1. Paranormal

2124 Kata
Malam itu gerimis tak kunjung reda. Sudah sejak matahari terbenam hingga saat ini yang nyaris menyentuh tengah malam, lebih tepatnya pukul 11:30 malam. Zeno Rukas saat ini masih saja berkutat dengan ritual paranormalnya yaitu berkomunikasi dengan seorang roh. "Anakku.. hiks.. hiks.. hiks.. anakku!" Suara tangisan ibu tersebut terdengar berbaur dengan rintik hujan dari atap genting rumah itu. Di hadapan Zen, seorang ibu paruh baya menangis sembari berlutut dan terus bersujud berulang kali. Suara tangis tersebut terdengar hingga ke sudut-sudut ruangan. "Ibu, sudahlah! Hentikan ini sudah hampir empat jam Ibu seperti ini," teriak seorang pria paruh baya yang mencoba menghentikan Ibu tersebut. Di mana ibu tersebut terus-menerus bersujud selayaknya memohon ampunan. "Tidak Yah, Ibu tidak bisa berhenti. Ini salah Ibu. Ibu tidak rela melepas anak kita satu-satunya," tegas sang ibu sambil menepis lengan suaminya yang sedari tadi mencoba menghentikan dirinya. "Ibu! Apa kamu percaya dengan orang aneh ini? Dia hanya meracau saja. Mana mungkin roh itu ada!" teriak pria tersebut lagi sambil menunjuk-nunjuk ke arah Zen. "Ayah, berhentilah bersikap arogan! Aku sudah berapa kali bilang pada ayah jika seperti itu, jelas saja restoran kita sepi terus. Jika Ayah tidak percaya pada roh. Lalu apa-apaan jimat yang ayah sembunyikan di balik kulkas itu?" Zen mengulang kembali apa yang ia dengar dari roh yang ada di hadapannya tersebut. "Itu yang dikatakan putri anda!" seru Zen dengan ekspresi yang datar. Di hadapan Zen sesosok wanita dengan wajah yang setengah rusak berdiri dengan tegap. Meski yang terlihat hanya sebelah matanya dan mulutnya yang masih utuh. Zen tidak goyah dan takut untuk menatap lekat pada sosok roh tersebut. Tangan kanannya yang terpotong dan kaki kanannya yang juga terputar ke belakang. Menambah kengerian roh yang berdiri tepat di hadapannya ini. Zen bisa menebak jika ia tewas karena kecelakaan. Sosok-sosok roh yang mengerikan kadang terlihat jelas di mata Zen. Akan tetapi Zen sudah biasa dengan pemandangan tersebut. Ia juga sudah bisa membedakan roh dan manusia sungguhan. "Hhee.. mmmm ... eh ... b-bagaimana bisa kamu tahu itu?" Pria paruh baya tersebut terlihat mulai gugup mendengar ucapan Zen yang tepat sasaran. "Tuh, kan, benar Ayah! Putri kita ada di sini!" ibu tersebut kembali terisak. "Ibu, saya rasa roh putri anda tidak akan bisa tenang selama Ibu masih tidak bisa melepas kepergiannya. Saya bisa menebak jika ia meninggal karena kecelakaan. Saya harap Ibu bisa melepas kepergiannya dan cukup kirimkan doa serta sering mengunjungi makamnya saja. Jika tidak, wujud putri ibu akan terus seperti itu dan dia akan terus berada di dunia ini tanpa bisa pergi ke akhirat. Ia pincang dengan kaki kanan yang terputar dan tangannya terputus. Belum lagi wajahnya yang rusak sebelah itu." Begitulah yang bisa Zen katakan sebab ia sudah sangat lelah, pasalnya ia sudah berjam-jam berkomunikasi dengan roh tersebut dan terus tidak mendapatkan hasil karena tingkah kedua orangtuanya yang selalu ribut dan berselisih paham. "B-bagaimana bisa kamu tahu kondisi anakku sebelum meninggal?" sang ayah kembali gugup dan tidak mempercayai apa yang ia dengar dari Zen. "Saya sudah bilang. Saya itu benar-benar bisa berkomunikasi dengan makhluk gaib. Saya juga bisa melihatnya dengan jelas." Zen yang kesal tersebut mendelik menatap pria paruh baya yang masih terlihat kebingungan. "B-baiklah saya percaya. Tapi ---" belum lagi usai sang pria tersebut berbicara Zen sudah memotong ucapannya. "Diskusi kita tidak akan ada ujungnya jika seperti ini terus. Saya harap anda bisa memenuhi keinginan terakhir putri anda." Zen bersikeras ingin segera mengakhiri ritual mereka. "Saya tidak masalah jika ingin terus dilanjutkan. Saya juga dibayar perjam. Jadi makin lama, tentu saja saya yang semakin diuntungkan," pekik Zen dengan senyuman licik di wajahnya. Di sela-sela hal tersebut, isak tangis sang ibu tak henti-hentinya terdengar. Akhirnya sang ayah yang mulanya selalu menentang dan menyangkal kebenaran roh tersebut mengalah. Ia juga berjanji untuk memenuhi permintaan putrinya. "Baiklah! Saya senang bekerjasama dengan kalian." Zen tersenyum tipis dan menatap ke arah roh yang kini sudah kembali ke wujudnya yang sempurna. Tanpa cacat, luka dan tentu saja sosok yang indah. Roh tersebut tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada Zen. Perlahan tubuhnya terpecah dan menjadi butiran cahaya yang menyebar dan larut dalam hembusan angin. Sosok tersebut sudah kembali ke alamnya dengan damai. "Kini putri kalian sudah tenang. Saya harap kalian memenuhi janji kalian. Saya pamit dulu." Zen berpamitan dan mengulurkan telapak tangannya, dengan sigap sang ibu memasukkan beberapa lembar uang dalam sebuah amplop dan meletakkan amplop tersebut di atas telapak tangan Zen. Zen memeriksa kembali isi amplop tersebut, dan mengangguk. Tanda jika bayaran yang diterima olehnya sesuai. Ia tersenyum tipis karena ia mendapat uang lebih banyak dari kesepakatan sebelumnya. "Hhhmm.. karena aku dapat bonus yang lumayan dari kalian. Satu saran dariku. Tolong buang jimat itu. Ada roh jahat di sana yang justru membuat restoran anda sering terlihat tutup. Aku tidak tahu dari mana anda mendapat jimat tersebut. Tapi, untuk apa jimat yang membuat makanan enak tapi justru menyebabkan restoran anda terlihat tutup. Sesuatu yang sia-sia!" Zen melambaikan amplop tersebut dan pergi meninggalkan rumah tepat saat tengah malam. "Benar, kan Ibu bilang. Restoran kita sepi sejak ada jimat itu. Awalnya memang banyak yang memuji restoran kita, jika makanan yang kita jual itu enak. Sekarang malah jadi semakin sepi pembeli seperti ini Ayah," argumen sang Ibu mengiyakan apa yang Zen ucapkan. Huuuuuft.. Zen merebahkan tubuhnya di kasur. Ia menghembuskan nafas dalamnya berulang kali. Matanya menatap ke langit-langit kamarnya. Suara denting jam dinding terdengar jelas di sela helaan nafas Zen. "Uangnya lumayan tapi tetap tidak cukup untuk uang sewa rumah bulan depan. Bulan ini saja cuma tiga orang yang meminta jasa paranormalku. Semakin hari, malah semakin sepi saja. Lama-lama aku bisa jadi gelandangan, deh. Tapi, sekarang aku juga memang gelandangan, sih!" Zen merasa kondisinya saat ini sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan. Zeno Rukas ia sejak kecil dikenal sebagai paranormal oleh orang sekitarnya. Ia mampu berkomunikasi serta melihat makhluk gaib. Akibat kemampuannya tersebut secara otomatis tetangganya kerap kali bertanya tentang makhluk tersebut pada Zen, yang lambat laun malah menjadikan hal tersebut sebagai pekerjaannya. Menjadi paranormal, mulai dari bekerja seikhlasnya dan dibayar murah, hingga ia kini menentukan tarifnya sendiri sebagai seorang paranormal. Tugasnya sederhana, hanya mendengar cerita para makhluk gaib dan menyampaikannya kepada klien. Roh orang mati biasanya langsung ke akhirat. Namun bagi sebagian roh bisa saja mereka terjebak di dunia manusia tanpa bisa kembali ke akhirat. Orang-orang biasa menyebutnya arwah penasaran atau roh gentayangan. Zen memejamkan sejenak kedua matanya. Ia memijat keningnya. Pikirannya itu kini melambung jauh. "Aku harus cari pekerjaan yang jelas," benaknya penuh tekad. Zen pindah ke pinggiran kota, dulu ia tinggal di ibukota namun sejak kedua orangtuanya meninggal. Zen mulai kesulitan untuk bertahan hidup dan melanjutkan sekolahnya. Ia terpaksa menjual rumahnya untuk biaya pendidikan hingga lulus Sekolah Menengah Atas. Sisanya, ia bertahan dengan menyewa rumah di pinggir kota dan kerja serabutan lainnya. Menjadi paranormal adalah pekerjaan sampingan baginya. Tidak setiap waktu ada orang yang membutuhkan jasanya tersebut. Keesokan harinya Zen yang sudah bertekad untuk mencari pekerjaan tersebut sudah tampak rapih dengan setelan kemejanya. Ia membawa berlapis-lapis map merah di dalam tasnya. Ia berencana menaruh berkas lamaran ke berbagai tempat hari ini. "Silahkan taruh saja di situ." "Nanti akan saya teruskan ke bagian HRD." "Maaf, kami tidak sedang buka lowongan." Mulai dari secercah harapan yang menerima surat lamarannya, hingga yang terang-terangan menolak lamaran kerjanya sangat sering terjadi dan pemandangan biasa pada zaman sekarang ini. Sangat sulit untuk mencari pekerjaan apa lagi ia hanya lulusan SMA. Zen berulang kali mendapat penolakan dan tak kunjung mendapat pekerjaan. Zen tak pernah menyerah, ia sadar akan pendidikannya yang kurang sehingga orang juga memandang rendah akan dirinya. Belum lagi kata-kata kasar yang didengar saat ia mencoba menaruh berkas lamaran, atau melihat berkasnya yang hanya di timbun bersama berkas lainnya di pojok ruangan sudah sangat tidak asing bagi Zen. Pada akhirnya selain kerja serabutan dan menjadi paranormal Zen benar-benar tidak ada kerjaan lain. Waktu berlalu kini sudah pukul 04:30 sore, nyaris sebentar lagi jam pulang kerja. Meski ragu Zen mencoba melamar untuk yang terakhir kalinya di hari yang melelahkan dan panjang ini. "Permisi! Saya mau lamar di pabrik ini," Zen dengan santun menyampaikan tujuannya pada satpam yang bertugas. "Oh, silahkan! Langsung wawancara saja. Masuklah dan langsung bertemu dengan tuan Andi di ruangannya," sambut satpam tersebut ramah. Zen mengikuti instruksi satpam tersebut. Ia sempat bertanya pada orang di dalam gedung kantor dan kemudian menyusuri lorong hingga tiba di sebuah ruangan. Zen masuk dengan sopan. Ia mampu menjawab dengan lugas saat wawancara berlangsung. Wawancara tersebut berjalan lancar, Tuan Andi adalah pemilik pabrik tersebut, lebih tepatnya sebuah pabrik roti kecil. Mereka berdua terkesan cocok satu sama lain. Zen sudah diminta bekerja mulai esok hari. Sebagai supir yang mengantar roti ke pelanggan-pelanggan. Kini matahari pun sudah benar-benar terbenam. Mereka sudah larut dalam pembicaraan panjang yang asyik. Pabrik tersebut kian sepi. Hanya segelintir orang saja yang masih tersisa di pabrik tersebut. Wawancara yang Zen lalui berlangsung lebih lama sebab dibanding wawancara, Zen dan tuan Andi justru seperti sedang mengobrol dan larut dalam obrolan tersebut. Krang Krang Krreeeeeeng Tiba-tiba terdengar suara nyaring seperti tumpukan seng yang berjatuhan. Sontak saja membuat Zen dan Tuan Andi terkejut. "Ada apa?" tanya tuan Andi "Sepertinya suaranya dari pabrik Tuan," ucap satpam tersebut yang sedang bersiap menuju pabrik. Jaraknya tidak jauh dari gedung kantor. "Kita cek sama-sama. Ingat jangan ada yang sendirian," kata Tuan Andi yang wajahnya tampak cemas. Ia menatap ke arah Zen dengan was-was. "Apa ini sering terjadi? Hmm.. Setiap matahari terbenam," gumam Zen pelan saat seorang roh berbisik padanya. Tuan Andi dan satpam tersebut saling berbalas padang. Bak seorang peramal yang mampu menebak apa yang sedang terjadi. "Apa kamu seorang paranormal?" tiba-tiba tuan Andi menatap tajam ke arah Zen yang disambut anggukan oleh Zen. "Saat ini ada roh di sini. Dia ikut bersama Tuan Andi. Beliau bilang dulu dia adalah supir Tuan dan Tuan sering memberikan roti abon kesukaan cucunya. Roh itu bilang sudah dua tahun hal ini terjadi di setiap matahari mulai terbenam," jelas Zen lagi. "Benar! Supir saya yang sudah meninggal dulu sering saya beri roti untuk cucunya. Ini kebetulan sekali. Tolonglah kami Nak, Zeno! Pabrik ini malah terkenal berhantu. Setiap matahari terbenam selalu ada saja kejadian aneh. Mulai dari suara-suara bising, lantai yang licin dan berlendir, hingga mesin yang bergerak sendiri. Banyak karyawan kami yang akhirnya mengundurkan diri karena ketakutan," ucap tuan Andi penuh harap memegang kedua tangan Zen. "Baiklah! Biar saya cek dulu. Tapi, mungkin saya tidak bisa membantu banyak." "Terima kasih.. terima kasih... Saya akan memberikan bayaran yang besar jika masalahnya bisa dipecahkan." tuan Andi tampak berkaca-kaca penuh harapan. Zen pun dibawa ke dalam pabrik tersebut. Pabrik tersebut kosong, sudah tak ada lagi karyawan yang berkerja, lampu ruangan yang mulai dinyalakan sebagian dan langit yang semakin menghitam menambah suasana hening yang sedikit mencekam khas ruangan kosong pada umumnya. Aroma logam tercium menusuk hidung, suara angin yang mendesis di telinga menggelitik di sela-sela hembusan angin dari ventilasi ruangan. Zen menyusuri ruangan tersebut selangkah demi selangkah. Namun ia tak juga menemukan sosok makhluk gaib atau arwah gentayangan lainnya. Arrrght ... Terdengar suara erangan yang memekakkan telinga. Zen menatap tuan Andi namun tuan Andi sudah terkapar di lantai. Tuan Andi dan satpam tersebut pingsan tanpa sebab. "Tuan Andi ... Tuan Andi ... Bangun!" tapi, tak ada respon apapun dari tuan Andi. "Pak, bangun Pak.. Pak!" begitu pula dengan sang satpam. Ia pun tidak kunjung merespon Zen. Mereka berdua saat ini benar-benar tak sadarkan diri. Zen menatap sekitar ruangan pabrik tersebut. Lampu ruangan berkedip dengan cepat suara gemuruh terdengar makin mendekatinya. Aaarrrrgt.. Lagi, suara erangan itu terdengar seiring dengan sosok yang besar kini sudah berada tepat di hadapan Zen. "Maaaa, makhluk apa itu?" Zen menatap dengan seksama makhluk yang ada di depan matanya tersebut. Kini mata Zen terbelalak melihat makhluk yang sungguh berbeda dari makhluk gaib yang biasa di lihatnya. "Silumaaaan!" teriak roh yang sedari tadi mengikuti mereka. "Siluman dan bukan hantu?" pekik Zen, ia mundur selangkah demi selangkah sosok itu kini semakin mendekat. Sosok tersebut berbetuk seperti bola raksasa yang terdiri dari kumpulan lidah yang berbelit-belit. Ssssrrrrt ... Suara desis dari lendir lidah yang terus-menerus menjulur tersebut menambah kengeriannya. "Bagaimana caraku untuk menangani siluman. Apa dia bisa diajak bicara?" Zen memutar otaknya. Ini adalah kali pertama Zen melihat siluman. Slaaaaaash ... Siluman itu melibas dengan lidahnya. Nyaris mengenai Zen. Zen paham jika itu adalah situasi yang buruk. Zen meraba sekitar. Ia mencoba meraih sesuatu sebagi senjata. Namun Zen tak menemukan apapun. "Tak ada pilihan lain ..." Zen lari menghindari siluman tersebut. Menurutnya lari adalah pilihan yang tepat. Ia masih butuh berpikir bagaimana cara untuk mengusir siluman tersebut dan keluar dari situasi menegangkan ini. Hak.. Hak.. Haahahah.. Suara tawa khas terdengar kian mendekat. Sreeeekk ... Kaki Zen terjerat ia diangkat tinggi nyaris mengenai atap pabrik. Tubuhnya kini tergantung terbalik. "Lepaskan aku makhluk menjijikkan," teriak Zen yang berusaha melepaskan kakinya yang dililit oleh lidah menjijikkan tersebut. "Siapa kamu? Kamu berusaha mengusikku?" "Kamu bisa bicara?" Zen terlihat senang meski itu bukan saatnya untuk merasa senang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN