Nelson mengamati perubahan wajah wanita di hadapannya, tanpa perlu menyentil dengan pertanyaan, ia bisa mengetahui suasana hati Jennie pasti tengah kacau. Nelson menyorotinya dengan tatapan datar, tak mengira juga bahwa mental pelakor yang kini sedang ramai diperbincangkan publik itu tidak sekuat yang ia kira. Berbekal iklan yang dilihatnya, ia memang penasaran dengan sosok wanita yang menawarkan jasa sebagai wanita sewaan itu. Dalam image Nelson, wanita yang berani menyandang profesi ekstrim itu pasti berhati dingin, dan berperingai buruk, nyatanya yang Nelson lihat justru kebalikannya. Wanita bernama Jennie itu tampak lembut, perasa dan terlihat menyedihkan.
“Apa kamu sungguh tidak tahu tentang video itu?” Nelson mengulangi pertanyaan itu, membuat Jennie mengalihkan tatapan dari layar Ipad dan mengarah kepadanya.
“Jadi ini yang mau kamu bahas denganku?” Tuding Jennie, masih belum bisa membaca apa yang dikehendaki pria penolongnya.
Nelson tersenyum miring, menyandarkan punggung pada sofa dan merentangkan dua tangannya di sana. “Salah satunya itu.”
Jennie mengerutkan dahinya, kurang mengerti apa yang dimaksud pria itu. “Tolong jangan bertele-tele, apa yang anda inginkan?”
Kali ini posisi tangan Nelson mulai gerah untuk terlentang, ia pun merubahnya dengan melipat kedua tangan itu di depan d**a, menyoroti Jennie dengan tatapan tajam. “Kamu yang pasang iklan di situs X kan? Aku mencarimu untuk memakai jasamu dan secara kebetulan bertemu di tempat itu.”
Pikiran Jennie bekerja keras mencerna kata-kata pria itu walau terdengar sangat jelas. Pria itu salah satu calon kliennya yang tertarik untuk menyewa jasanya. Dan pertolongan tadi hanya sebuah kebetulan yang semestinya tidak perlu membuat Jennie gede rasa. Untuk apa pula ia harus trenyuh oleh sikap pria itu yang menurutnya terlihat sangat gentle saat pasang badan melindunginya. Ternyata semua itu karena ia ingin bekerja sama, dan itu artinya Jennie harus siap untuk terluka lagi.
“Oh....” Hanya jawaban itu saja yang terlontar dari Jennie, pendek dan bermakna ganda, antara tertarik dengan tawaran pria itu atau meremehkannya. Jennie sendiri heran, mengapa ia bereaksi biasa saja mendengar tawaran itu. Jelas-jelas inilah profesinya, cara ia mendapatkan uang dalam jumlah besar di waktu yang singkat. Namun kali ini, hatinya mulai mempertimbangkan lebih jauh. Ada rasa jera, marah, sedih, malu, kecewa yang sulit Jennie definisikan. Masalah besar di depan mata belum kelar, dan ia kini ketiban tawaran yang mungkin akan beresiko sefatal ini juga akibatnya.
Nelson menaikkan satu alisnya, berusaha membaca air muka wanita itu. Hanya ada mereka berdua dalam ruangan ini dan tidak akan ada satupun yang berani menguping pembicaraan, kecuali mereka menginginkan pemecatan. Nelson merubah posisi duduknya, sedikit menunduk agar jarak wajahnya tidak terlalu jauh, dan demi menunjukkan kesungguhan kepada wanita itu.
“Aku akan membayarmu dengan harga tinggi, kamu bisa menyebutkan angkanya. Berapapun tidak masalah bagiku.” Ujar Nelson membuka diri untuk menerima penawaran Jennie, berapapun yang disebut oleh wanita itu.
Jennie menatap kesungguhan dari manik mata Nelson. Belum ada yang berani memberinya keistimewaan seperti itu. Menyebutkan angka sebanyak yang ia mau, Jennie berpikir panjang, mencurigai ada sesuatu yang mungkin sulit untuk ditakhlukkan. Itulah sebabnya pria itu tak segan membayar berapapun yang ia inginkan. Resiko dari pekerjaan ini mungkin akan lebih mengerikan dari yang sekarang ia terima. Jennie benar-benar harus lebih selektif memilih calon kliennya.
Nelson masih berdiam, membiarkan Jennie berpikir dan ia sedikit bisa membaca dari air muka wanita itu. Ada keraguan yang tidak bisa ditutupi dari ekspresi wajahnya. Wanita itu mungkin akan menyuarakan keberatan.
“Ya, aku memang memasang iklan di situs itu. Kebetulan sekali anda bisa membacanya dan bertemu denganku dalam kondisi begini. Seperti yang anda lihat sekarang, aku sedang menerima dampak sosial dari job sebelumnya. Aku belum bisa menerima job baru, jadi maaf....” Jennie menghela nafas, ia tak ingin menyakiti dirinya lebih dalam sebelum luka fisik dan mental yang dirasakannya saat ini membaik.
Nelson diam terpaku, merubah posisi tangannya dengan mengangkat satu tangan untuk menopang dagu sementara yang satunya masih terlipat di depan d**a. Ia tersenyum seringai pada Jennie, menghadiahinya sorotan teduh yang mengguncang hati. Senyum dan sorot mata yang tidak sinkron, seakan menunjukkan kepedulian dan antipati dalam waktu bersamaan. Sungguh membuat Jennie yang menatapnya tak bisa membaca apa yang dipikirkan pria itu.
“Kalau itu saja masalah yang membuatmu menolak tawaranku, aku bisa mengatasinya dalam sekejap. Kamu pasti sudah melihat kemampuanku meloloskan kamu dari amukan massa tadi, dan kamu juga tahu kalau aku lah yang memberitahumu tentang masalah besarmu itu. Dan menurutmu, aku tidak bisa berbuat lebih untuk membereskan kekacauan kecil itu di luar? Kamu meragukan kekuasaanku, Hmm?” Ujar Nelson, menunjukkan sikap angkuh yang sejak tadi dipendamnya.
Jennie menyipitkan sepasang matanya, menatap lekat kesungguhan dari wajah serta ucapan pria itu. Memang benar kenyataannya bahwa pria inilah yang menolongnya, memberitahunya masalah ini dan sekarang dia sedang menyombongkan diri bahwa dia bisa membereskan kekacauan ini. Jennie merasa tertarik, ia mengikuti posisi duduk Nelson dan melipat kedua tangan di depan dadanya. Senyum tipisnya mengembang, perlu sedikit menguji kehebatan tuan muda yang penuh kuasa itu.
“Jika anda bisa menunjukkan padaku cara anda mengatasi masalahku ini dan berhasil, mungkin aku bisa mempertimbangkan tawaranmu.” Jawab Jennie menunjukkan senyum tipisnya, senyuman andalan yang sering menumbangkan hati lawan jenis yang tengah bersitatap dengannya.
Nelson tersenyum simpul, merasa tidak perlu lagi mengatakan apapun pada Jennie saat ini. Jika yang ingin dilihat adalah pembuktian, maka akan ia realisasikan segera mungkin. Bos muda itu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, lirikan matanya sekilas mengarah pada Jennie, namun saat Jennie membalas tatapannya, ia justru beralih pada layar ponsel. Benda pipih itupun ditempelkan pada daun telinganya, menunggu terhubung dengan seseorang.
“Bereskan sekarang!” Perintah Nelson dengan lantang.
Jennie tersenyum simpul, dalam diamnya terus mengamati pria muda itu. Paras rupawan, kekuasaan yang sedang ia uji kehebatannya, aura diri yang begitu menarik, maskulin dan sanggup menggetarkan hati kaum hawa bila terus dipandang dari jarak sedekat ini. Namun mengapa pria sesempurna itu membutuhkan bantuan Jennie? Untuk apa bos muda itu mencari wanita sewaan? Terlebih Jennie yang memang mengkhususkan dirinya sebagai pelakor yang bisa disewa pria yang sanggup membayarnya mahal. Untuk apa seorang pengusaha sekelas Nelson Tanuwidjaja harus mencari wanita pelakor seperti Jennie? Itu yang tidak habis Jennie pikirkan sekarang, rasanya ada yang mengganjal dalam benaknya dan ia merasa pria di depannya itu tidaklah sesimpel itu.
Nelson menyudahi pembicaraan via ponsel, dengan tangan yang masih menggenggam alat komunikasi itu, ia melirik ke arah Jennie. “Sekarang kamu bisa cek sendiri, apa videomu masih beredar di internet? Aku berani menjamin video itu sudah lenyap dari muka bumi ini!” Seru Nelson penuh percaya diri.
Jennie tersenyum tipis, meremehkan kemampuan Nelson. Semudah itukah menghilangkan peredaran video di dunia maya dalam hitungan menit? Mungkin hanya ahli sihir yang bisa melakukannya. Dengan ragu Jennie meraih gadget pria itu, hendak menonton ulang video yang ditunjukkan padanya tadi.
“Eh?” Jennie terkesiap, file video itu memang masih ada namun tidak bisa dibuka lagi. Masih tidak percaya, Jennie mengambil ponselnya sendiri dan menelusuri pencarian di internet menggunakan beberapa kata kunci. Video penganiayaan dirinya sungguh lenyap semudah itu di tangan pria itu. Sulit dipercaya, namun memang inilah kenyataannya. Pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.
“Bagaimana nona Jennie, tidak ada lagi yang perlu anda ragukan untuk menerima tawaran saya!?”
***