75. Terungkap

1358 Kata
"Aaaa! Kakak! Kakak! Dia! Dia!" Gea histeris. "Aaa! Bunda! Bunda! Gilan takut!" Gilan menjerit histeris. "Aaa! Jauhkan dia dariku!" "Dia disini! Dia disini!" "Ayah! Bunda! Tolong Gilan!" "Kakak! Kakak! Kak Agil! Tolong Gilan! Dia! Dia ada disini!" Gilan menjerit-jerit histeris. "Aaa! Dia! Dia! Bunda! Dia! Pisau! Benda itu! Aaaa!" Gilan dan Gea histeris ketika melihat barang bukti yang ada di kantor polisi itu. Kantor polisi itu dihiasi dengan jeritan-jeritan pilu dan histeris dari kedua saudara kembar itu. Para tim medis berusaha menenangkan Gilan dan Gea. Agil merasa dadanya sesak, ia seakan tak bisa bernapas. Kedua adiknya histeris dan menjerit-jerit. Para anggota polisi disitu berusaha agar menenangkan tubuh Gea yang berontak hebat. Lalu ada Gilan yang menjerit hebat. Mereka tidak bisa mengunakan jarum suntik untuk memasukan obat bius, pada akhirnya tim medis yang ada disitu terpaksa membekap hidup Gea dan Gilan untuk membuat mereka tak sadarkan diri. Agil menyandarkan tubuhnya didinding kantor itu. Matanya terarah bergantian ke arah kedua adik kembarnya yang sekarang telah tak sadarkan diri. Panas, dadanya terasa panas lagi ketika melihat kondisi dari adik-adiknya. Ia mengepalkan erat kedua tangannya. Bugh Bugh Bugh "Agil!" seru teman-temannya. Agil meninju dinding itu hingga tangannya keluar darah. "Tahan emosimu!" polisi-polisi yang ada disitu kembali menenangkan sang kakak dari kedua saudara kembar yang histeris tadi. Bugh "Akh!" "Nona!" Terdengar teriakan sakit dari seorang pria dan seruan dari seorang polisi wanita. Bugh Bugh Buk Buk "Nona! Tahan emosi anda!" Bugh "Akh! Aaa!" Bugh Bugh Bagh Cika mengamuk didalam ruang introgasi. Sang pelaku yang ternyata penculik dan yang menyayat saudara-saudaranya itu dipukuli dan di tendang habis-habisan. Cika tidak peduli lagi jika ini kantor polisi, yang dia ingin sekarang adalah meremukan tulang-tulang dari sang pelaku. "Nona! Nona tahan!" "Jangan nona!" "Nona Baqi!" Terdengar seruan-seruan dari para polisi itu. Sekarang para polisi itu harus turun tangan lagi untuk menenangkan saudara sepupu dari teman mereka sekaligus anak dari wakil panglima TNI itu yang sedang mengamuk, memukuli dan menginjak-injak sang tersangka. ♡♡♡ "Penculiknya sudah ditangkap?" Laras melototkan matanya. Iqbal terlihat kaget. "Pa, papa! Itu berarti pembunuh kedua orang tua Moti juga kan?" Laras menoleh cepat ke arah sang suami. Iqbal mengangguk membenarkan. Bruk Laras terduduk syok di kursi sofa mahal itu. "Randra, Randra di Singapura, kalau dia tahu ini, dia pasti akan berbalik membunuh pelakunya," syok Laras. Iqbal melirikan pandangannya ke arah sang istri. "Randra tidak tahu ini, kan?" tanya Laras. Iqbal menggeleng tidak tahu. "Jika putra kita tahu, maka dia akan dengan sendirinya langsung melihat tampang si pelaku itu," Laras memegang dadanya. "Ini...ini...kenapa baru sekarang penculiknya tertangkap? Anakku...anakku sudah lama menderita...," lirih Laras pilu. ♡♡♡ Busran dan Ussy sedang menuju kantor polisi. Kabar mengenai tertangkapnya sang pelaku penculikan keluarga dari tunangan teman mereka itu telah mereka dengar. "Ussy," Busran memanggil nama Ussy. Ussy Lann berbalik. "Busran, sedang apa kau disini?" tanya Ussy. "Kau sendiri sedang apa disini?" Busran bertanya balik. "Aku yang menangani kondisi psikis Gilan dan Gea," jawab Ussy. Busran manggut-manggut. "Kau sendiri?" tanya Ussy. "Ayo masuk," ajak Buran. "Ck! Dasar Nabhan," decak Ussy dongkol. ♡♡♡ "Dokter Lann, kami terpaksa memberikan obat bius kepada pasien anda," ujar salah seorang suster. Ussy mengangguk mengerti. "Dokter Angta dimana?" Ussy bertanya tanpa menoleh ke arah suster Sari, dokter Jiwa itu sedang memeriksa kondisi tubuh dari Gilan. "Kami sudah menelepon dokter Angta, dokter Angta dalam perjalanan kesini," jawab suster Sari. Ussy menoleh ke arah suster Sari. "Memangnya dia kemana? Kemarin pagi masih bertemu denganku," tanya Ussy. "Dokter Angta ke Tanggerang, beliau ada keperluan kerja sama dengan rumah sakit disana." Jawab asisten Febrian yang ikut mendampingi Gilan. Ussy mengangguk mengerti. Ussy berjalan ke arah Gea yang sedang dalam kuasa obat bius. "Trauma gadis ini kambuh lagi, pak polisi, mohon jauhkan benda-benda tajam itu dari penglihatan kedua kakak-beradik ini," ujar Ussy meminta pengertian para polisi. "Pasien saya mengalami Aichmo Phobia, ketakutan berlebih kepada benda-benda tajam dan runcing, itu barang bukti, Kan?" jelas dan tanya Ussy. "Ya, dokter. Ini merupakan barang bukti." Jawab seorang polisi itu. "Sebelumnya, perkenalkan nama saya Ussy Lann, saya adalah dokter jiwa yang menangani psikis dari tuan Gilan dan nona Gea, kepolisian dan keluarga dari tuan Gilan dan nona Gea telah mengetahui dan menyetujuinya." Jelas Ussy. Para polisi itu mengangguk. "Jadi, demi kebaikan pasien saya yang sekaligus korban dalam kasus itu, saya mohon jauhkan benda-benda tajam itu dari penglihatan kedua pasien saya," ujar Ussy tegas. Para polisi itu mengangguk mengerti. "Seperti yang kita sudah tahu sebelumnya bawa kedua pasien saya ini mengalami trauma berat akibat dari insiden lima tahun lalu, jadi tolong pengertian dan kerja samanya." Jelas Ussy. "Oh yah, satu lagi. Tolong jauhkan penglihatan dan jarak dari pelaku penculikan itu dari tuan Gilan dan nona Gea, ini akan sangat mempengaruhi kejiwaan mereka nantinya, terima kasih." Lanjut Ussy. Polisi dan polwan yang ada di kantor itu mengangguk mengerti. Busran berjalan mendekat ke arah Agil. "Kau baik-baik saja?" Busran melontarkan pertanyaan itu. Suster lain yang tadi ikut menemani Gilan, membersikan dan mengobati punggung tangan dan jemari Agil. "Menurutmu, jika melihat pelaku pembunuhan kedua orang tua dan melihat saudara-saudara kandungmu histeris, ketakutan dan menjerit-jerit begitu, bagaimana perasaanmu?" lemparan balik pertanyaan ke arah putra kedua Nabhan itu. Busran menelan susah air ludahnya, ia menunduk menyesal. "Maaf, seharusnya aku tidak bertanya seperti itu." Agil hanya mengangguk singkat. "Randra sudah tahu tentang ini?" tanya Busran. "Ponselnya tidak aktif, sudah aku hubungi berkali-kali, namun tetap saja tidak aktif." Jawab Busran seadanya. Agil mengangguk singkat. ♡♡♡ "Pelaku penculikan itu sudah tertangkap," terdengar suara dingin dari seorang pria. Glik Bunyi gemeletuk gigi-gigi pria itu. Randra menolehkan pandangannya ke arah Moti yang baru saja membuka matanya. Perkembangan tubuh gadis itu sangat baik, Moti bahkan sudah bisa makan bubur dalam tiga hari ini, meskipun gadis itu masih mengeluh sakit pada tenggorokannya. "Ran...," Tak Tak Tak Randra berjalan mendekat ke arah sang kekasih yang seminggu ini telah mengisi hari-harinya. "Aku disini, Ran-mu disini," sahut Randra lembut. "Kak Agil dimana? Bunda? Bunda ayah?" Moti tiba-tiba melebarkan matanya. Seakan gadis itu baru sadar apa yang telah dilupakannya. Randra mendekat cepat ke arah sang kekasih. "Ran! Ran! Bunda! Bunda! Bunda nggak boleh pergi! Bunda nggak boleh pergi! Ayah! Ayah! Mereka! Mereka ingin membunuh ayah!" Moti menjerit-jerit histeris. "Moti! Moti dengarkan aku!" Randra panik. "Tenangkan dirimu, dokter! Dokter!" Ceklek Tak Tak Tak Dokter Hong memasuki ruang rawat Moti. "Ayah! Ayah! Ayah! Bunda! Bunda! Hik!" "Moti!" Randra panik, sang kekasih tak sadarkan diri. ♡♡♡ "Kondisinya kembali drop," ujar dokter Hong. "Apa!?" Randra membulatkan matanya. "Tapi beberapa hari ini tunanganku bisa makan walaupun itu hanya bubur yang sudah dihaluskan lagi," balas Randra. Dokter Hong menghembuskan napasnya. "Huuh!" "Ingatannya, ya. Nona Moti pasti mengingat hal terakhir yang di lihat atau yang dialaminya, sebab beberapa hari ini saya memantau perkembangan nona Moti, dia selalu mengerutkan keningnya, berusaha agar mengatakan sesuatu." Jawab dokter Hong. Randra menahan napas susah. ♡♡♡ "Ada yang tidak beres," gumam Adam. Cika menoleh ke arah kekasihnya. "Tidak mungkin pak Ikhsan yang melakukan semua ini," lanjut pemuda 30 tahun itu. Agil yang juga berada di ruangan itu mengangkat pandangannya. "Aku tahu, hari minggu pagi yang lalu, aku ke rumah om Ikhsan, dan aku membandingkan antara pembicaraan om Ikhsan dan om Christian, hasilnya memang agak terlihat sama, namun ada perbedaannya," ujar Agil. Jamaludin juga mengangkat pandangannya pada sang keponakan. "Christian sudah mengirimkan berkas yang Momok bawa hari itu?" tanya Jamaludin. Sret Agil memberikan sebuah map berisi berkas yang diminta. Jamaludin menerima map itu lalu dia membuka dan membaca isi dari berkas itu. "Ini adalah berkas dari laporan ayahmu, disini tertera bahwa penyelendupan senjata asing itu bukan hanya berasal dari Amerika tetapi dari Eropa," ujar Jamaludin. "Ini memang kasus besar, pantas saja banyak yang mengincar keluargamu sebab sangat susah mereka mendapatkan nyawa ayahmu," ujar Jamaludin. Agil terlihat sedang berpikir. "Momok lari ketakutan dari Imperial Resto, dan disana tidak ada ayah melainkan hanya ada om Christian, om Christian ada menyembunyikan sesuatu," ujar Agil. Jamaludin menaikan sebelah alisnya. "Kau benar, sejak awal memang aku curiga dengan dia, dia terlihat diam bahkan cenderung menjauh waktu insiden kematian ayah dan ibumu," ujar Jamaludin. Sret Adam memperlihatkan kopian surat keputusan kenaikan pangkat dari Christian ke arah Jamaludin. "Seharusnya pak Mochtar yang naik pangkat lima tahun lalu, namun dialihkan ke pak Christian tiga bulan sesudah insiden itu," ujar Adam. "Dia mengambil tempat adikku, lelaki itu pada saat penggerebekan dan penyilidikan dia hanya diam ditempat," ujar Jamaludin. Adam mengangguk membenarkan. "Ada bukti yang hilang dikepolisian, dan bukti itu merupakan bukti besar yang kami punya, yang berhak tahu kode buktinya hanya tiga orang saat itu, pak Mochtar, pak Ikhsan dan pak Christian," ujar Adam. "Pak Mochtar dan pak Ikhsan sedang melalukan penggerebekan, namun pak Christian tidak, tapi dengan gampang dan mudahnya beliau naik pangkat dan jabatan," ujar Adam. Jamaludin dan yang lain menyimak. "Seharusnya kenaikan pangkat itu diserahkan kepada pak Ikhsan, namun nyatanya tidak, setelah satu tahun lebih baru pak Ikhsan naik pangkat dan jabatannya, disini yang membuat saya memisahkan diri dari tim detasemen anti teror, ada yang tidak beres dengan ini, Pak," ujar Adam. Jamaludin dan yang lainnya terlihat berpikir. "Posisi!" Agil berseru. Semua mata mengarah ke arahnya. "Ayah sangat pintar, dia bisa mengejar posisi om Christian, seperti itulah ungkapan om Christian malam itu," lanjut Agil. "Dia pelakunya!" ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN