Dean membuka mata dengan malas, ia masih mengantuk. Namun, suara alarm yang berasal dari nakas memaksanya untuk bangun. Demi Tuhan, suara itu sangat berisik. Dean mengerang kesal, tangannya terulur ke atas nakas, menjangkau benda sumber bunyi. Dean berusaha mematikan bunyi berisik yang mengganggu tidurnya. Namun, karena dilakukan dengan mata terpejam, Dean tidak pernah berhasil meski sudah beberapa kali mencoba. Kesal karena bunyi alarm tak juga berhenti, Dean melemparkan sebuah guling ke arah nakas. Bunyi benda yang berjatuhan membuat mata Dean langsung terbuka sempurna. Cepat pria itu duduk, menatap ke arah nakas seperti orang linglung. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Sekali lagi Dean mengerang, semua benda yang diletakkannya di atas nakas sudah tumpah ruah ke lantai. Suara kaca pecah disertai ledakan kecil berasal dari lampu tidur yang memang diletakkannya di sana.
Dean menghela napas panjang, mengembuskannya pelan melalui mulut. Beberapa kali ia melakukan itu sebelum menurunkan kaki dan melangkah menuju kamar mandi. Ia perlu membersihkan diri agar lebih segar dan tidak mengantuk lagi. Soal barang-barangnya yang berserakan ia akan merapikannya nanti. Saat ini yang diperlukannya adalah air hangat.
Merapikan kekacauan yang dibuatnya tadi pagi dan membaut sarapan, Dean melakukannya dalam waktu setengah jam. Setengah jam berikutnya digunakan untuk sarapan dan bersiap untuk ke kantor dan mengunjungi ruangannya. Rasanya sudah sangat lama ia tidak berada di sana. Ada rasa rindu dengan aroma khasnya yang kadang membuat sakit kepala. Hari ini ia akan menemui atasannya untuk mengatakan kesediannya menangani kasus pembunuhan Clarence yang sekarang sedang menjadi pembicaraan di setiap media. Entah apa yang menyebabkan kasus ini menyedot banyak perhatian. Padahal menurut Dean kasus ini tak berbeda dengan kasus-kasus pembunuhan lain yang sudah dituntaskannya selama ini.
Dean melajukan mobil kesayangannya membelah jalanan kota New York yang selalu padat. Beruntung ia tidak terjebak macet. Seperti lalu lintas di kota-kota besar lainnya di dunia, Kota New York juga selalu mengalami kemacetan di jam-jam tertentu. Sebagai warga yang lahir dan dibesarkan di kota ini, Dean sudah tahu bahkan sudah hafal kapan dan di mana saja titik kemacetan terjadi. Selama ini ia tidak pernah merasakan terjebak macet, ia memiliki solusi jitu agar terhindar. Pergi lebih pagi atau lebih siang sedikit, maka kau akan terhindar dari kemacetan.
Hari ini Dean berangkat sedikit lebih siang, dan seperti yang diduganya ia terhindar dari kemacetan yang terkadang terlihat sangat gila. Maklum, New York adalah kota yang tak pernah tidur. Selalu aktif dua puluh empat jam. Lalu lintas memang selalu padat, tetapi masih bisa dilewati dengan kecepatan normal. Dengan laju kendaraan seperti ini biasanya Dean akan tiba di kantor kira-kira dua jam. Seperti pada hari-hari biasanya.
Dean langsung menuju ruangan kepala polisi Storme begitu tiba di kantor. Ia ingin membicarakan masalah kasus yang diberikan padanya kemarin. Kasus yang ditolaknya. Namun, ia berubah pikiran dan ingin menerima. Semua karena pesan yang diterimanya sore kemarin. Pesan yang membuatnya merasa tertantang untuk mengejar si pembunuh bayaran profesional.
"Selamat pagi, Pak Kepala!" sapa Dean begitu berada di ruangan kepala polisi. Ia masuk tanpa mengetuk.
Mungkin Dean terlihat tidak sopan, tapi seperti itulah dirinya. Sebagai seorang yang sudah lama bekerja bersama dan menjadi atasan Dean, Jonathan sudah tahu dan sudah terbiasa. Pria muda ini menyukai sesuatu yang langsung mengantarnya pada topik utama, tanpa berbelit-belit.
"Selamat pagi, Pria Muda!" balas Jonathan menyapa. "Kau terlihat lebih segar pagi ini. Wajahmu juga tampak lebih berseri. Apakah ada sesuatu? Atau kau ingin meminta sesuatu?"
Jonathan menatap Dean dengan mata menyipit. Sungguh, sikap Dean yang sedikit berbeda membuatnya merasa sangat heran. Lagipula, Dean tidak pernah akan langsung menemuinya. Setidaknya ia menunggu lebih siang untuk bertemu.
Dean tidak menjawab. Ia hanya mengangkat bahu sebelum duduk di kursi di depan meja Jonathan. Seperti biasa tanpa dipersilakan terlebih dahulu.
"Sebenarnya tidak ada yang istimewa," sahut Dean tanpa ekspresi berarti. "Aku hanya ingin mengatakan padamu kalau aku menerima kasus pembunuhan Clarence. Aku bersedia untuk menyelidikinya."
Alis Jonathan berkerut mendengarnya. "Maksudmu? Apa kau bersungguh-sungguh?" tanya Jonathan. "Bukankah kemarin kau menolaknya?"
Dean mengangguk.
"Lalu, hari ini kau menerimanya."
Dean kembali mengangguk, membenarkan perkataan Jonathan.
"Baiklah." Jonathan mengangguk. "Lalu, apa yang kau inginkan sebagai imbalan?" tanyanya. "Tidak mungkin kau menerima kasus yang sudah kau tolak dengan begitu mudahnya kecuali ada sesuatu yang kau inginkan. Apakah dugaanku benar, Dean?"
Dean membuang muka, menyumpah dalam hati. Kesal kenapa orang tua di depannya ini dapat membaca dan menebak isi pikirannya dengan mudah.
"Aku hanya ingin meminta cuti darimu," jawab Dean tanpa berbasa-basi, langsung ke intinya. "Beberapa hari untuk mengembalikan suasana hatiku. Juga agar aku lebih berkonsentrasi dalam menangani kasus berikutnya." Jeda. Dean menghirup udara dan mengembuskannya kuat melalui mulut. "Kau tentu tahu kalau kasus pembunuhan Clarence adalah salah satu yang menyedot perhatian. Aku memerlukan ketenangan dan suasana baru agar aku bisa lebih berkonsentrasi."
Jonathan mengembuskan napas. Sebuah hubungan timbal balik yang sama-sama menguntungkan. Haruskah ia memercayai Dean dan memberikan liburan yang diinginkannya? Entahlah. Jonathan menggeleng pelan beberapa kali, senyum menghiasi bibirnya. Bukan jenis senyum mengejek ataupun jenis senyum lainnya. Senyum Jonathan adalah senyum tulus. Ia memahami kalau Dean merasa lelah dengan semua kasus yang dihadapinya. Mungkin ia bisa memikirkannya, atau mungkin memberi penawaran lagi.
"Bagaimana kalau kau kuberikan cuti setelah berhasil menyelesaikan kasus pembunuhan Clarence?"
Dean berdecak. "Kenapa kau sangat menyebalkan, Jonathan?" tanyanya kesal. "Aku hanya meminta cuti beberapa hari sebelum aku menyelidiki kasus yang bisa dikatakan besar."
"Kau setuju atau tidak?" Jonathan bertanya tanpa menghiraukan perkataan Dean. Ia tidak boleh luluh pada pria muda di depannya.
"Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain." Dean mengerang kesal. Wajah datarnya terlihat mengeras.
Jonathan tersenyum. Ia berhasil memenangkan negosiasi dengan detektif terbaik dan yang paling keras kepala di kesatuannya. Jonathan menarik laci mejanya, mengambil sesuatu dari sana, dan menyodorkannya ke hadapan Dean. Itu adalah berkas kematian Clarence yang ingin diberikannya kemarin, tapi Dean menolaknya. maka ia memutuskan untuk menyimpan berkas itu. Ia yakin Dean pasti akan menyetujui dan menerima kasus ini.
Dengan malas Dean mengambil amplop itu, membuka dan membacanya sambil lalu alias sekilas. Yang membuat Dean bingung adalah banyaknya berkas yang berada di dalam amplop. Dean mengembalikan beberapa lembar kertas ke dalam amplop, ia tidak berniat untuk membaca semuanya. Dean berdiri, berbalik dan meninggalkan ruangan Jonathan dengan membawa amplop cokelat yang tadi diberikan atasannya itu. Ia akan mempelajari di ruangannya saja.
"Aku ke ruanganku dulu, John," ucap Dean sebelum membuka pintu. "Terima kasih."
Dean keluar dari ruangan atasannya. Melangkah lebar menuju ruangannya sendiri yang berjarak beberapa meter dari sini. Aroma kurang sedap dari ruangan yang terus tertutup selama beberapa minggu langsung menguar begitu pintu dibuka. Dean menyumpah dalam hati, memaki Jonathan yang tidak menyuruh petugas kebersihan kantor untuk membersihkan ruangannya, atau setidaknya membiarkan ruangan ini terbuka untuk beberapa saat agar udara dapat masuk. Namun, sedetik kemudian Dean segera menyadari sesuatu. Ia yang melarang siapa pun untuk tidak mendekati apalagi memasuki ruangannya. Dean berdecak.
"Dumb Dean!" maki Dean seorang diri.
Tangannya mengibas ke kanan ke kiri beberapa kali, mengusir debu yang tak terlihat, tapi tercium dan membuatnya nyaris bersin. Segera Dean menutup hidung, menepuk-nepuk kursinya sebelum menduduki. Dean juga menepuk-nepuk meja, membersihkannya dari debu. Memindahkan semua yang ada di depannya ke sudut meja yang kosong, dan meletakkan amplop cokelat berisi berkas-berkas milik almarhum Clarence. Dean kembali membukanya, mengeluarkan berkas yang ia tidak tahu berapa banyak jumlahnya, yang pasti isi amplop ini lumayan tebal.
Bekum habis membaca satu halaman, Dean kembali memasukkan berjas ke dalam amplop. Tangannya terangkat memijit pelipis, kepalanya berdenyut melihat deretan huruf yang banyak di atas kertas itu. Semua mengingatkannya pada saat ujian tertulis di kepolisian, ia tidak lulus ujian itu. Beruntung saat ujian praktek ia meraih nilai tertinggi sehingga bisa mendapatkan posisinya sekarang ini. Dean menyandarkan punggung ke belakang, matanya terpejam dengan tangan masih memijit pelipis. Ia memutuskan untuk tidak berurusan dengan huruf-huruf lagi, mereka bukan pasangan yang cocok, seperti simbiosis parasitisme. Huruf-huruf itu yang menjadi parasit karena menyakiti matanya.
Dean bukan pria bodoh, ia pria yang pandai. Hanya saja, Dean terlalu malas untuk berpikir. Ia lebih senang langsung bertindak daripada harus bersusah-susah memikirkan bagaimana cara menangkap pelaku kejahatan. Bisa-bisa para pelaku melarikan diri karena terlalu lama berpikir. Ia selalu menerapkan cara itu, langsung pergi ke tempat persembunyian pelaku. Untuk rencana, ia bisa memikirkannya di perjalanan. Percayalah, segala sesuatu yang dilakukan di saat genting selalu berhasil. Ia sudah membuktikannya dan tak pernah gagal.
Dean melihat sekeliling, bahkan ia sampai memutar-mutar lehernya. Entah apa yang dicari ia juga tidak tahu. Ia hanya merasa perlu melakukannya agar tidak lupa bagaimana keadaan ruangannya karena sepertinya ia ajan lama lagi tidak akan mengunjungi tempat ini. Ia seorang detektif yang bertugas di jalanan, bukan di dalam ruangan. Ia juga hanya sesekali muncul di kantor, sebagian besar waktunya dihabiskan di jalanan. Ruangannya nyaris tak terjamah. Tempat ini hanya sebagai simbolisasi semata agar ia juga memiliki kantor pribadi.
Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Dean memutuskan untuk pulang saja. Ia memilih untuk beristirahat di rumah saja untuk hari ini dan akan memulai penyelidikan esok hari agar lebih segar. Hari ini ia masih merasa sedikit lelah, mungkin disebabkan ia baru menyelesaikan sebuah kasus penjualan senjata ilegal. Memang bukan sebuah kasus besar, tapi cukup menguras tenaga dan pikiran. Tersangka sering berpindah tempat. Oleh karena.itu ia menginginkan cuti, otaknya perlu disegarkan agar bisa kembali fokus dan berkonsentrasi.
Langkah kaki Dean membawanya menuju ruangan Jonathan. Meski sedikit kurang sopan, tapi Dean selalu meminta izin pada atasannya itu kalau ingin keluar kantor. Kalau sudah seperti itu, masihkah Dean pantas disebut tidak sopan? Seperti tadi, Dean masuk tanpa mengetuk. Ia juga tidak duduk, berdiri saja di depan meja Jonathan yang sedang sibuk menerima telepon.
Jonathan yang menyadari kehadiran Dean segera menutup teleponnya, ia.lebih memilih untuk melayani Dean yang terlihat sangat penting.
"Aku akan pulang sekarang," ucap Dean sebelum Jonathan sempat bertanya. "Aku akan memeriksa berkasnya di rumah saja. Kalau terus di sini, otakku bisa meledak."
Dean terlalu mengada-ada bagi Jonathan, tapi ia tidak bisa untuk tidak mengizinkannya. Dean tidak akan bisa diajak kompromi lagi kalau ia sudah seperti ini. Lebih baik ia pulang saja daripada akan mengacau seisi kantor. Lagipula, meskipun ia tidak mengizinkan Dean akan tetap pulang. Pria muda di depannya ini adalah tipe.pria yang keras kepala, pendiriannya tidak bisa diubah. Kalau sekali ia sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu maka ia akan tetap melakukannya walau apa pun yang terjadi.
"Selamat siang!"
Benar, bukan, apa yang dikatakannya? Dean langsung berbalik tanpa berbicara apa-apa lagi setelah memberi salam. Jonathan menggelengkan kepala pelan. Sangat susah mengubah kebiasaan buruk seorang Dean Oliver. Detektif terbaik yang dimiliki kesatuannya tetapi memiliki sifat keras yang sangat sulit untuk diatur.
***
Dean tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia singgah terlebih dahulu ke sebuah supermarket yang buka selama dua puluh empat jam yang berlokasi tidak jauh dari komplek perumahan tempatnya tinggal. Ia akan membeli bahan makanan. Di dalam lemari penyimpanan bahan makanan sudah tidak ada apa-apa lagi bahkan sekotak sereal pun. Ia sudah menghabiskannya kemarin.
Di rumah, Dean memang tinggal sendirian. Ia sudah tidak memiliki keluarga. Siapa keluarganya saja ia tidak tahu, Dean tunggal dan besar di sebuah panti asuhan di pusat kota. Ia bersekolah karena mendapatkan beasiswa. Suatu hari, panti asuhan tempatnya tinggal terbakar. Api yang sangat besar menewaskan beberapa orang anak yang tidak bisa menyelematkan diri beserta Ibu panti. Dikatakan penyebab kebakaran adalah karena kelalaian tukang masak panti.
Belakangan diketahui kalau yang menyebabkan kebakaran adalah seorang pengusaha yang ingin membeli tanah di mana panti didirikan di atasnya. Namun, Ibu panti selalu menolaknya. Rupanya hal itu membuat si pengusaha marah dan menggunakan cara licik untuk mengusir mereka. Di persidangan juga terbukti kalau pengusaha itu yang sudah menyuruh orang untuk membakar sengaja panti beserta semua anak yang dan para pengurus panti yang tinggal di sana.
Si pengusaha di hukum dua puluh tahun penjara, yang mana menurut Dean hukuman itu sangatlah tidak pantas dan kurang. Pengusaha sialan itu bukan hanya membakar tempat tinggalnya, tetapi juga sudah membunuh keluarganya. Hal itulah yang menyebabkan Dean ingin menjadi seorang penegak hukum. Ia berusaha keras belajar dan berlatih di sekolah untuk mewujudkan impiannya itu. Sampai akhirnya ia berhasil dan menjadi seorang detektif seperti sekarang.
Tidak mudah bagi Dean untuk berada di posisinya sekarang. Ia memiliki seorang saingan yang selalu berusaha menjadi yang terbaik. Bagi Dean itu tidak masalah. Ia menjadi detektif terbaik atau tidak yang penting ia berhasil menyelesaikan semua kasus yang diberikan padanya. Namun sepertinya Jason Walls tidak berpikir demikian. Pria berambut pirang itu tetap menganggapnya saingan.