Biar Dia yang Atur

1268 Kata
Bruk! Jennie menjatuhkan dirinya di atas ranjang empuknya. Saat ini ranjang king size itu begitu ia rindukan, rasanya sudah cukup lama ia tidak bergumul di atas tempat empuk dan nyaman itu. Segala capek dan rasa malas yang sempat terpendam pun otomatis terasa nyata saat ia menempelkan diri di pembaringan itu. Ia memperbaiki posisi tubuhnya, berbaring terlentang dengan dua tangan yang ditumpukan di atas dahi. Pikirannya kembali bekerja keras, membayangkan kejadian beberapa jam lalu. Senyumnya mengembang tipis, di waktu kesendiriannya ini, ia tergoda untuk mengingat kenangan tentang bos muda itu. Flashback.... “Tuliskan nomor rekeningmu.” Pinta Nelson seraya menyodorkan ponselnya kepada Jennie. Setelah kesepakatan itu, Jennie bersedia kembali duduk sejenak bersama Nelson. Pembahasan mereka masih banyak yang harus dilanjutkan, dan Jennie merasa sangat perlu menjelaskan aturan mainnya, apa yang akan menjadi kewajiban, hak serta pantangan selama kerjasama di antara mereka masih berlangsung. Uluran tangan Nelson yang menanti sambutan Jennie pun hanya disoroti dengan tatapan tanpa ekspresi. Jennie tersenyum seringai, ia mengalihkan pandangannya dari ponsel yang masih menunggu berpindah ke tangannya. Manik mata Nelson menjadi sasaran tatapannya kini, Jennie melipat kedua tangannya di depan d**a, dan tidak sulit bagi Nelson untuk mengerti sikapnya. Pria itupun menarik kembali tangannya, batal menyodorkan barang pribadinya itu. “Sebelumnya aku ucapkan terima kasih atas sikap royal tuan. Sejujurnya aku hanya asal sebut saja, angka itu kelewat fantastis.” Ucap Jennie, memulai pembicaraan seriusnya. “Tapi aku tidak masalah, kita sudah deal. Aku akan membayarmu separuh saat ini juga.” Jawab Nelson dengan tenang, menunjukkan bahwa sepuluh milyar baginya hanya seperti seujung kukunya saja. Terlalu enteng untuk ia foya-foyakan kepada seorang wanita. Jennie mengulum senyum, tak habis pikir dengan pria yang begitu powerfull dan mantap dengan apa yang dia katakan. Hampir tidak ada gurat penyesalan yang terlihat dari raut wajahnya. Jennie terkesiap, ia membuyarkan pikirannya agar tidak terus-terusan berfokus pada nilai plus pria itu. Jennie sengaja berdehem meskipun tenggorokannya tidak merasa serak ataupun berdahak, hanya demi mencairkan kecanggungan dalam dirinya. “Ya, aku tahu anda pasti tidak keberatan soal angka. Tetapi masih ada hal yang perlu kita sepakati sebelum anda membayarku.” Sepasang alis Nelson terangkat sedikit, ia melirik Jennie dengan sorot penuh tanda tanya. “Apa lagi itu?” Tanyanya singkat. “Aku punya aturan kerja yang harus disepakati bersama calon klien. Ini tentang apa yang boleh dan tidak boleh klien lakukan kepadaku.” Jelas Jennie, ia tampak penuh percaya diri dan serius menyatakan kehendaknya. Nelson memberikan kode tangan, mempersilahkan wanita itu bicara lebih. “Katakan.” Jennie merapatkan kedua kakinya, punggungnya tegak sembari menurunkan tangan yang semula dalam posisi terlipat. “Biasanya aku akan menyodorkan surat kontrak hitam di atas putih. Sebelum itu, aku jelaskan sedikit tentang apa isi surat tersebut. Pertama, hal yang boleh klien lakukan adalah mengajak jalan keluar layaknya orang pacaran, dinner, dan kalau untuk klimaksnya aku tidak keberatan jika perlu dilakukan di kamar hotel. Masa kontrak tidak lebih dari tiga bulan. Aku hanya bisa memberikan waktu maksimal segitu, jika dalam jangka waktu tersebut misi belum berhasil, aku tidak akan mengembalikan uang yang sudah menjadi kesepakatan kita. Karena bisa saja klien yang terlalu mengulur waktu atau berubah pikiran, itu di luar pertanggung jawabanku.” Nelson manggut-manggut, melipat bibirnya hingga terlihat manis. “Tidak masalah. Lanjut!” Jennie tersenyum tipis, tak menyangka akan semulus itu dalam bagian ini. Biasanya ada calon klien yang cukup rewel dan menawar haknya sebagai penyewa, membuat Jennie harus berpikir ulang hingga negosiasi baru tercapai. Nelson sungguh lain dari pria-pria yang pernah menggunakan jasanya. “Yang kedua, hal yang tidak boleh dilakukan klien dan aku tegaskan bahwa ini bukanlah bagian dari kerjaanku. Jangan meminta hubungan badan, kontak fisik berlebihan hingga ciuman, tidak bisa ditolerir. Aku tidak menerima alasan apapun untuk ajakan yang menjurus ke ranah terlarang itu. Kita bisa berakting seakan ada sesuatu yang terjadi di antara kita, hanya untuk memanipulasi target agar percaya kalau kita melakukan itu, tapi tidak sungguh-sungguh. Anda paham?” Lagi-lagi bos muda itu menarik senyum tipis, ia mengambil ponselnya lalu mengetikkan sesuatu dengan cepat dan tanpa memalingkan tatapan dari Jennie. Tanpa Nelson sadari wanita itu menatapnya dengan sedikit takjub karena keahliannya yang bisa mengetikkan pesan dan mengirimkan pada seseorang tanpa melihat ke arah layar. “Sangat paham nona, kalau hanya itu saja syaratnya, aku tidak keberatan. Jennie termangu sejenak, tak menyangka Nelson akan meresponnya dengan cepat, tanpa perlu mempertimbangkannya lebih dulu. Biasanya bagian ini membuat ia harus bernegosiasi dulu dengan calon klien yang kadang salah persepsi mengira Jennie bersedia melayani plus plus. Ada sedikit rasa lega, meskipun belum tahu seperti apa tantangan yang akan ia hadapi nantinya, namun sikap Nelson yang cukup manis itu membuatnya merasa aman. “Ya, hanya itu dulu.” Jawab Jennie, masih tertegun dengan sikap Nelson hingga suaranya melemah. Ponsel yang tadi belum direspon oleh Jennie pun kembali dijulurkan lagi, “Kalau begitu tuliskan nomor rekeningmu di sini. Karena sistem p********n dengan cara transfer ada limtnya, apa kamu bersedia aku bayar secara berkala, atau mau pakai cara p********n cek saja?” Tanya Nelson, tatapannya lurus memandangi wajah Jennie, membaca ekspresi lawan bicaranya dan mencoba menebak perasaannya lewat pancaran netra itu. Jennie mengedikkan bahunya, acuh. “Transfer saja berkala, aku malas banyak berurusan di luar.” Jawab Jennie sekenanya. Nelson tersenyum tipis, “Baiklah, asal kamu mau sabar dan percaya saja. Ini bukan jumlah yang sedikit.” Ujar Nelson mengingatkan lagi bahwa transaksi mereka cukup besar. “Kamu pasti bisa mengaturnya, kamu kan bos. Aku percaya kamu tidak akan mangkir. Anak buahmu pasti ada yang bisa disuruh untuk menyetor ke rekeningku.” Ujar Jennie tersenyum miring, jemarinya lincah mengetikkan nomor rekeningnya lalu menyodorkan balik kepada Nelson. Nelson mengangkat kedua alisnya saat membaca tulisan di layar ponselnya. “Hmm... Oke, aku aturkan semuanya.” Ia meneruskan tulisan itu sebagai pesan kepada anak buahnya. Lalu kembali menatap lekat pada Jennie yang masih menunggu responnya. Jennie menoleh ke luar saat melihat Liam masuk lagi ke ruangan ini. Pria muda itu menghampiri tuannya seraya menyodorkan sesuatu yang membuat dahi Jennie mengernyit heran. Nelson manggut-manggut ketika Liam membisikkan sesuatu, kemudian ia menundukkan badan dan berjalan pergi. “Ambil ini! Selama kerjasama ini berlangsung, ponsel ini menjadi penghubung kita. Aku akan kirimkan jadwal pertemuan, misi dan lainnya ke nomor itu. Kamu tinggal pakai saja.” Ujar Nelson, menaruh ponsel mahal itu di atas meja agar diambil Jennie. Jennie melihati benda pipih itu, sedikit ragu dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Cara main klien ini lain dari klien yang selama ini ia jumpai. Memberinya sebuah ponsel khusus, Jennie bisa menebak kalau pria itu akan banyak mengatur nantinya. Ia menjulurkan tangannya, meraih ponsel mahal itu dan menatap Nelson. “Baiklah.” Ponsel yang masih di tangan Jennie berdering membuatnya terkejut. Belum satu menit saja sudah ada notifikasi di sana, sontak Jennie melirik ke layar, sepasang matanya ternganga melihat notifikasi itu. “Bukti p********n, kamu bisa cek sendiri kalau belum yakin.” Ujar Nelson menjawab kebingungan Jennie tanpa perlu ditanyakan padanya. Flashback off. Suara dering ponsel yang belum familiar bagi Jennie kembali berdering, mengejutkan ia yang masih bernostalgia dengan kejadian beberapa jam lalu. Jennie bangkit kemudian berjalan cepat mendekati meja, meraih ponsel yang sedang meminta perhatian itu. ‘Besok jam tiga sore orangku akan menjemputmu.’ Dahi Jennie mengerut, pesan yang terlalu singkat dan tidak jelas. “Jemput ke mana? Apa rencana dia? Cih... Apa dia tidak bisa menjelaskan dengan detail? Harus ditanya satu persatu dulu?” Gerutu Jennie, jemarinya mengetikkan balasan namun hatinya mulai ragu dan menghapus semua ketikan itu. Diletakkannya lagi ponsel itu di atas meja, memilih kembali bertemu ranjang dan bantalnya saja ketimbang harus memikirkan rencana pria itu. “Hah, sudahlah... Biar dia atur saja.” Gumam Jennie, lalu memejamkan mata, berharap bisa tertidur secepatnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN