71. Pedih tiada terkira

1305 Kata
Cika duduk sambil diam, gadis 25 tahun itu terlihat sedang berpikir. "Papa ke Singapura," batin Cika. "Momok ada disana...apa mungkin...apa mungkin Momok...," Cika membulatkan matanya. Sret Gadis itu berdiri dari kursi yang ia duduki, hari memang telah malam, dan ayahnya tadi pagi terbang ke Singapura. "Aku harus lakukan sesuatu," gumam Cika. "Agil...Agil tidak tahu...," gumam Cika. "Momok...papa mentransfer uang yang jumlahnya bahkan milyaran...dan...dan mungkin saja puluhan milyar...," gumam Cika sambil berpikir. "Dokter Harper...bagaimana caranya aku mengetahui data-datanya yah?" Cika terlihat berpikir. Cukup lama ia terlena dengan pikirannya. "Ck! Kenapa aku lupa Adam?!" dongkol Cika. ♡♡♡ Drt drt drt Ponsel mahal itu berdering. Randra menoleh malas ke arah ponselnya. Terlihat nama panggilan 'papa' dilayar itu. "Halo, Pa." Randra mengangkat panggilan itu. "Randra, Busran bilang kamu ke Singapura? Ada apa disana?" Iqbal langsung bertanya. Randra menolehkan pandangannya ke arah Moti yang sedang tertidur. Teringat lagi akan ucapan sang paman kandung Moti. "Mengurus bisnis disini," ujar Randra datar. Terdengar hembusan napas susah dari seberang. "Lila juga harus ikut, kamu...mama kamu khawati-- " "Mulai sekarang Lila tidak usah ikut kemanapun Randra pergi, dan sampai disini dulu, Randra lelah." Klik Randra memutuskan panggilan itu sepihak. "Em...mm...," terdengar gumaman dari Moti. Randra menaikan pandangannya ke arah wajah gadis itu. Sh Sh Randra mendekat ke arah Moti yang telah membuka matanya pelan. Pandangan itu sayu dan lemah, wajah Moti tidak sepucat sebelumnya, kini ada sedikit cerah di wajahnya. Moti berusaha menajamkan penglihatannya, menyipitkan matanya, keningnya berkerut. Tangan Randra menyentuh kening Moti. "Sayang...jangan dipaksakan...," ujar Randra lembut, melihat kondisi Moti, membuat dadanya panas lagi akan api kemarahan. Kening itu tak bergerak lagi. "R-ran...," butuh tenaga dan energi lebih untuk bisa mengeluarkan satu kata itu. "Ini aku...aku disini...Ran-mu disini...," ujar Randra. Moti berusaha tersenyum, meskipun senyumannya itu terlihat datar. Jemari Moti bergerak, lalu perlahan ingin menggapai wajah yang berada di depannya itu. Hap Randra menuntun tangan Moti ke arah wajahnya. Jemari dan telapak tangan Moti berusaha meraba pipi pemuda itu. "Mm...ah...," Moti meringis sakit, tulang-tulangnya terasa ngilu. "Dokter! Dokter!" Randra menoleh panik ke luar pintu. Randra mencari-cari tombol interkom. Teeeett Ceklek Tak Tak Tak Terlihat dokter Hong dan yang lainnya memasuki ruang rawat itu dengan peralatan medis mereka. "Moti-ku sakit! Dimana yang sakit?" panik Randra. "Tenang tuan, kami akan memeriksa nona Moti, tolong berikan kami ruang," pinta dokter Hong Sret Randra bergeser memberikan dokter Hong dan yang lainnya ruang gerak agar memeriksa Moti. ♡♡♡ "Masih terasa ngilu, tulang-tulang gerak nona Moti telah lama pasif, ini mengakibatkan ngilu dan kaku ketika bergerak, ditambah lagi karena operasi yang pernah dilakukan nona Moti beberapa belas kali," ujar dokter Hong setelah memeriksa Moti lagi. Randra menoleh ke arah Moti, gadis itu masih terlihat lemah. "Ruang gerak nona Moti terbatas, jadi...mohon diperhatikan baik-baik...dia akan merasa sakit atau ngilu pada saat bergerak." Ujar dokter Hong mengingatkan. Randra mengangguk tanpa melihat ke arah dokter itu. "Ran...," suara lirih itu terdengar. Tak Tak Tak Sret Randra berjalan cepat dan duduk di kursi. "Aku disini...katakan apa yang ingin kau katakan...," ujar Randra lembut, dalam hatinya terasa hancur melihat Moti yang untuk berbicara saja susah. Ia harus menahan mati-matian amarah yang akan meledak itu dihadapan tunangannya. Randra mengusap-ngusap ubun-ubun Moti. Kepala pemuda itu mendekat ke arah dahi Moti. Cup Cup Cup Kecupan-kecupan singkat ia letakan ke seluruh dahi dan wajah gadis itu. Lama, lama sekali bibir itu tak pernah merasakan halusnya kulit gadis itu. Terakhir dia melakukan itu ketika Moti mengantarnya ke bandara tiga hari sebelum hari pertunangan mereka yang berubah menjadi hari pemakaman bagi kedua orang tua Moti. "Ran...," suara lirih itu lagi. "Ya?" Randra memberi jarak dari wajah Moti. "B-bunda...ay-yah...d-dim-mana...?" Pum Dug dug dug Bagai dihantam palu jantung pemuda 25 tahun itu ketika mendengar pertanyaan simpel dari sang kekasih. Tubuh Randra mematung, ia kaku. Napas pemuda itu memburu hebat. Sh Sh Kedua tangan Randra menggapai sisi-sisi ranjang tempat Moti tiduri. Sret Randra mencengkram kuat seprei itu, lelaki itu tak tahu harus menjawab apa, Moti dengan ekspresi polos dan lemahnya masih setia menunggu jawaban dari sang kekasih. Kreeet Jamaludin mematung di pinggir pintu. Het Tangan lelaki 56 tahun itu menyangga tubuhnya dipintu ruang rawat Moti. Pertanyaan dari sang keponakannya membuka luka lama yang belum tertutup sempurna. Tubuh Jamaludin lemas seketika. Randra melirik perlahan ke arah sang paman kandung dari kekasihnya. "R-ran...b-bun--," Cup Cup Cup Randra melayangkan puluhan kecupan-kecupan itu diseluruh wajah sang kekasih. Rasa marah dan frustasinya ia salurkan dengan cara itu. Sret Cengkraman di seprei itu semakin kuat, bahkan mungkin akan robek akibat ulah pemuda itu. "Ran--," Cup Cup Cup Tes Setetes air itu turun lagi dari sudut mata pemuda 25 tahun itu. "Maafkan kau...maafkan aku Moti...," batin Randra menjerit pilu. "R-ran--," Cup Cup Cup Tes tes tes Setetes air mata tadi meluncur semakin banyak bersamaan dengan kecupan-kecupan Randra. "Sshh...maaf...maaf...maaf...," jeritan batin Randra. Jamaludin menoleh perlahan ke arah kanannya. Bruk Seorang pemuda tampan mirip dengan mendiang adiknya terhuyung syok di pinggir jendela itu. "Agil...," Tes tes tes Agil tak bisa membendung air mata itu lagi. Bagaikan hujan deras yang turun, entah mengapa air itu tak kunjung berhenti. "Ahmmpph!" Agil membungkam kedua bibirnya, pemuda itu menahan isakan pilunya itu agar tak terdengar siapapun. "Bunda--," Cup Cup "Ayah--," Cup Cup "Dim-mana--," Cup Cup Tes Tes "Ahmph!" Cika mematung di depan pintu itu. Randra tak henti-hentinya melayangkan kecupan-kecupan singkat itu sambil menesteskan air mata itu. Batin pemuda itu menjerit kuat-sekuatnya. Sret Krek Pada akhirnya seprei itu menjadi korban frustasi dari pemuda itu. Agil lemas di depan jendela itu, Cika menopang tubuhnya yang lemas. "Sshh...sshh...," terdengar helaan dan hembusan napas teratur dari gadis itu. Moti tertidur karena lelah. Cup Kecupan terakhir Randra. Pemuda itu menurunkan pandangan matanya ke arah sang kekasih. "Sshh...huuh..." hembusan napas susahnya. Sret Kepala pemuda itu tertunduk dibahu sang kekasihnya. ♡♡♡ Hening. Satu kata yang dapat dideskripsikan pada ruang putih yang identik dengan obat-obatan itu. Semua orang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Terlihat Agil yang memandang kosong ke arah sang adik perempuan sulungnya yang hilang tiada kabar selama lima tahun ini. Cika memandang linglung bergantian ke arah sang ayah dan adik sepupunya. Ia dengan berbagai pertimbangan akhirnya memberitahukan kabar keberadaan Moti kepada sepupu sebayanya itu. Agil terlihat sangat  kaget ketika mendengar keberadaan sang adik. Pagi itu juga mereka berusaha mencari penerbangan secepatnya ke Singapura. Keduanya meminta izin untuk ke Singapura dengan mendadak. Terlihat Randra yang sedang mengusap-ngusap punggung tangan sang kekasihnya. "Moti harus bisa menjelaskan siapa pelakunya," Jamaludin yang pertama membuka pembicaraan itu kembali setelah pembicaraan sebelumnya yang cukup memakan berbagai macam emosi yang dirasakan oleh semua orang. "Namun...kondisinya sekarang belum bisa untuk menjelaskannya...lehernya mungkin hampir putus saat itu ditambah lagi dengan retakan tulang leher dan tenggorokannya, membuat dia sulit mengeluarkan setiap kata." Lanjut Jamaludin. Glik Bunyi gemeletuk gigi-gigi Agil. Dadanya memanas, terlihat jelas dari helaan dan hembusan udara yang dikeluarkan oleh pemuda itu. "A-adikku..adikku tersiksa seperti ini...," suara seraknya terdengar. Suara itu bercampur dengan berbagai emosi. Marah, khawatir, resah dan juga takut berbaur menjadi satu. "Adikku...mereka...mereka menyiksanya om...mereka menyiksa adikku...," ujar Agil lagi. "Dia...dia menerima semua derita itu...ngilu dan sakit disetiap tubuh dan tulang-tulangnya...dia...dia...ahmph!" tak kuasa lagi ia menahan tangis pilu. Jamaludin menjelaskan kondisi Moti dari yang ia pantau selama lima tahun ini. Batin Agil menjerit-jerit sakit ketika mendengar setiap kata yang diucapkan sang paman. Ingin rasanya Agil membanting seluruh barang-barang yang ada disitu, ingin rasanya Agil membenturkan kepalanya ke dinding rumah sakit itu, dan ingin rasanya dia berteriak nyaring untuk melepaskan kemarahannya. Adiknya itu tidur panjang selama lima tahun tanpa tahu apa yang terjadi kepada keluarganya dulu yang terlihat ceria dan bahagia bahkan penuh dengan segala canda dan tawa. Adiknya itu tak pernah tahu apa yang dialami semua pihak dan anggota keluarganya selama lima tahun ini. Adiknya itu tidak pernah tahu bahwa sang ayah dan ibunya telah tiada dihari itu, dihari yang seharusnya menjadi hari kelulusannya, hari itu berubah menjadi hari ajal kedua orang tuanya. Adiknya tidak pernah tahu bahwa hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya dengan seorang pemuda itu, berubah menjadi hari pemakaman sang ayah dan bunda. Adiknya itu tidak pernah tahu bahwa adik-adiknya depresi berat dan trauma hebat karena hari itu. Adiknya itu tak pernah tahu bahwa sang kakak depresi dan hampir mengakhiri hidupnya sendiri. Dan adiknya itu juga tak pernah tahu bahwa sang kekasihnya depresi dan hampir gila bahkan ingin mengakhiri hidup sendiri. Lalu, adiknya itu tidak pernah tahu bahwa sang nenek dan kakeknya mengalami stroke dan serangan jantung akibat mendengar berita kehilangan sang cucu kesayangan mereka. Serta, adiknya tak pernah tahu bahwa kakek yang selalu ia sebut sebagai kakek Aji itu syok berat atas hilangnya sang calon cucu menantunya. Tes Tes Tes Air mata itu kembali meluncur lagi. "Paman...jangan biarkan mereka berkeliaran di luar sana seperti tikus yang menjijikan sementara adikku berjuang untuk tetap bertahan hidup disini." "Mereka telah salah memilih lawan," timpal Randra dingin. "Aku akan mengeluarkan mereka dari sarang nyaman mereka, dan akan aku remukan tulang-tulang mereka...bahkan mereka sendiri yang meminta kematian agar cepat menghampiri mereka." Sambung tuan muda Basri itu. ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN