Tak ada yang bersuara, ruangan itu sunyi senyap. Hanya suara jarum jam yang terdengar. Dua orang pria berbeda usia yang berada di ruangan itu diam sejak beberapa menit yang lalu. Pria yang lebih tua menatap yang lebih muda dengan tatapan menyelidik, mencari kebohongan di mata hazel yang bersinar dingin. Namun, ia tidak menemukannya. Bahkan raut wajah pria yang lebih muda terlihat sangat serius. Jonathan Storme, pria yang lebih tua, menghela napas panjang, mengembuskannya pelan melalui mulut. Sementara tatapannya masih terpaku pada Dean yang duduk di depannya dengan sikap santai, punggung menempel ke belakang, dan tangan terlipat di d*da. Dean seolah merasa bersalah padahal ia yang sudah menciptakan kesunyian ini. Kata-kata yang keluar dari mulutnya beberapa menit yang lalu yang menyebabkan mereka terdiam.
Dean menyatakan niatnya untuk menjadi wali Alexander James dan mengadopsi itu, pada Jonathan setelah mereka kembali dari kediaman keluarga James siang itu. Hal yang sangat mengejutkan bagi Jonathan. Seorang pria yang dingin dan kaku seperti Dean Oliver mau berurusan dengan bocah yang notabene tidak akan bisa diam, begitu bertolakbelakang dengan Dean yang merupakan seorang begitu memuja kesunyian. Jonathan tak yakin Dean bisa menjadi seorang Ayah yang baik, pria itu tidak berpengalaman.
"Apa kau serius?" tanya Jonathan setelah membisu selama lebih dari dua menit. Ia masih menatap Dean lekat, berusaha membaca air muka yang datar itu. Ia ingin tahu keseriusan Dean dengan kata-katanya barusan, dan ia tidak menemukan candaan di sana. Wajah datar Dean terlihat sangat serius. "Apakah kau bersungguh-sungguh ingin menjadi wali Alexander James? Kau sudah siap menjadi seorang Ayah? Lalu, bagaimana kau akan merawatnya? Siapa yang akan menjaganya ketika kau bekerja?"
Dean berdecak mendengar rentetan pertanyaan yang diajukan Jonathan. Ia paling tidak suka saat seseorang meragukan kemampuannya, dan pria yang duduk di depannya ini baru saja melakukannya. Jonathan meragukannya dalam merawat dan menjaga Alexander. Dean juga tidak tahu kenapa ia memiliki ide seperti ini. Ia hanya tak ingin bocah itu semakin tertekan dan trauma dengan terus berada di tempat kejadian kedua orang tuanya terenggut. Apalagi bersama perempuan yang sangat tidak sabaran dalam menghadapi tingkahnya. Dean yakin Alexander akan semakin tertekan kalau tunggal di Dinas Sosial. Walaupun hanya sementara, tapi Dinas Sosial bukanlah tempat penitipan anak.
"Jangan meragukanku, Jonathan..Kau paling tahu aku tidak suka diperlakukan seperti itu," ucap Dean datar. Suaranya juga sangat dingin. "Kalau aku tidak yakin bisa, aku tidak akan melakukannya. Mengenai siapa yang akan menjaga ketika aku bekerja, itu mudah saja. Aku akan membawanya. Tidak ada masalah dengan itu, bukan?"
"Astaga!" Jonathan mengusap wajah bersamaan dengan kata itu keluar dari mulutnya. "Kau tidak bisa membawa seorang anak kecil ke kantor polisi, itu akan berdampak pada psikologisnya."
Jonathan memencet pangkal hidung. Ia tidak habis pikir dengan Dean. Bagaimana mungkin Dean memiliki pikiran seperti itu? Seorang bocah kecil tidak seharusnya berada di kantor polisi atau di mana pun tempatnya yang tidak diperuntukkan untuk seorang anak kecil. Seorang anak haruslah tinggal di rumah, bermain bersama teman-teman sebayanya, bukan ikut bekerja bersama orang tuanya.
Dean mendengkus keras. Jonathan mengatakan sesuatu yang ia tidak mengerti. Sudah berapa kali ia memberitahu kalau berbicara haruslah dengan bahasa yang mudah karena ia malas untuk memikirkan artinya.
"Aku tidak akan membawanya ke kantor polisi, Jonathan," bantah Dean ogah-ogahan. "Kau tahu kalau aku sangat jarang berkunjung ke sini apalagi ke ruanganku."
Jonathan mengembuskan napas pelan. Tidak mudah memberikan saran pada orang yang sangat keras kepala seperti Dean. Semua yang kau katakan pasti akan dibantah seperti yang baru saja terjadi.
"Tetap saja, Dean." Sekali lagi Jonathan. mengusap wajah. Ia mengembuskan napas melalui mulut pelan, sengaja supaya Dean tak tersinggung. Ia tak ingin perdebatan mereka bertambah rumit. "Seorang anak seharusnya berada di sebuah lingkungan keluarga yang utuh...."
"Dinas Sosial bukanlah sebuah lingkungan keluarga!" potong Dean cepat. "Tempat itu tahanan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan. Sangat tidak layak dijadikan tempat tinggal seorang anak kecil."
Jonathan menatap Dean tak berkedip selama beberapa helaan napas. Ia lupa betapa pandainya pria yang duduk di depannya ini. Dean adalah lulusan terbaik di angkatannya waktu itu. Bukan hanya di pelatihan, tetapi juga pada ujian tertulis. Jonathan lagi-lagi mengembuskan napas, kali ini lebih keras. Ia tak ingin menyembunyikan beban yang menumpuk di hatinya lagi.
"Ikut bekerja juga bukan sebuah solusi yang baik," ucap Jonathan setelah bungkam beberapa detik.
Dean mengangkat bahu. "Masih lebih baik daripada ia harus mendengar bentakan atau teriakan yang hanya akan membuatnya semakin buruk," sahut Dean. "Kau sudah mendengarnya sendiri, Jonathan, bagaimana perempuan dari Dinas Sosial itu meneriaki Alex."
Jonathan diam, ia tidak membantah juga tidak membenarkan. Seperti yang dikatakan Dean, ia memang sudah mendengar teriakan perempuan yang bertugas menjaga dan mendampingi Alexander James selama bocah itu belum dipindahkan ke Dinas Sosial, dan ia tidak bisa membenarkan apa yang dilakukan perempuan itu, tapi ia juga tidak bisa mendukung rencana Dean. Bukan karena Dean tidak memiliki pendapatan tetap atau tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tetapi karena dean tidak memiliki pendamping yang bisa menjaga Alex saat Dean bekerja. Besar resikonya membawa Alexander turut serta pada pekerjaan Dean, sangat berbahaya. Apalagi Dean menyelidiki kasus pembunuhan kedua orang tua bocah itu.Ia khawatir kalau-kalau akan berdampak buruk bagi kesehatan mental, juga keselamatan bocah itu.
"Maafkan aku, Jonathan, tapi kau mendukungku atau tidak aku akan tetap melaksanakan keinginanku," ucap Dean tegas. Ia tak ingin dibantah lagi, keinginannya sudah bulat untuk mengadopsi Alexander. Ia tidak akan membiarkan bocah itu semakin tertekan. Bukan tinggal bersamanya yang berdampak buruk, melainkan tunggal bersama orang-orang tak dikenal di sebuah lingkungan yang sangat ramai. Lebih mudah memercayai satu orang daripada di suatu tempat daripada harus memercayai ratusan orang di lingkungan yang ramai. Alexander hanyalah seorang anak kecil yang membutuhkan perhatian lebih dan pengalihan perhatian agar tidak mengingat kejadian buruk di rumahnya lagi.
Jonathan berdehem sekali. sepertinya ia tidak memiliki pilihan, Dean tidak memberikannya selain menyetujui. "Kau tidak memberiku pilihan lain selain harus menyetujui rencanamu itu, Dean."
Dean mengangguk. "Memang tidak ada," jawabnya.
Jonathan menarik napas sebanyak yang ia bisa, mengembuskannya dengan sangat pelan sebelum ia kembali bersuara.
"Baiklah, kau memang," ucap Jonathan akhirnya. "Kau mendapatkan dukunganku untuk mengadopsi bocah itu. Entah apa alasanmu, yang pasti aku mendukungmu secara penuh."
Dean tersenyum lebar mendengarnya. Ia yakin itu, tidak ada yang tidak luluh dengan kekeraskepalaannya. Ia sudah sering memenangkan pertempuran seperti ini, dan selalu keluar sebagai pemenang.
"Terima kasih, Pak," ucap Dean. Kali ini ia sungguh-sungguh. Dukungan atasannya sangat berarti.
Seperti yang dikatakan atasannya itu tadi kalau sangat berbahaya membawa seorang anak ke tempat kau bekerja, apalagi pekerjaan yang dijalani bukankah pekerjaan yang aman, yang selalu berada di dalam ruangan. Pekerjaannya adalah kebalikan dari itu semua, sangat jauh dari definisi aman itu sendiri. Sering ia terlibat perkelahian ataupun baku tembak dan kejar-kejaran dengan buruannya. Semua itu bukanlah sesuatu yang diperuntukkan untuk bocah berusia empat tahun seperti Alex. Namun, semuanya lebih aman daripada harus berada di tempat yang dipenuhi orang asing yang selalu meneriakimu apabila kau melakukan sebuah kesalahan. Belum lagi resiko anak-anak yang bertengkar karena memperebutkan sebuah mainan. Ia sangat berpengalaman akan hal itu. Ia besar di panti asuhan, bukan di sebuah rumah yang memiliki orang dewasa yang bisa dipanggil Ayah dan Ibu. Panti asuhan masih lebih baik daripada harus tinggal di Dinas Sosial yang bukan hanya tempat untuk menampung anak kecil, tetapi semua umur.
"Aku akan mengurus surat-suratnya sekarang agar nanti malam anak itu sudah bisa bersamaku." Dean berdiri, langsung berbalik tanpa berbicara apa-apa lagi. Tak peduli dengan Jonathan yang kembali mengembuskan napas untuk kesekian kalinya.
Dean melangkah cepat menuju tempat parkir di mana mobilnya berada. Ia akan menemui Pamela dan meminta bantuan perempuan itu untuk mengurus semua yang dibutuhkan dalam hal adopsi ini. Jujur saja, ia tak paham dengan masalah seperti ini. Mungkin ia terdengar sangat jahat karena menemui Pamela hanya saat dibutuhkan, tapi untuk saat ini ia tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi. Untuk mengurus hal-hal seperti ini diperlukan seorang wanita, dan Pamela adalah wanita yang tepat untuk itu.
Laboratorium forensik terletak tak terlalu jauh dengan markas kepolisian. Jaraknya hanya beberapa ratus meter sehingga tak sampai dua menit Dean tiba di sana. Memarkirkan mobil tergesa, Dean memasuki laboratorium sama tergesanya. Ia bahkan berlari menuju ruangan Pamela, dan seperti kebiasaannya selama ini yang selalu dianggap buruk oleh siapa pun, Dean masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan dengan santainya ia sudah duduk sebelum mendapatkan izin.
"Astaga!" Pamela mengusap d*da. "Bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum memasuki ruangan seseorang?" tanyanya kesal. Meskipun senang karena dikunjungi Dean, ia tetap jengkel.
"Aku ada urusan penting denganmu, Pam. Kau bisa membantuku?" tanya Dean tanpa peduli dengan wajah Pamela yang menekuk.
Pamela mengembuskan napas melalui mulut dengan sedikit keras. Ia sedang sibuk menyusun laporan hasil autopsi pasangan James yang baru. Ada beberapa hal lagi yang ditemukan pada jenazah mereka. Memang tidak ada hubungannya dengan si pembunuh, tapi dia tetap harus menyelesaikannya.
"Bantuan apa?" tanya Pamela lirih. "Aku harap bukan sesuatu yang sulit, seperti harus menjauhimu atau hal lainnya."
Dean mengabaikan perkataan Pamela. Ia anggap itu sebagai lawakan saja, walupun sebenarnya sangat tidak lucu. Lagipula, tak mungkin ia meminta hal itu. Mereka adalah tim.
"Bisakah kau membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk adopsi?"
Pamela tersedak mendengar pertanyaan itu. Apa maksud Dean? Apakah ia ingin mengadopsi anak? Astaga, apa yang sudah terjadi? Apakah Dean kerasukan? Pamela mengerjap beberapa kali, mulutnya terbuka.
"Aku bertanya padamu, Pam! Jawab aku! Bisakah kau membantuku untuk mengurus semua itu?" Dean mengulang pertanyaannya. "Aku sangat sibuk, juga tidak pandai dalam mengurus hal-hal seperti itu. Jadi, aku membutuhkan bantuanmu."
"Astaga!" Pamela menutup laptopnya. "Apa kau serius?"
Dean tidak menjawab, tidak juga mengangguk ataupun menggeleng. Ia hanya menatap Pamela saja dengan tatapan yang itu-itu juga.
"Iya, kau serius!" pekik Pamela terkejut. "Astaga, aku tidak percaya!" Pamela menggeleng, kedua tangannya memegang kepala. "Kau ingin menjadi Ayah."
"Apa salahnya dengan itu?" tanya Dean santai. "Kurasa tidak buruk menjadi seorang Ayah."
Pamela menghela napas. "Baiklah!" Dia mengangguk. "Aku akan membantumu. Katakan siapa yang akan kau adopsi!" pintanya.
"Alexander James."
Pamela mengerutkan kening. "Bocah itu?" tanyanya tak percaya. "Kenapa kau harus mengadopsinya? Kenapa bukan bayi saja? Kurasa Alexander perlu penanganan seorang psikolog anak, ia tertekan, Dean."
Dean mengangguk. "Aku tahu," jawabnya.
"Alexander akan dibawa ke Dinas Sosial beberapa hati lagi. Ada tim psikolog yang akan menanganinya." Pamela memberitahu.
"Justru karena itu aku ingin mengadopsi secepatnya. Alexander tidak boleh dibawa ke Dinas Sosial, itu hanya akan membuatnya semakin tertekan saja."
Pamela menggeleng. "Tidak, Dean, bukan seperti itu," bantahnya. "Mereka akan menanganinya sampai perasaan tertekan, atau kemungkinan trauma yang diderita bocah itu sembuh. Aku memiliki beberapa kenalan di sana, dan aku yakin mereka pasti akan menanganinya dengan baik."
"Maaf, Pam, aku tidak sependapat denganmu," sahut Dean dingin. "Jadi, kau mau membantuku atau tidak?" tanyanya sekali lagi. "Kalau kau tak dak mau aku akan meminta bantuan yang lain untuk mengurus masalah ini." Dean berdiri. "Malam ini Alexander akan bersamaku. Persetan dengan petugas dari Dinas Sosial, mereka membuat Alexander semakin tertekan!"
Dean langsung berbalik dan melangkah keluar ruangan. Membuka pintu dengan crot kemudian membantingnya. Ia tidak menyangka kalau Pamela memiliki pemikiran yang sama dengan orang-orang dari Dinas Sosial itu. Ia mengira Pamela akan berada di pihaknya, akan mendukung keinginannya. Dean berlari menuju mobil, melajukannya kencang menyusuri jalan raya yang akan membawanya ke kediaman keluarga James. Ia akan menemui Steffani dan mengatakan keinginannya itu. Ia harap Steffani mau membantunya. Perempuan itu tadi pagi mengharapakan agar Alexander diadopsi secepatnya, dan ia mengabulkan permintaannya itu.
Jalanan macet, membaut Dean tiba sedikit lebih lama dari perjalannya tadi pagi menuju ke sini. Ia memerlukan waktu nyaris dua jam untuk sampai. Kedatangannya disambut beberapa petugas yang masih berada di lokasi pembunuhan. Mereka mengira Dean masih akan menyelidiki lokasi, padahal sebaliknya. Ia sedang menunggu hasil laporan dari Dennis. Setelah mengetahui siapa saja yang membeli dan memiliki senjata api seperti yang digunakan si pembunuh untuk menghabisi Clarence dan pasangan James, barulah ia akan kembali bergerak. Ia ke sini hanya untuk melihat keadaan Alexander, juga ingin Steffani. Ia akan mengajak Alexander tinggal di rumahnya mulai hari ini, juga meminta bantuan Steffani untuk mengurus keperluan adopsinya.
Dean melangkah cepat menuju tangga. Namun, langkahnya terhenti saat melewati jalan yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah jejak sepatu. Dean mengurungkan niat untuk menemui Alex dan Steffani. Ia berjongkok di depan jejak samar itu, mengamatinya. Mungkinkah ini sebuah bukti baru?