Bab.6 Takut Kehilangan

1684 Kata
"Terima kasih kemarin malam sudah mengantarku pulang. Aku minta maaf kalau saat mabuk bicaraku melantur kemana-mana." Aksa tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat membaca chat dari Sifa. Mungkin kalau semalam saat mereka bertemu Sifa tidak dalam keadaan mabuk, keadaannya justru akan semakin canggung lagi. "Tidak apa-apa, aku tidak merasa direpotkan kok." Aksa mengirimkan balasan chatnya. Semalam memang dia sendiri yang mengantar Sifa pulang ke apartemennya, meski sebenarnya wanita itu bersikeras menolak dan ingin pulang bersama Xena. Entah kenapa Aksa merasa tidak sampai hati meninggalkan Sifa begitu saja disana, apalagi dalam keadaan mabuk. "Tolong Sa, lupakan apapun kekonyolanku semalam." Konyol?! Aksa terpaku membaca chat dari Sifa yang baru saja masuk di ponselnya. Kata itu seakan membuat otaknya mencelos. Kalau semalam Sifa bersikap konyol itu wajar, karena dia sedang mabuk. Tapi bagaimana kalau justru dirinya yang baik-baik saja bersikap di luar nalar? Wajah Aksa tiba-tiba seperti tersulut api, panas. "Papa ..." Panggilan anaknya sontak membuat Aksa gelagapan seperti maling yang ketahuan. Matanya beralih ke Cello yang sedang duduk di lantai bermain dengan dua ekor kucing kesayangannya, Cilok dan Hero. "Ya ..." "Besok Cello boleh bawa Hero sama Cilok main ke panti kan?" tanya bocah itu penuh harap. "Boleh, tapi dijaga yang benar. Jangan sampai berantem lagi sama kucingnya Liam." Liam dan Leta adalah dua kakak beradik yang tinggal di panti asuhan milik keluarga Johan. Bocah piatu malang yang terpaksa dititipkan di sana, karena ayahnya terlibat kasus pembunuhan dan sedang menjalani hukuman. Aksa sengaja membelikan Liam seekor kucing, karena kasihan melihat bocah pendiam itu sepertinya sangat menyukai kucing Cello. "Oreo galak Pa," adu Cello membuat Aksa tersenyum geli. "Bukan Oreo yang galak, tapi Cilok kamu yang nakal." ucap Aksa mengoreksi ucapan anaknya. "Enggak kok, buktinya kalau sama Cimol juga Hero tidak pernah berantem." bantahnya. "Cilok sama Cimol kan saudara, terus sudah terbiasa tinggal bareng Hero makanya bisa akur." jelas Aksa ke anaknya yang tukang ngeyel itu. Cilok dan Cimol adalah dua ekor kucing bengal hadiah dari Jonathan Lin untuk Cello dan Vian. Entah atas dasar apa sampai kedua bocah itu memberikan nama kucing mereka dengan nama yang nyeleneh itu. Sedangkan Hero Aksa beli sekitar satu setengah tahun yang lalu. "Lagian Liam aneh deh Pa! Kucingnya kan warna abu abu, kenapa malah dikasih nama Oreo?" Bocah itu mulai lagi ceriwisnya. "Nggak juga, siapa bilang Oreo harus coklat?" "Ya kan Oreo memang coklat, Pa!" "Berarti kamu sama Vian lebih aneh lagi dong, memangnya kucing kalian mirip cilok sama cimol?" Aksa balik bertanya. "Papa ih ..." Aksa tertawa melihat Cello yang menatapnya dengan muka merengut kesal. "Besok Cello jadi beli mainan nggak?" "Jadi, beli yang banyak." jawabnya begitu antusias. "Terus apalagi?" "Beli makanan juga Pa, mau Cello bagi sama Liam, Leta juga anak anak yang lain di panti." "Ok, besok kita mampir belanja dulu sebelum berangkat ke panti." Senyum Cello langsung merekah lebar begitu papanya menyetujui keinginannya. Sifatnya memang keras kepala dan kadang susah diatur, tapi dia juga punya sisi yang hangat dan penyayang. Satu hal yang selalu Aksa syukuri, karena meski di tubuh Cello mengalir darah keluarga Pradipta, tapi anaknya tidak menuruni moral bobrok keluarganya. Tanpa sadar Aksa menghela nafas panjang. Seandainya dulu dia tidak menyerah memperjuangkan Sasha, apakah kisah hidup mereka bertiga tidak akan sama. Hanya Tuhan yang tahu, betapa dia juga sangat mencintai Sasha dan menginginkan calon anaknya. Namun saat itu Aksa tak punya pilihan lain selain melepasnya, karena hanya itu satu-satunya cara untuk menjauhkan mereka dari tangan kotor orang tuanya. Semakin dia melawan, semakin orang tuanya tak segan menggunakan penderitaan Sasha dan anak di perutnya untuk memaksanya berlutut. "Cello, susunya dihabiskan dulu dong! Nanti keburu dingin jadi nggak enak." Rena datang menghampiri keponakannya dengan segelas s**u yang tinggal setengahnya. "Eh iya, lupa." sahut Cello. Aksa tersenyum melihat anaknya yang langsung minum habis sisa susunya hanya dalam sekali tegak saja. "Terima kasih Onty," ucapnya sambil meletakkan gelas kosong itu di atas meja. "Dih bikin gemas, keponakan Onty memang paling manis deh kalau ngomong. Coba pas diajak ngobrol Tante Lena atau Tante Sifa juga manis begini, pasti ..." "Rena!" sela Aksa sebelum adiknya itu meneruskan ucapannya, tapi Rena justru cengengesan melihat Cello yang langsung pasang wajah masam. "Nggak boleh ada yang dekat papanya Cello!" ucapnya ketus. "Fix, dia persis sama Kak Aksa yang dulu posesifnya nggak ketulungan ke emaknya." cibir Rena. Aksa menyambut tubuh kecil anaknya yang menghambur naik ke pangkuannya. Dadanya berdenyut nyeri setiap kali menangkap sorot mata Cello yang sarat ketakutan. Dia lah orang yang paling pantas disalahkan karena sudah membuatnya lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. "Kamu kenapa malah ngomongnya merembet kemana-mana, Ren?" "Lho, memang iya kan? Dulu Kak Aksa posesif dan cemburuannya juga minta ampun kok. Sekarang tahu sendiri kan bagaimana rasanya? Ganti Kak Aksa yang diposesifin sama anak, sampai yang mau mendekat saja keder duluan karena di judesi sama dia." ucap Rena sambil menggeleng menatap Cello. "Tidak apa-apa, itu berarti aku bagi Cello adalah bagian penting hidupnya yang tidak ingin dia bagi dengan siapapun." "Posesif itu apa sih Pa?" celetuk Cello. Aksa dan Rena saling melempar pandang, lalu tertawa terkekeh. Hampir saja mereka lupa ada bocah yang keponya minta ampun ini di sini. "Posesif itu kayak Cello ke papa, nempel terus karena takut diambil Tante Sifa." Rena tergelak sambil menangkap lemparan bantal kakaknya. "Cello ..." panggil Rena. "Iya." "Cello kenapa tidak suka Tante Lena dekat sama papa? Kan enak nanti kalau mereka menikah, Cello sama Vian jadi bisa tinggal bareng di sini." ucap Rena dengan hati hati. "Jangan ngomong yang aneh-aneh kamu, Ren!" sahutku, tapi Rena menggeleng pelan memintaku untuk memberinya kesempatan bertanya pada Cello. "Cello nggak suka. Papa tidak boleh nikah sama Tante Lena," jawabnya ketus. "Kenapa? Bukankah Vian teman baiknya Cello? Kemana mana kalian juga selalu berdua. Tante Lena orangnya juga baik banget kok, iya kan?" Rena masih melanjutkan pertanyaannya ke Cello yang masih merengut masam. "Kan Cello sudah bilang papa itu cuma punyanya Cello, nggak mau dibagi sama Vian. Cello juga tidak suka Tante Lena dekat sama papa!" "Kalau Naya boleh tidak panggil papanya Cello papa?" "Tapi Naya kan sudah punya papa sendiri, Onty?" Aku mengulum senyum saat Cello balik bertanya. "Siapa?" tanya Rena. "Om Satria." "Om Satria?! Bukan, Om Satria bukan papanya Naya kok." jawab Rena sambil menggeleng. "Terus kenapa Naya panggil Om Satria papa?" "Sebentar ... sebentar! Ini kenapa malah jadi kamu yang banyak tanya ke Onty?!" protes Rena. Aksa yang diam menyimak tertawa geli melihat Rena yang sudah dibuat keki oleh Cello. Dia mendecak gemas menatap keponakannya. "Kalau dedek Zehan sama dedek di perutnya bundamu nanti sudah lahir, boleh tidak panggil papanya Cello papa?" "Tentu saja boleh," jawab Cello tanpa repot-repot berpikir lebih dulu. "Tuh kan! Kalau mereka saja boleh panggil papa, kenapa Vian tidak?" "Zehan sama dedek di perutnya bunda kan adiknya Cello, Onty." Rena manggut-manggut, meski mungkin dia juga masih belum begitu paham maksud jawaban Cello. "Ok. Jadi intinya Cello cuma mau berteman dengan Vian, tapi tidak ingin berbagi papa. Cello juga tidak mau kalau Tante Lena jadi mamanya Cello, begitu kan?" "Iya." Cello yang duduk menyandar di pangkuan papanya terlihat gelisah. Dia terus meremas jemari Aksa dengan kepala setengah menunduk, seperti ada sesuatu yang mengganggu benaknya tapi enggan mengungkapkan. "Terus kalau Tante Sifa, Cello nggak suka juga?" Cello tidak langsung menjawab pertanyaan tantenya, dia justru melirik papanya sebentar sebelum kemudian menggeleng pelan. "Kenapa? Tante Sifa kan cantik, baik lagi. Dulu waktu papa sakit, Tante Sifa juga yang mengobati. Cello masih ingat kan waktu papa tidur lama banget di rumah sakit nggak bangun-bangun?" "Ingat," jawabnya sambil mengangguk. "Waktu di Bali, Tante Sifa juga yang sudah bantu Cello bikin kue ulang tahun buat Ayah Abi. Iya kan?" tanya Rena yang lagi-lagi mendapat anggukkan kepala bocah itu. "Terus kenapa Cello masih juga tidak suka sama Tante Sifa?" Cello diam, Aksa dan Rena saling melempar pandang saat melihatnya tampak ragu menjawab. "Cello tidak mau papa diambil Tante Sifa ataupun Tante Lena. Nanti kalau papa menikah dan punya anak lagi, pasti tidak akan sayang lagi sama Cello." Dada Aksa mencelos, suara lirih anak kesayangannya itu semakin menghempasnya dalam rasa bersalah. Mungkin beginilah cara Tuhan menghukumnya. Memperlihatkan bagaimana sakit yang harus anaknya tanggung akibat kesalahannya di masa lalu. Andai saja sejak awal dia bisa memberinya sebuah keluarga yang semestinya, Cello juga tidak akan terjebak dalam kehidupan serumit ini. "Maaf, Papa yang salah. Tapi Cello harus tahu, selamanya Cello adalah anak yang paling Papa sayangi. Papa pasti akan melakukan apapun yang terbaik untuk Cello," ucap Aksa sambil mengeratkan dekapannya di tubuh kecil anaknya. "Papa ..." "Hm ..." "Kalau Papa menikah lagi, akan tetap sayang Cello kan?" "Tentu saja." "Kalau Papa nanti punya dedek bayi lagi, nggak bakalan ninggalin Cello kan?" Aksa mengernyit mendengar pertanyaan anaknya yang semakin aneh. "Anak Papa ngomong apa sih? Mana mungkin Papa meninggalkan Cello, sedangkan Papa saja tidak bisa hidup tanpa Cello." "Bohong!" Aksa dan Lena kebingungan saat Cello tiba tiba mulai menangis. "Heii … anak Papa kenapa malah nangis? Papa beneran nggak bohong kok," ucap Aksa berusaha menenangkan tangis anaknya. "Belum, nanti kalau Papa sudah menikah pasti seperti papanya Nana." "Nana siapa?" tanya Aksa semakin tidak paham arah pembicaraan anaknya. "Nana temen sekolahnya Cello, Pa." "Memang papanya Nana kenapa?" tanya Rena. "Nana bilang papanya tidak pernah pulang ke rumah setelah menikah dan punya dedek bayi lagi. Papa jangan nikah lagi ya, Pa. Nanti kalau Papa pergi, Cello tidak akan punya papa lagi." "Tidak, Papa tidak akan pernah pergi dari Cello." Aksa mengusap lembut kepala anaknya. Matanya memburam panas saat bocah kecilnya masih saja sesenggukan. "Dengar! Papa tidak akan menikah sebelum Cello benar-benar siap menerima kehadiran orang lain di samping Papa." "Janji?!" "Iya, Papa janji. Tapi Cello juga harus janji, mulai sekarang tidak boleh judes lagi sama Tante Lena juga Tante Sifa." Aksa menghela nafas lega begitu melihat Cello mengangguk setuju. Dia masih terlalu kecil untuk bisa memahami apa yang dia lihat dan dengar di sekitarnya. Cello pernah merasakan di posisi tidak memiliki, jadi wajar kalau sekarang dia merasa takut kehilangan. "Papa …" "Iya …" "Memangnya Papa mau menikah sama Tante Sifa?" Kali ini Aksa bungkam. Sebelum kemarin malam pertanyaan anaknya itu pasti bisa dengan mudah dia jawab. Tapi sepertinya mulai sekarang Aksa akan butuh lebih banyak waktu, untuk mencari jawaban yang tidak akan disesalinya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN