Marwah

1652 Kata
Akram sudah siap keluar tetapi dia dibingungkan oleh kedatangan istrinya yang kembali pulang, padahal wanita itu belum genap satu jam pergi ke rumah orang tuanya. “Assalamu’alaikum,” ucap Kunara terlihat terburu-buru. “Wa’alaikumussalaam warahmatullah. Dek, kenapa kamu...?” Akram mengikuti istrinya yang kini sudah masuk ke kamar mereka. Saat masuk, terlihat Kunara melepaskan kerudung serta pakaiannya dengan begitu tergesa membuat Akram semakin kebingungan. “Dek, kamu mau apa? Kamu kenapa?” “Aku mau mandi, A. Gerah,” jawab Kunara cepat, terlihat jelas dari mimiknya wanita itu berkata jujur. Namun yang membuat Akram heran adalah bukankah istrinya baru mandi sebelum pergi tadi. “Mandi? Bukankah kamu sudah....” ucapannya tidak selesai karena Kunara sudah masuk ke dalam kamar mandi, dan tak lama suara air mengguyur tubuh terdengar. Akram menghela napasnya, lalu perlahan mendekati pintu kamar mandi, dia mengetuk pintunya. “Dek.” “Iya, A?” “Aa duluan ke rumah abah.” Lama tidak ada suara Kunara, membuat Akram kembali mengetuk pintu dan memanggilnya. “Iya, A. Aku nanti aja nyusul.” “Baiklah.” Akram akhirnya keluar dan menuju rumah ayahnya, saat ini adik bungsunya (kedua sebelum bungsu) datang berkunjung. Selain sudah lumayan lama tidak bertemu, dia juga ingin melihat sang adik yang kini tengah berbadan besar karena sedang hamil tua. Tanpa disadari Akram selalu bahagia jika melihat wanita yang tengah hamil, bukan dia pria gak jelas, tetapi alam bawah sadarnya memang sudah merindukan sosok mungil yang tengah bergelung nyaman di perut ibu mereka. Namun, kali ini Akram sedikit memikirkan sikap istrinya ini yang tiba-tiba pulang padahal belum genap satu jam. Apa dia dirundung keluarganya? Secara beberapa bulan terakhir ini sang ayah terus-terusan menuntutnya untuk memiliki anak atau menikah lagi. Akram menggeleng kuat. Tidak, keluarganya tidak mungkin melakukan hal itu. Meski bisa dibilang mereka memang tidak terlalu menyukai istrinya, mereka tetap bisa menjaga lisan mereka untuk tidak menyakiti Kunara. Ya, Akram tahu itu dan dia percaya itu. Astaghfirullah, laailaaha illaa anta subhaanaka inni kuntu minadz-dzoolimiin. Akram mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskan dengan perlahan. Tepat ketika itu kakinya sudah menginjak pelataran rumah orang tuanya. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalaam warahmatullah. Ram.” Akram mengambil tangan ibunya dan dikecupnya penuh takzim. “Marwah di mana, Umi?” tanyanya dengan suara yang lembut dan sopan. Nyai Rahmah (ibunda Akram) tersenyum sambil menepuk pelan pundak putranya. “Marwah di ruang belakang, dia lagi membuat rujak buah bersama santriyah, lebih baik kamu makan dulu, kebetulan Umi membuat lauk kesukaan kamu, hari ini. Ayo.” Akram berpikir sejenak, tetapi sepertinya bisa dibaca oleh sang ibu. “Nara juga sudah makan. Tadi saat dia ke sini kebetulan Marwah tengah mandi jadi Umi suruh buat makan dulu. Sekarang giliran kamu, sambil nunggu Marwah selesai, lebih baik kamu makan dulu. Siang ini Umi sengaja menyuruh bibik (ART) untuk tidak membawakan nasi sama lauk ke rumah kamu, Umi ingin kamu makan di sini.” Barulah Akram bisa mengangguk. “Iya, Umi.” Setelah itu, mereka berjalan beriringan menuju ruang makan. “Umi. Abah masih di masjid?” “Iya, kamu juga tahu jika abah memang masih di masjid di jam-jam segini.” Nyai Rahmah menggeleng melihat sikap putranya yang terlihat seperti ketakutan jika bertemu dengan ayahnya sendiri. Akram tak kembali bicara, dia hanya mengikuti langkah ibunya saja. Akhir-akhir ini dia memang sedikit menghindari ayahnya agar tidak berpapasan kecuali saat mengaji, dia masih belum siap jika sang ayah kembali menagih janjinya yang sampai saat ini belum dia kabulkan. Sebenarnya ada rasa bersalah, tetapi sungguh dia tidak tahu harus berbuat apa selain meminta petunjuk dan pertolongan pada Sang Pencipta saja. Tidak bisa mencurahkan apa yang menjadi beban pikirannya pada siapa pun terlebih pada istrinya. Bukan tidak percaya, tetapi entah kenapa dia tidak bisa saja, hanya di atas sajadah lah dia bisa mencurahkan semua kemelut pada Rabb-nya. Akram langsung duduk bersila saat melihat ibunya akan menyediakan nasi untuknya. “Umi, biar aku saja. Terima kasih.” Nyai Rahmah hanya pasrah. “Baiklah, Umi susul Marwah dan memberitahunya jika kamu ada di sini mau ketemu dia.” “Ah, maaf, Umi.” Akram melihat arlojinya dan ternyata sebentar lagi waktu mengajar anak santri. “Sebentar lagi waktu anak-anak mengaji, hari ini ada ujian tahriri. Jadi insyaallaah, nanti aku ke sini lagi setelah ujiannya beres. Lagipula kasihan kalau Marwah belum selesai.” Nyai Rahmah mengangguk seraya tersenyum. “Baiklah. Semoga semua urusan lancar, Ceng.” “Aamiin. Jazakillaahu khayr, Umi.” “Waiyyaka, aamiin.” Setelah sang ibu pergi, akhirnya Akram mulai mengambil teko yang berisi air mentah untuk mencuci tangannya yang di bawahnya ada sebuah baskom kecil sebagai penampung air bekasnya. Lalu mulai menyendok nasi sesuai kebutuhan beserta lauknya. “Bismillah....” Akram makan dalam diam. Dia tidak begitu suka makan sambil bicara, karena itu adab yang diterapkan keluarganya. *** “Assalamu’alaikum.” Akram kembali masuk ke rumah orang tuanya setelah mengajar, di tangannya ada banyak tumpukan kertas hasil ujian para santri yang belum dia cek. Saat masuk, di ruang utama ada sang ayah yang langsung menoleh ke arahnya, ibunya, Sukma—kakak sulungnya, dan terakhir Marwah. “Wa’alaikumussalaam warahmatullah,” jawab mereka serempak. Akram mulai menyalami semuanya, mulai dari sang ayah, ibu, kakak, dan terakhir adiknya. “Nara mana, Ram?” tanya abah. “Aku langsung ke sini setelah dari madrasah, Abi. Nara, apa dia tidak ke sini lagi, Umi?” Nyai Rahmah menggeleng. “Kelihatannya dia sedikit kurang enak badan. Tadi pas ke sini menjumpai Marwah wajahnya agak pucat, terlihat juga keringatnya yang mendadak banyak di wajahnya. Apa memang dia sedang sakit, Ceng?” Dalam hati Akram berterima kasih pada sang ibu yang sudah membantunya. “Aku belum tahu, Umi.” Dia memang tidak tahu jika istrinya sakit, tetapi saat terakhir kali dia melihat Kunara terlihat baik-baik saja hanya saja merasa kegerahan. “Abah, bagaimana? Apa bisa kita bertiga bicara?” tanya Sukma seraya mencuri pandang pada Akram. Pun dengan abah dan umi, sebelum menjawab mereka sempat melirik pada Akram, sebelum akhirnya abah menyetujuinya dan membawa kedua wanita itu untuk berdiskusi di ruang belajar beliau. Akram menatap kepergian ketiga orang itu dengan hati bertanya, bukan tak sadar, dia tahu jika tadi ketiganya terus mencuri pandang ke arahnya. “Apa kabar, Mas?” tanya Marwah membangunkan abangnya yang tengah melamun seraya menatap kepergian ketiga anggota keluarga mereka. Akram menoleh langsung pada sang adik dan tersenyum. “Alhamdulillaah.” Lalu matanya tertuju pada perut besar sang adik. “Jadi benar ada dua di sana, Dek?” Marwah mengangguk semangat. “Kembar, A.” “Alhamdulillaah.” Akram menatap perut Marwah dengan penuh takjub seakan sudah merasakan kehadiran dua keponakannya, bibirnya terus mengukir senyum penuh sayang dan bahagia. Marwah ikut tersenyum melihat keterpanaan sang kakak pada kedua bayi dalam perutnya. Mata lelaki ini begitu lekat dan serius seakan menggambarkan seseorang yang merindukan sesuatu yang sudah lama dia nantikan. “A, bacakan doa buat kedua anakku ini, ya. Bilbarkah dari Bapak Ajengan Nurul Qur’an, hehehe.” Akram menggetok keningnya Marwah pelan membuat bumil itu terkekeh, dia tidak suka dipanggil ajengan. Setelah itu dia sedikit membungkuk dan sedikit mencondongkannya ke arah perut Marwah, bibirnya komat-kamit membacakan surah Al-Insyirah sebanyak tujuh kali dan setelahnya dia tiupkan pada perut besar itu. “Eh, apa mereka bergerak?” tanya Akram saat melihat perut adik bergelombang. Marwah mengangguk, diusapnya perutnya itu dengan perlahan dan lembut. “Kata twins, syukran bii khayr, Uu (panggilan paman).” “Waiyyakum, masyaallaah tabarakallaah,” jawab Akram masih dengan tersenyum lembut. Entah kenapa, setiap melihat adiknya yang tengah hamil ini, hatinya merasa bahagia dan seakan segala pemikiran yang akhir-akhir ini menguras energinya hilang menepi. “Oh iya, Ceng Zen gak ikut ke sini?” Akram baru ingat jika anak pertama Marwah sejak tadi tidak terlihat. “Dia ikut abinya, ada acara Tabligh Akbar di kecamatan Wanaraja. Masyaallaah, Ceng Zen itu lagi aktif-aktifnya, sekarang, makanya gak diizinin ikut aku kalau tidak sama abinya.” Akram mengangguk paham. Usia Zen memang baru 30 bulan, usia bayi yang dalam masa tumbuh kembangnya sedang aktif-aktifnya. Ditambah balita yang sebentar lagi akan menjadi abang ini memang tergolong sedikit hiperaktif, cerdas, dan sangat sehat. “Kapan Ceng Arif (suami Marwah) akan menjemputmu?” “Mungkin setelah aa (sebutan Marwah pada suaminya) selesai acara. Diperkirakan Isya, insyaallah.” “Gak menginap?” “Tidak tahu, gimana aa aja, nanti. Kenapa emangnya, A? Kok tumben tanya nginap atau tidak?” “Bukan apa-apa juga sih, hanya Aa kangen sama Ceng Zen. Kalau kamu menginap, biarkan Ceng Zen tidur di rumah Aa saja.” Marwah mengangguk mengerti. Memang, di antara saudara-saudara lainnya, Akram lebih dekat dan terbuka pada Marwah, padahal usia mereka cukup terpaut jauh. “Kalau begitu, biar aku bujuk aa-nya aja agar menginap semalam, di sini.” “Terima kasih, Dek. Kamu memang paling mengerti Aa.” Marwah hanya mengangguk dan tersenyum, hampir saja dia keceplosan untuk meminta kakaknya agar segera punya anak, untungnya dia segera sadar, kalau sampai menyeletuk, dia bisa pastikan raut sang kakak akan langsung berubah. “Dek, Aa izin periksa ujian santri dulu.” “Iya, A. Silakan.” Marwah menatap kakaknya yang berjalan ke arah ruangan yang tak jauh dari tempatnya. Ruangan yang hanya disekat oleh lemari hiasan berukuran pendek sehingga dia masih bisa melihat kakaknya yang kini mulai fokus pada pekerjaannya. Dalam diam, Marwah memerhatikan Akram. Dalam hati dia juga merasa kasihan karena kakaknya belum juga dikaruniai anak padahal usia pernikahannya sudah menginjak tahun ke enam. Anak layaknya rizqi, jodoh, juga maut, tidak ada yang bisa memprediksi, karena itu hanya rahasia Allah SWT. Namun, akhir-akhir ini dia sering mendengar jika ketidak beradaan anak dalam rumah tangga sang kakak itu karena memang disengaja? Bahkan baru saja dia ikut mendengar soal kakak sulungnya yang berbincang pada kedua orang tuanya yang menawarkan seorang perempuan untuk dijadikan istri kedua sang kakak. Marwah yang memang tidak tinggal di kompleks keluarganya sedikit ketinggalan info soal kakak laki-lakinya itu. “Apa benar seperti itu? Apa benar Teh Nara tidak mau punya anak?” batinnya bicara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN