Petugas perempuan menggeleng. "Kami dilarang menyentuh benda apa pun, Pak. Anda yang berwenang di sini, semuanya harus tetap seperti saat tempat ini pertama kali ditinggalkan para tamu pesta tadi malam." Alis Dean semakin bertaut tajam. "Kepala polisi Storme yang memerintahkan seperti itu," sambung si petugas. Dean menggeram tertahan dalam hati. Dasar Pak Tua sialan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN