67. Memori

1297 Kata
"Tuan, ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan muda, tapi saya tidak berani untuk memberitahukan kedatangannya kepada tuan muda, anda tahu sendiri kalau beliau tidak suka orang datang mencarinya di rumah," ujar Ina, sang pembantu rumah tangga yang berumur lebih dari setengah abad itu. Iqbal mengangguk mengerti. "Siapa tamu itu?" Iqbal bertanya. "Tuan Tan, beliau sebelumnya rekan bisnis dari tuan muda," jawab Ina. Iqbal mengerutkan keningnya. "Tuan Tan? Ada perlu apa beliau kesini?" gumam Iqbal pelan. "Aku mengerti, silahkan bi Ina kembali bekerja," ujar Iqbal. "Baik tuan, permisi," pamit Ina. Ina telah bekerja di rumah itu ketika umurnya 13 belas tahun, Ina lebih tua lima tahun dari Iqbal, Ina tahu seluk-beluk dari keluarga Basri, sebab kedua mendiang orang tuanya juga bekerja disitu. Ina juga menikah dengan seorang pekerja di situ, Baba nama suaminya. Tono, sang pelayan lelaki yang pernah Randra patahkan tangannya karena tidak sengaja memegang tangan Moti 7 tahun lalu adalah anaknya. ♡♡♡ "Ah, tuan Iqbal, anda sudah ada rupanya," tuan Tan menyapa Iqbal. Iqbal mengangguk singkat, ia duduk berhadapan dengan tuan Tan di ruang tamu yang luas itu. "Baiklah tuan Tan, ada perlu apa anda disini? Bukankah kita akan bertemu pada saat kerja sama saja?" Iqbal bertanya, terlihat aura tegas seorang Basri pada dirinya. Tuan Tan mengubah ekspresi wajahnya menjadi muram. Iqbal mengerutkan keningnya. "Saya mengaku salah tuan Basri, saya menarik kembali kata-kata saya beberapa hari lalu kepada tuan muda Basri," ujar tuan Tan dengan nada kasihan. Iqal mengerutkan keningnya. "Mengaku salah? Tunggu, ada apa ini?" tanya Iqbal. "Saya salah bicara, saya salah mengucapkan bahwa nona Moti telah tiada, mohon maafkan saya," ujar tuan Tan jujur. "Apa!?" Iqbal melototkan matanya, rahangnya terbuka tak sadar. "K-kau...ap-pa yang k-kau katakan?" tanya Iqbal terbata-bata. Iqbal bahkan tak mempercayai pendengarannya. "S-saya salah mengatakan bahwa nona Moti telah tiada, dia tunangan tuan muda Basri...," Iqbal syok. "Kau menggali kuburanmu sendiri," Iqbal bergumam pelan. ♡♡♡ Iqbal serba pusing, siang tadi tuan Tan datang ke rumahnya untuk meminta maaf langsung atas tindakannya yang ceroboh. Disamping meminta maaf, tuan Tan memohon agar kerja sama Basri Restaurant dan Tan Delicious tetap di teruskan. "Ehm...papa tadi...tadi tuan Tan datang ke sini," Iqbal membuka pembicaraan di meja makan. Ting Randra menghentikan kunyahannya, Laras melirik bingung ke arah Randra dan suaminya. "Ada yang aneh," batin Laras menilai ekspresi yang dikeluarkan oleh sang anak. Air muka Randra berubah datar lalu dingin. "Beliau datang meminta maaf langsung atas ucapan beliau, beliau mengatakan menyesal telah mengatakan bahwa...bahwa...bahwa Moti telah tiad--Randra!" Brak "Hak!" Laras berjinggat kaget, ia bahkan berdiri menjauh dari kursi makan. Randra menatap tajam ke arah sang ayah. Iqbal menelan susah air ludahnya, entah anaknya ini mengikuti sifat keluarga Basri yang mana, jelas sekali bahwa Randra sangat sensitif. Laras membulatkan matanya sambil terkejut mendengar kalimat sang suaminya tadi. "P-papa...," tubuh Laras mulai gemetar. "Jika masih ingin rumah ini dan isinya tertata rapi, jauhkan pendengaranku dari kalimat itu," ujar Randra dingin. Taak "Hak!" Laras berjinggat kaget. Garpu yang digunakan untuk menusuk daging itu menancap sempurna di atas piring yang berisi daging panggang itu. Bahkan bunyi decitan piring yang beradu dengan garpu tadi dapat membuat nyilu yang mendengar. Randra meraih kain penyeka mulut kemudian pemuda itu menyeka mulutnya. "Aku selesai," Tak Tak Tak Randra berjalan meninggalkan meja makan. Bruk Laras terduduk lemas di kursi makan. Ia melirik sang suami, mata wanita itu memerah. "Hiks...," setetes air mata lolos dari sudut mata Laras. Iqbal meraih tubuh sang istri, ia menenangkan istrinya. "Apa yang mereka lakukan? Mereka hanya membuat anakku lebih menderita lagi," ujar Laras serak. ♡♡♡ Slash "Ran! Ran! Momok mau itu!" "Ran! Ran! Yang itu juga! Yang itu juga!" Slash "Moti...Moti...," peluh mulai menghiasi wajahnya. "Ran! Jangan diginiin bajunya!" "Salahmu, kenapa pakai baju itu?" Slash "Moti...Moti...," peluh itu turun mengalir. "Ran! Ran! Jelek! Wlee!" Slash "Moti...Moti...Moti kemari...," napasnya tak beraturan. Slash "Ran! Ran!" Slash "Aaa...tidak! Moti!" pemuda itu memejamkan matanya. Tok Tok Tok "Randra!" Iqbal memanggil nama sang anak. Slash "Ran! Ran!" Slash "Moti! Moti kemari!" Slash "Ran!" Slash "Moti! Jangan pergi!" Tak Slash "Ran!" Slash "Moti! Tetap disini!" Randra berteriak nyaring dalam tidurnya. Slash "Hahahahahaha!" Slash "Moti! Kemari! Jangan kesana! Kemari! Kemari!" suaranya terdengar nyaring. Tak Tak Tak "Ini kuncinya!" terdengar suara panik Laras. Klik Klik Slash "Hahahahahaha!" Slash "Moti! Jangan pergi! Jangan! Tidaaakk!" Ceklek Tak Tak Tak Bruk "Randra!" Laras menyeru nama sang anak. "Ma! Mama! Moti! Moti pergi! Moti pergi ma!" Randra histeris. "Lila!" Tak Tak Tak Lila terpaksa menyiapkan obat bius ketika sedang berlari ke arah kamar Randra. "Tolong tahan!" Lila menyiapkan jarum suntiknya. Hap "Aaa! Lepaskan! Lepaskan aku!" Randra berontak hebat. Iqbal kewalahan. "Aahmmpph!" Laras membekap mulutnya. Air matanya mengalir lagi. "Mereka membawa Moti! Mereka membawa Moti!" teriak Randra sambil berontak. Tak Tak Tak Beberapa pengawal berlari cepat masuk ke dalam kamar Randra. Hap Dua orang pengawal itu membantu Iqbal menenangkan anaknya. Lila bersiap untuk menyintikan bius itu. "Lepaskan! Moti memanggilku! Dia memanggilku! Aku harus pergi! Dia memanggilku!" Slep Bugh Tak "Akh!" Lila meringis sakit, Randra memukul tangannya ketika ia sedang memasukan jarum itu ke lengan atas Randra. "Patah!" seru Lila panik. Iqbal dan yang lainnya menoleh ke arah lengan atas Randra. "Jarumnya patah! Astaga! Jarumnya masuk ke dalam!" Laras histeris. Bruk Bugh Bugh Randra berhasil melepaskan diri. Tak Tak Tak Dia berlari keluar dari kamar. "Moti! Moti! Moti!" suara tuan muda Basri menggelegar di seisi rumah itu. Tak Tak Tak Pengawal yang lainnya berusaha mengejar sang tuan muda. Brak Pintu utama rumah itu dibuka paksa oleh Randra. Tak Tak Tak "Moti! Moti!" Randra berlari keluar dari rumah mewah itu. "Lakukan sesuatu! Lakukan sesuatu! Putraku! Putraku!" Laras histeris. ♡♡♡ Ciiitt Brak Pum Sebuah mobil sport mewah lolos menabrak gerbang sebuah rumah berlantai dua. "Ada yang tertabrak!" seru penjaga rumah itu. Tak Tak Tak Penjaga-penjaga rumah itu keluar melihat kondisi diluar pagar dan gerbang. Brak Randra keluar dari mobil yang ia tumpangi dengan sempoyongan. "Moti...," Bugh Tubuh Randra jatuh lemas menimpa gerbang rumah itu. "Tuan Randra!" ♡♡♡ "Apa!?" Agil melototkan matanya. "Tuan Randra tadi malam jam dua dini hari menabrak pagar rumah anda tuan," ujar salah seorang pengawal yang memberitahu Agil. Pengawal itu terpaksa datang ke kantor polisi yang Agil ditugaskan disana sebab Agil tak berada di apartemennya. Semenjak tragedi lima tahun lalu, Agil memilih tinggal di apartemen setelah lulus dari akademi kepolisian. Gea dan Gilan tidak pernah kembali ke rumah mereka selama lima tahun ini. Rumah itu kosong melontong, tak ada satupun tuan rumah yang ada di sana. "Ada apa? Kenapa bisa terjadi?" Agil menuntut jawaban dari sang pengawal yang dibayar Jamaludin untuk menjaga kediaman sang mendiang adiknya. "Tuan Randra memanggil nama nona Moti sebelum beliau pingsan tepat di depan gerbang," jawab penjaga itu. Agil melebarkan matanya. "Menurut laporan yang didapat, tuan muda berontak saat di suntik bius, jarum suntiknya patah dan masih menancap pada lengannya, ia selalu menyebut-nyebut nama nona Moti tiada henti ketika kami membawanya ke rumah sakit tadi malam," lanjut penjaga itu. "Patah?" beo Agil. Agil memijit pangkal hidungnya. Ini benar-benar rumit. ♡♡♡ "Bagaimana keadaannya?" Iqbal bertanya ke arah Febrian. "Masih dalam pengaruh obat bius, beberapa jam lagi akan sadar," jawab Febrian. Penjaga yang berada di rumah Moti melarikan Randra ke rumah sakit milik kakek Febrian. "Tapi dia terus meracau nama Moti," ujar Iqbal cemas. "Antara liang lahat dan rumah sakit jiwa," terlintas lagi ucapan sang teman beberapa hari lalu. Febrian menarik napas dan menghembuskannya. "Ssshhh...huuh!" "Ada seorang teman saya, dia telah lulus dari ahli psikologi tahun ini, baru tiga bulan yang lalu, namanya Ussy Lann, bibinya juga adalah dokter keluarga anda, dokter Mudya." Ujar Febrian. "Saya sarankan dia bisa menjadi psikiater yang baik bagi Randra, mengingat dulu dia teman saya." Ujar Febrian. Iqbal terlihat berpikir. "Putra saya tidak suka psikiater, tiga tahun lalu setelah dia lulus dari kuliah, kami sempat ingin membawanya ke sana, namun sesuatu terjadi, psikiater yang merawat anak saya dicekik oleh Randra," "Apa!?" Febrian melototkan matanya. Febrian susah bernapas. "Ussy akan menjadi sasaran amukan selanjutnya," batin Febrian tercengang. "Eh...em...sebaiknya saya tarik lagi saran yang tadi," ujar Febrian sambil tersenyum masam. ♡♡♡ Flashback "Mana oleh-oleh dari Amerika?" "Sebentar lagi kita akan tunangan, lalu kau akan menjadi istriku dua tahun lagi," "Eh!? Hik! Kenapa cepat sekali?!" "Kau tidak mau menjadi nyonya Basri?!" "Hik! Mau! Mau! Ah! Tentu saja Momok mau!" "Ran, serem," "Kau!" "Hik!" Slash Kelopak mata gadis itu bergerak-gerik. Bibirnya pun ikut bergerak meskipun pelan. Entah apa yang terjadi dengan gadis yang selama lima tahun terakhir itu sedang tidur panjang. Slash "Ran! Ran! Momok mau yang itu!" "Ran! Ran! Yang itu juga! Yang itu juga!" Slash Kelopak matanya semakin bergerak tak menentu, bibir itu terbuka dan tertutup lagi berulang-ulang. Peluh membasahi dahi dan leher gadis itu. Slash "Ran! Ran! Momok mau yang itu!" "Ran! Ran! Yang itu juga! Yang itu juga!" Slash Tarikan dan hembusan napas yang tadi beraturan, kini menjadi cepat, detak jantung yang selama lima tahun ini berdetak biasa tanpa ritme yang berarti, kini berdetak kencang. Slash "Ran! Ran! Ayo sini!" "Ran!" "Ran!" "Hahahahaha!" "Hahahahaha!" Slash Tet tet tet tet Tak Tak Tak Ceklek "Pasien mengalami syok dalam koma!" "Periksa organ mata, nadi, dan paru-paru!" "Detak jantung memompa cepat, aliran darah normal," "Mata dan bibir merespon gerakan!" Slash "Ran! Ran! Itu! Yang itu!" "Ran! Ran! Momok mau yang itu!" "Ran! Ran! Yang itu juga! Yang itu juga!" Slash "Dokter! Jari pasien bergerak!" ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN