Sepuluh Milyar, Deal!

1036 Kata
Negosiasi yang belum menghasilkan apapun, masih alot dan keduanya kompak terdiam sejenak memikirkan cara untuk memenangkan argumen masing-masing. Jennie menegakkan posisi tubuhnya, menyilangkan satu kaki seraya melipat tangan di depan d**a. Sikap tubuh yang seakan hendak menunjukkan pada pria di hadapannya bahwa ia berpendirian kuat dan tidak akan tergoyah dengan ancaman hutang budi. “Tuan, jika memang hutang budi itu penting bagi anda. Aku akan melunasinya dengan cara lain, tapi tidak dengan menerima pekerjaan ini. Sekiranya kalau tidak ada urusan lain lagi, aku permisi. Terima kasih atas bantuan anda hari ini.” Jennie berdiri kemudian menganggukkan kepalanya, tanpa merasa perlu mendengarkan jawaban tuan muda itu, ia melangkahkan kakinya dengan menenteng paper bag berisi pakaian kotornya. Nelson mendelik, menyoroti Jennie dengan tatapan tidak senang. “Aku belum selesai bicara nona Jennie!” Jennie terpaksa menahan langkahnya, suara pria itu memberatkan ia untuk beranjak dari ruangan. Ia mengurungkan niat untuk melangkah, namun enggan menoleh ke belakang sebelum pria itu meneruskan perkataannya. Tatapan Jennie lurus menatap pintu utama, tinggal beberapa langkah namun terjeda untuk menjangkau area itu. Nelson berdiri menyusul langkah Jennie berada. Suara sepatunya yang terdengar memecah kesunyian pun menjadi fokus Jennie, lewat sorot matanya yang mengarah pada lantai keramik, Jennie mengintip keberadaan pria di belakangnya. Entah apa yang akan pria itu lakukan namun Jennie belum tergerak penasaran apalagi membalikkan badannya. “Aku tidak suka memohon jika aku bisa melakukannya sendiri. Aku juga tidak bisa sembarang memilih orang untuk ku mintai bantuan. Dan aku sudah memilih kamu sebagai orang yang tepat untuk membantu masalahku. Anggap saja ini permintaan tolong dan setelah itu, aku anggap hutang budi ini impas. Nona Jennie, jangan membuatku mendengar penolakan!” Ujar Nelson dengan lantang dan lirih. Jennie terkesiap, ia menggigit bibir bawahnya saking bingung harus mengambil sikap bagaimana terhadap permintaan seorang pria yang mengiba padanya. Jennie memejamkan kedua matanya, ia tidak bisa terus-terusan mengeraskan hatinya, harus berpikir cepat apa yang akan ia lakukan untuk menghadapi tuan muda itu. Jennie membalikkan badannya, menatap lekat ke dalam manik mata Nelson. “Uang p********n sepuluh milyar rupiah, DP setengahnya hari ini juga. Pastikan keamananku terjaga, aku tidak mau istrimu mencelakakanku dalam bentuk apapun. Jika keberatan, anda bisa mengurungkan niat segera mungkin. Aku tidak akan menurunkan standarku, deal or no deal, its up to you!” Jennie tersenyum seringai, menampakkan raut wajah dinginnya pada Nelson. Sikap yang sering ia tunjukkan kepada kliennya ketika bernegosiasi tentang harga p********n jasanya. Jennie tidak peduli dengan penilaian yang mungkin saja bisa melabelinya buruk, yang ia tahu hanyalah jawaban dari calon kliennya, salah satu dari dua kata yang ia ajukan. Setuju atau tidak, sepenuhnya bukan urusan Jennie. Ia memang perlu uangnya, tapi bukan berarti bayaran itu segalanya, jika memang pria itu tidak sanggup menggelontorkan uang sesuai permintaannya, maka Jennie tidak perlu membuang waktu lebih lama untuk seseorang yang tidak sesuai levelnya. Dan khusus untuk Nelson, ia dengan sangat sengaja menyerukan angka yang teramat fantastis. Berharap pria itu keberatan dan menyerukan penolakan. Kini bibir Jennie menyunggingkan senyuman yang sarat akan makna menantang, bahkan sedikit meremehkan kemampuan pria di hadapannya. Ia yakin tidak akan ada pria seroyal itu yang bersedia merogoh kocek tebal hanya demi wanita bayaran seperti dirinya. Ada semilir angin yang terasa berdesir di antara celah jarak dua orang yang berdiri saling berhadapan dalam diam itu. Hening yang menghantarkan pesan pada hati keduanya, seakan sanggup membaca isyarat yang disampaikan lewat bahasa kalbu. Lekuk di sudut bibir pria itu melekuk sempurna, menghadirkan seulas senyuman manis pertanda baik. Sebuah anggukan mantap pun terlihat jelas dari gerak kepalanya, cukup sekali saja dan gestur itu sudah memberi arti bagi wanita yang terus menatapnya. “Deal.” Jennie merasa seketika sepasang lututnya terasa lemas. Permintaan yang tak masuk akal itu, bayaran yang asal ia lontarkan dengan nilai fantastis itu, semuanya disetujui semudah itu oleh Nelson. Hanya dengan satu kata tanpa embel-embel lainnya, tuan muda itu bersedia menuruti tuntutan yang terdengar gila itu. “Tunggulah sejenak, kita selesaikan p********n di muka sesuai yang kamu inginkan, nona Jennie!” Seru Nelson dengan binar mata yang tampak begitu jelas menunjukkan bahwa ia telah memenangkan negosiasi ini dengan uang dan kekuasaannya. *** “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif....” Lagi-lagi Levin mendapatkan jawaban yang sama dari panggilan yang ia tujukan kepada Jennie. “Aiisshh... Ke mana sih dia? Apa ketiduran? Kenapa harus mematikan ponsel? Huft!” Keluh Levin yang sudah pegal berdiri di muka pintu rumah Jennie. Percuma rasanya ia buru-buru mengejar waktu saat jam tugasnya berakhir, ngebut membelikan makanan di kedai langganan demi membawa makanan kesukaan wanita itu kemari. Ternyata sampai makanan itu dingin di dalam kotak makanan yang dijinjingnya, Levin masih belum mendapatkan pintu masuk. Ia berdiri layaknya satpam yang hanya boleh bertugas di luar rumah, miris. Levin mengacak rambutnya, tak tahu lagi harus melampiaskan kekesalannya dengan cara apa. Ia menatap pintu dengan tatapan nanar, “Tahu gitu mendingan aku diam-diam membuat kunci duplikat, daripada harus tersiksa setiap kali datang ke sini.” Geram Levin seraya mengumpat pada pintu yang tidak kunjung terbuka untuknya. Tak ada pilihan lain lagi, terpaksa ia berjongkok lalu duduk di depan teras. Sepasang kakinya yang sudah pegal pun diselonjorkan bebas di sana. Ia menatap cerahnya lagi yang mulai menjelang sore. Sungguh hari yang benar-benar berat baginya, dan tentu saja bagi Jennie. Ketika pertama kali melihat video yang menyorot wajah Jennie dengan jelas itu beredar di grup w******p rekan rumah sakitnya, Levin nyaris kehilangan kontrol diri. Ingin rasanya ia mengamuk pada semua orang yang tertawa, mencibir, dan begitu menikmati penderitaan yang Jennie alami dari serangan wanita lain. Dan semakin marah saat melihat Jennie, wanita yang sangat ia kenali itu hanya terdiam menerima pukulan bertubi dari wanita itu. “Ah, kenapa kamu terlihat tidak seperti Jennie yang ku kenal? Mana Jennie yang pemberani, bertampang dingin, cuek dan selalu membuatku kalah berdebat itu? Ke mana hilangnya semua keberanianmu? Kenapa kamu hanya diam, membiarkan dia menghajarmu habis-habisan? Jadi luka di sudut bibirmu karena itu? Apa kepalamu nggak sakit? Dia menjambak rambutmu dengan sekuat tenaga. Aaarrghhh! Kamu sangat menyebalkan Jennie, kenapa harus membuatku sekhawatir itu!?” Geram Levin, sebenarnya ia sangat ingin menyampaikan langsung di hadapan Jennie. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, sayangnya masih terhalang pertemuan yang terpisahkan oleh sebuah pintu. Levin kembali menoleh ke belakang lalu menghela nafas kasar, kapan pintu itu terbuka? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN