CHAPTER 4

1872 Kata
Makan malam keluarga yang sekaligus menjadi perundingan rencana pertunangan Argio dan Cenilaa masih membekas dalam ingatan Tayra. Dia tak habis pikir, kenapa kedua keluarga itu bisa kenal. Lalu, kenapa Argio mau dengan Cenilaa? Tayra tak merasa Cenilaa ada kelebihan hingga Argio tertarik padanya. "Lagi mikirin apa? Kayaknya serius banget." James duduk di pinggiran kasur. Tayra mengendikkan bahu, melanjutkan membaca majalah. "Cen sejak kapan ada hubungan sama keluarga Agala?" "Kamu nggak tau?" Tayra kendikkan bahu. "Udah lama, banget. Grandpa dan grandpa Argio itu teman baik, dari kecil. Grandpa Argio masih baik bahkan hingga sekarang, meski grandpa sudah tidak ada." "Oh, lalu, Cen sama Argio?" "Mereka nggak dijodohin kok. Itu murni mereka emang sama-sama tertarik." "Really?" Tayra rasanya tak percaya. James mengangguk. "Mereka keluarga baik-baik. Kakak rasa adik Argio juga baik." Tayra rasanya ingin muntah. Namun ia tak menjawab, memilih bungkam tak tertarik. "Gimana di kampus? Teman-teman baru?" Tayra ceritakan secara singkat kondisi kehidupan kampusnya. Ia tak berminat untuk membagi apa yang ia alami, apalagi dengan James. Ia malas dapat ceramah dari abangnya itu. ... Apakah Tayra harus bersyukur? Sudah seminggu sejak ia bertemu Abi di rumahnya saat itu. Sudah selama itu juga Abi tidak muncul mengacaukan harinya. Ya, Abi seperti menghilang. Tayra rasanya sangat senang dan harinya serasa seperti kembali seperti semula. "Ke mana nih habis pulang kuliah? Gimana kalau kita ke pasar malam? Mau nggak?" Tawar Minda. "Pasar malam?" Minda mengangguk. Yang lainnya saling pandang kemudian mengangguk setuju. "Gue ke rumah lo ya, Min." "Kenapa? Ada nyokap bokap ya di rumah?" Tebak Minda. Tayra tersenyum tipis. "Mereka semua lagi di rumah. Cen, James juga." Minda manggut-manggut. Saat keduanya dalam perjalanan menuju parkir mobil Minda, tak sengaja mereka melihat sebuah mobil sport baru datang. Perhatian sekitar langsung tertuju pada sosok yang baru turun dari mobil itu. Itu Abi, sendirian. Entah ia tidak melihat Tayra atau dia memang sengaja mengabaikan Tayra. Pria itu berlalu begitu saja memasuki gedung fakultas. "Tay, Tay, kenapa?" Minda menggoyang tangan Tayra. "Oh enggak kok. Yuk.." ... Tayra sedang enggan ke mana-mana. Meski kedua orang tuanya sudah pergi sejak dua hari lalu, Tayra tetap mengendap di rumah. Padahal sedang ada pesta di rumah salah satu teman kampusnya, tapi ia memilih tidak pergi. Musik jazz mengalun di dalam kamar. Tayra tengah bergolek dengan posisi telentang menghadap langit-langit kamar. Ia melipat tangan di d**a, terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tak lama pintu kamarnya diketuk. "Non, makan dulu, bibi udah siapkan makan malam." "Iya, Bi. Bentar lagi, Tay belum lapar." Tayra tak beranjak dari tempatnya. Ia sedang malas bergerak. Sudah terlalu pewe. Ponsel Tayra berbunyi. Ada notifikasi e-mail masuk. Tayra menyipitkan mata. Hanya sekali lihat, ia sudah tau siapa pengirim e-mail itu. Tayra menghembuskan napas. Tak berniat membaca e-mail dari mantan kekasihnya itu. Tayra meletakkan kembali ponselnya, melanjutkan melamun. Tak lama kembali terdengar pintu diketuk. "Kenapa, Bi? Tay masih kenyang, belum lapar. Simpan aja mak—" "Ada temennya non, yang datang." "Hah?" Tayra lalu bangkit. Teman? Batinnya. Tayra merasa tidak memanggil siapapun untuk datang. Temannya juga tidak memberitahu akan datang. Mereka semua sedang asyik di pesta. Lalu teman mana yang datang malam begini? Tayra melotot. Membuka e-mail dari mantannya tadi. "Nggak mungkin dia datang kan?" Belum sempat Tayra membaca isi e-mail itu, pintu kamarnya sudah terbuka. Betapa terkejutnya Tayra mendapati siapa yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Lo?! Ngapain lo di sini?!" Tunjuknya. "Udah, Bi. Makasih," kata Abi santai. Ia semacam memberi kode. Lalu dengan patuhnya bibi ART menurut dan meninggalkan mereka. Abi kemudian menutup pintu kamar Tayra lalu melangkah mendekat ke kasur perempuan itu. "Kalimat lo nggak manis banget, padahal kita udah lama nggak ketemu." Abi semakin dekat. Tayra seketika waspada. "Btw, lo seksi kalau gini." Abi tersenyum nakal, menunjuk Tayra dengan dagunya. Tayra melotot. Saat sadar bagaimana kondisi baju yang ia kenakan, Tayra langsung menarik selimut menutupi tubuhnya. "Bastard! Lo ngapain di sini?! Masuk kamar orang tanpa izin!! Trus, eh, kenapa lo bisa di sini? Kenapa lo bisa masuk rumah gue?!" "Masa penyambutannya gitu sih? Lo nggak kangen sama gue?" Abi melipat tangan di d**a. Berdiri tepat di ujung dipan. Menatap lurus pada Tayra yang berada di tengah kasur. Sekilas Tayra menyisir penampilan Abi. Baju kaus hitam dipadu jaket kulit. Rip jeans. Converse. Sepertinya ia memang sudah ready ingin ke luar? Atau sebenarnya Abi memang sudah dari luar? "Setahu gue ada acara party dan gue yakin temen-temen lo di sana. Kenapa lo malah ngendap di rumah?" Tayra mendengus. "Bukan urusan lo!" Abi senyum saja menanggapi keketusan Tayra yang selalu sama dan tidak berubah sampai sekarang. "Btw, udah berapa lama sih kita kenal?" "Kenal? Siapa yang kenal? Gue nggak kenal sama lo. Jangan narsis." Abi tergelak. "Lo lagi PMS ya?" Tayra melotot. "Ups, sorry. Gue lupa kalau lo emang basically kayak gini. Mungkin nggak akan ada bedanya lo pms sama enggak." "Lo ke sini mau bahas soal PMS? Sana keluar! Pergi! Sialan!" Tayra melempar bantalnya ke arah Abi. Tapi dengan gampang Abi menangkisnya. "Lo mau gue teriak maling?! Keluar nggak?!" Tayra bangkit, masih dibalut selimut meski bentuknya tidak jelas. Ia berusaha mendorong Abi. "Keluar!! Keluar dari kamar gue!! Keluar dari rumah gue! Pergi sana!" "Tay!" Abi berusaha menahan. "Keluar!" Abi menahan kedua tangan Tayra, lalu membalik badan gadis itu dan dipeluknya Tayra dari belakang. "Lepas! Jerk!" "Thanks sweety, gue emang jerk. Jadi mending lo kooperatif sama gue. Soalnya percuma juga lo teriak, karena nggak ada siapa-siapa di rumah." "JAMESSS!! CENCEN!!" Abi menghela napas, kemudian dengan mudah di dorongnya Tayra sampai di kasur. Kemudian mereka jatuh bersamaan ke kasur dengan Abi berada di atas. "Lo mau ngapain? Lepasin gue?!" "Lo nggak capek teriak-teriak?" Abi menyunggingkan smirk. "Kalau gue sih lagi segar banget. Kita gulat sampai pagi juga gue sanggup. Oh iya, kakak sama abang lo lagi. Jadi percuma lo teriak. Kalau gue prediksi, mau lo pakai tenaga paling dalam sekalipun, tetangga nggak akan denger teriakan lo. Kecuali kalau lo teriaknya dari dekat jendela atau dari halaman depan rumah." Tayra langsung terdiam. Menatap Abi dengan mata berapi. Siap menerkam laki-laki itu. Abi justru tersenyum santai. "Nah gitu kan bagus. Jadi kita nggak buang-buang waktu. Anak manis." Abi berikan sebuah kecupan di pipi Tayra. Seketika Tayra berontak, siap ingin menonjok Abi. Tapi lagi-lagi gagal karena tangannya terkurung. "Mau lo apa sih?! Udah bagus lo nggak muncul dua minggu ini. Hidup gue damai bahagia nggak ada lo!" "Oh ya? Hm, tapi gue nggak bahagia kalau nggak ada lo, gimana dong?" Tayra menatap Abi tajam. "Ok. Let's make a deal. Gue datang bukan mau ngajak lo berantem. Gue justru mau ngajak lo senang-senang." "Gue nggak mau!" Tolak Tayra langsung. Maksud dari kata bersenang-senang Abi itu terlalu ambigu. "Gue cuma ngajak lo keluar." "Gue. Enggak. Mau." Abi memutar bola mata jengah. "Ok. Gue bakal kasih lo dua pilihan. Lo ikut gue, kita keluar atau kita bakal beneran bersenang-senang di sini." Abi menyeringai lagi. "Gue sama sekali nggak keberatan kok. Apalagi udah lama kita nggak..." Abi menggantung kalimatnya. Jarak wajah mereka sudah sangat dekat. Jari Abi juga dengan lancang sudah menyusuri tulang rahang Tayra. Tayra tampak sangat geram. Rahangnya mengeras dan tatapan matanya tajam. "Ok. Ok. Gue ikut. Udah puas?!" Abi langsung tersenyum. "Minggir!" Abi langsung beranjak tanpa diminta dua kali. Tayra bangkit masih dengan keki. Kemudian ia berlalu menuju closet untuk ganti baju. ... "Mau ke mana sih?" Tayra bertanya dengan malas. Kepalanya sedang mumet. Kini jadi makin mumet karena melihat jalanan yang ramai. "Udah diem aja." Tayra benar-benar diam. Tidak bertanya lagi. Ia pilih memejamkan mata. Mungkin tidur akan mengurangi sedikit rasa kesalnya. Tayra terbangun saat merasakan tubuhnya digoyang. "Bangun, udah sampai.." Tayra mengusap mata. Melihat sekeliling. "Ayo.." Abi menggenggam tangan Tayra saat perempuan itu belum sepenuhnya sadar. Mereka memasuki sebuah kafe yang terletak di pinggir danau. Cantik. "Mau makan apa?" Abi melihat-lihat menu. Tayra meneliti menu makanan di tangannya. "Lo ngajak gue ke sini buat ini? Makan?" Abi menoleh. "Kenapa? Emang lo ngarepnya?" Tayra memutar bola mata. Ingin menampol kepala Abi rasanya. "Beef pasta sama lemon jus satu," Tayra sebutkan pesanannya. Abi juga sebutkan pesanannya. Pelayan itu kemudian berlalu. Abi menatap perempuan di depannya itu. Meski pakaiannya simpel dan hanya dipoles make up sederhana, Tayra tetap terlihat cantik. Bahkan lebih cantik dan fresh. Secara keseluruhan Tayra memang mendekati sempurna. Kecuali mulut pedasnya. "Kenapa lo nggak ikut ke party sama temen-temen lo?" Abi membuka obrolan setengah kurang lebih lima menit memandangi wajah Tayra dari samping. "Males," jawab Tayra singkat, padat, dan jelas. Bahkan tanpa mengalihkan pandangan dari pemandangan lilin-lilin dan lampu sekeliling danau. "Buat informasi lo aja, kakak lo lagi di rumah gue. Sama abang gue." "Ngapain dia di sana?" Entah kenapa Tayra malah menanyakan itu. Padahal biasanya dia tak perduli. "Ya date lah, sama abang gue. Mereka mau tunangan. Tapi," Ekspresi Abi tiba-tiba berubah. "Siapa yang tau mereka ngapain aja. Mungkin... mereka lagi.." Tayra menatap Abi tajam. "Becanda doang, astaga. Lagian pembantu gue rame di rumah. Mereka nggak akan macam-macam." Tayra rasanya ingin tertawa sambil jungkir balik. Pembantu rame? Apa itu akan membantu? Sepertinya tidak. Abi saja sebejad ini, apalagi abangnya. Apa kuasa pembantu mencegah mereka melakukan hal seperti itu? Lagipul untuk apa Tayra merasa perduli dengan apa yang mereka lakukan? Seperti dia tidak tau kelakuan Cenilaa. Kakak perempuannya itu mungkin lebih liar dari dia. Walaupun sebenarnya Tayra juga tidak liar dalam artian bitchy. Dia hanya kecolongan oleh Abi kemarin, itu saja. Lihatlah, dia masih perawan meski besar dan lama di luar negri. Ya, sebelum Abi merenggut itu. Meski hubungan mereka kurang harmonis, Tayra tidak ingin hal itu diketahui orang luar. Cukup mereka saja yang tau di rumah. Pesanan mereka datang. "Buruan makan. Masih ada tempat yang mau kita kunjungin." ... Tayra mendengus. Bar? Yang benar saja? Abi membawanya ke bar? Ya ampun. "Gue tinggal bentar. Lo pesan minum tapi yang rendah alkohol. Atau minum jus aja." Abi kemudian berlalu. Ia bergabung ke dalam kerumunan orang di sisi lain bar yang seperti biasa ramai. Tayra menghela napas. Capek. Kesal. Ngantuk. "Orang baru, ya?" Sapa bartender yang ada di balik meja di depan Tayra. Ia sedang asyik mengelap botol salah satu brand alkohol terkenal. "Gue baru pertama lihat lo. Bukan anak sini?" Tayra menggeleng. "Sendiri?" Lagi Tayra menggeleng. "Itu ada pesta ya di dalam?" Tayra berusaha mengeraskan suaranya yang mulai bertanding dengan suara musik yang mulai kencang. "Iya. Biasa." Mungkin Abi ke sana, batin Tayra. "Jus?" tanya bartender itu tampak tak percaya. Tayra berikan senyum seadanya. "Besok kuliah," jawab Tayra sekenanya. "Kuliah?" Bartender itu tertawa pelan. "Ok. Jus Orange." Tayra meneguk jusnya sembari mengusir rasa bosan. Banyak orang beralu lalang keluar masuk. Untungnya tidak ada om-om jahat yang haus belaian yang mengganggu Tayra. "Gue belum tau nama lo." "Tayra, panggil Tay aja. Lo?" "Tayra. Ok. Gue Ludrian. Lo bisa panggil gue Lu." "Lu?" Tayra tampak takjub. "Ok. Jadi udah berapa lama lo kerja di sini? Kayaknya, lo belum tua. 21, 22?" "24," jawab Lu tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. "Udah lumayan lama." Tayra manggut-manggut. "Yuk.." Abi tiba-tiba muncul sambil merangkul Tayra. "Hai, Er," sapa Lu. "Hai, bro. Apa kabar?" "Baik. Udah lama lo nggak ke sini.." Abi tersenyum simpul. "Ini, cewek lo?" tanya Lu. Abi memandang Tayra sebentar. "Iya." Tayra mengernyit. Tak terima. "Lo minum apa?" tanya Abi melirik gelas Tayra. Sebuah senyum terbut di bibirnya melihat perempuan itu benar-benar hanya minum jus. "Gue cabut dulu ya. Sukses terus buat bar lo." "Sering-sering main ke sini." Abi angkat tangan. Ia dan Tayra meninggalkan bar. "Kalian kayaknya akrab." "Lo ngobrol sama dia?" tanya Abi. Ia mulai menjalankan mobil. "Not really." "Kayaknya emang udah suatu kewajiban seorang bartender itu harus ganteng." "Siapa? Lu?" "Everywhere." "Lu bukan bartender. Dia owner." Tayra melongo. Tampang sepertinya memang menipu. "Sekarang mau ke mana? Ini bukan jalan balik." "Emang." "Hah?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN