Berulang kali sudah Levin melirik jarum jam tangannya, menghitung mundur detik demi detik penantiannya. Sepasang kakinya sudah mulai pegal berdiri di depan pintu rumah, ia mulai letih menyiksa diri dengan berdiri mematung di sana. Perlahan Levin beranjak dari muka pintu kemudian bersandar di tembok samping penghubung ruang di dalam rumah itu. Dari spot ia berdiri sekarang, matanya cukup leluasa memandang ke arah jalanan, berharap mobil si pemilik rumah segera muncul di depan sana.
Levin menengadahkan kepalanya, menatap hamparan bintang yang tampak cukup padat di langit malam ini. Senyumnya mengembang penuh, menertawakan dirinya yang begitu rela menunggu bagai orang yang kurang kerjaan. Tetapi herannya, entah mengapa ia tidak merasa bosan walaupun sikap wanita itu selalu seenaknya. Bagi Levin, bisa mendengar celoteh dan sikap semena-mena wanita itu adalah kebahagiaan tersendiri untuknya.
“Aku memang bodoh, tapi aku bersedia asal kamu yang membuatku begitu.” Gumam Levin, seakan bicara dengan orang yang hendak ditemuinya. Senyumnya begitu lebar, membayangkan ada ukiran wajah Jennie di antara bintang yang berkelip. Sungguh khayalan yang terlampau tinggi di tengah ketidak-jelasan sikapnya sekarang.
Suara mesin mobil yang terdengar nyata di kesunyian malam segera membuyarkan lamunan indah Levin. Pandangannya kini tertuju pada sumber bunyi itu berasal, hatinya terasa plong saat melihat mobil yang ia kenali itu memasuki halaman parkir rumah. Levin berjalan menghampiri mobil yang tak lama kemudian mesinnya berhenti sempurna. Ia berdiri tepat di hadapan pintu mobil di bagian kemudi, seakan menyambut tuan putri kembali dari perjalanan keliling kota.
“Selamat malam nona Jennie.” Sapa Levin dengan candaan khasnya yang menggoda.
Jennie turun dari mobil, menatap sekilas pada Levin yang begitu perfeksionis menyambutnya hingga membungkukkan badan segala. Wanita itu reflek nyengir, lalu menutup pintu mobil dan menguncinya dengan remote kunci. “Kamu tampak menyebalkan bertingkah begitu.” Cibir Jennie, tentunya menanggapi pria itu dengan candaan pula. Dan Levin tahu betul itu.
Levin terkekeh kemudian mengekori Jennie yang berjalan hendak membuka pintu. Lagipula untuk apa berdiri ngobrol di luar jika bisa melakukannya dengan santai di dalam rumah.
“Kenapa mendadak datang? Nggak kenal jam pula, ini sudah menjelang subuh, apa kamu nggak istirahat?” Tanya Jennie, menodong dengan sederet pertanyaan pada pria di belakangnya.
“Aku habis gantian shift dan lagi bete aja. Lalu kamu sendiri kenapa keluyuran malam-malam dan baru pulang? Habis ngapain kamu?” Seru Levin, membalas todongan pertanyaan yang tak kalah banyak.
Jennie diam saja, sibuk membuka pintu dan segera masuk ke dalam tanpa mempersilahkan tamunya masuk. Ia yakin tamunya yang satu itu tidak perlu dilayani dengan formal, ia pasti akan mengekorinya masuk tanpa permisi. Langkah kaki Jennie menginjak karpet bulunya yang menjadi alas sofa empuk, ia terlalu lelah untuk melepaskan heelsnya. Tubuh rampingnya segera dihempaskan ke atas sofa, menikmati selonjoran dengan santai pasca pekerjaan beratnya. Dan tentunya masih tidak berniat menjawab keingin-tahuan Levin. Bukankah memang ada pertanyaan yang diciptakan tanpa jawaban? Biarlah menjadi misteri dan rahasia yang dibawa mati olehnya. Tapi, sepertinya bukan sebuah rahasia lagi bagi pria itu. Levin terlalu banyak tahu tentang Jennie, bisa dikatakan mungkin hanya Levin lah satu-satunya orang yang paling Jennie kenal di dunia ini.
“Hah? Jangan bilang kamu habis itu lagi!?” Teriak Levin yang tersentak kaget saat melihat jejak penderitaan di wajah Jennie. Sontak ia mendekati wanita yang tengah rebahan itu lalu berjongkok di dekat wajah cantik itu. Sepasang mata Levin begitu teliti memperhatikan luka lecet di sudut bibir Jennie. Levin meringis, meskipun bukan dirinya yang terluka namun perih itu seakan terkoneksi dalam tubuhnya.
Jennie tetap acuh, memilih memejamkan mata dengan kedua tangan yang dilipat di depan d**a. Membiarkan suara Levin yang kian bawel mengomentarinya. Telinga Jennie terasa kebal mendengar kecemasan pria itu. Bukan kali pertama Levin tahu luka yang langganan menghias wajah cantiknya setiap kali ia mengambil job ekstrim.
“Ng... Sudahlah, kamu berisik banget. Aku ngantuk! Kenapa kamu tidak pulang saja dan tidur!” Gerutu Jennie yang mulai risih dengan suara Levin yang kian cerewet.
Levin berdiri seraya berkacak pinggang, memperlihatkan sorot mata tegas dan wajah seriusnya yang mubajir lantaran Jennie tetap memejamkan mata. “Aku tidak akan pulang sebelum mengobati lukamu. Diamlah di situ, akan ku siapkan bahannya.”
“Ng....” Jawab Jennie dengan kesadaran yang makin berkurang, terhalang kantuk yang memberatkan kelopak matanya untuk terbuka lebar. Ia pun hanya bisa pasrah membiarkan Levin merawatnya. Toh biasanya memang pria itu yang mengurus luka babak belurnya. Beruntung bagi Jennie memiliki sahabat dekat seorang perawat, mereka seakan ditakdirkan saling mengenal untuk saling menolong. Oh, tapi lebih tepatnya Jennie lah yang lebih sering ditolong oleh pria itu.
Levin datang dengan langkah terburu-buru, tangannya memegang baskom yang berisi air es serta handuk kecil yang ia tahu letaknya selalu berada di jemuran belakang rumah. Handuk yang sudah seringkali ia gunakan untuk mengompres begam di wajah wanita itu. Levin memeras handuk itu setengah kering, kemudian menaruh beberapa buah balok es dan membalutnya pada handuk.
Sejenak ia memperhatikan wajah cantik itu, memeriksa bagian mana lagi yang terluka. Levin meringis pelan lalu mulai mendekatkan handuk itu pada sudut bibir Jennie. Ketelatenannya tidak diragukan lagi, ia pasti bisa merawat luka Jennie hingga sembuh. Tanpa harus membiarkan gadis itu berurusan dengan tenaga medis karena pastinya ia akan b**********n jika tanpa bantuan Levin. Terkadang perlu masa pemulihan dua minggu lebih jika cidera yang ia dapatkan lebih dari ini. Dan Jennie dengan lihainya bersembunyi di dalam rumah, hidup sendirian sampai tubuhnya benar-benar pulih.
“Aauuww....” Pekik Jennie spontan ketika lukanya disenggol oleh Levin.
“Ditahan aja, perasaan udah pelan banget masih aja terasa sakit. Tapi pasti jauh lebih sakit saat dipukul tadi. Itu aja kamu bisa tahan, kenapa sekarang malah meringis?” Gumam Levin, sebenarnya ia tidak tega melihat wanita itu menderita, namun yang ia lakukan sekarang bukanlah bentuk penyiksaan, melainkan tengah menolong dia.
Kantuk Jennie pun buyar, hilang berganti perih yang lebih mengontaminasi rasa dalam dirinya kini. Ia bisa melihat wajah cemas Levin dari jarak yang begitu dekat. Pria itu kini menjauhkan handuk kompres, menaruh kembali ke dalam baskom kemudian beralih mengambil salep yang sudah dilumuri pada cotton bud.
“Tahan sebentar lagi, aku harus mengobatinya. Setelah itu kamu bisa tidur sepuasmu, aku akan berjaga di sini.” Ujar Levin memberi dukungan semangat pada Jennie, tinggal satu tahap lagi.
Jennie mendelik, “Kenapa kamu tak pulang saja? Nanti kita digerebek massa.”
Levin berdecak, merasa konyol dengan kecemasan Jennie. “Tinggal bilang saja aku menjaga orang sakit, memang terbukti kamu lagi babak belur begini. Lagipula masa kamu tega biarin aku pulang jam segini. Aku juga ngantuk tahu!”
Jennie tak ambil pusing lagi, ia terlalu ngantuk untuk meladeni Levin.
“Aku nggak habis pikir, Jen. Kenapa kamu milih kerjaan kayak gini? Apa kamu nggak takut suatu hari ketemu orang yang lebih nekad dan merusak wajah atau tubuhmu? Plis deh, berhentilah membahayakan diri sendiri. Di luar sana banyak kok kerjaan yang jauh lebih aman dan menghasilkan ketimbang ini.” Lirih Levin cemas, ia menatap iba pada Jennie yang tengah memejamkan mata dan hening. Entah didengarkan atau tidak, wanita itu tetap memilih diam, membiarkan Levin larut dalam keprihatinan.
***