Setahun lalu takdir mempertemukan kembali Sifa dengan pria yang menjadi cinta pertamanya itu lewat cara tak terduga-duga. Saat dimana Aksa dibawa ke Medical Centre dalam keadaan sekarat, karena tertembak akibat ulah mantan istrinya yang sakit jiwa.
Toh meskipun tahu laki-laki itu sudah berstatus duda dan punya seorang anak dari hubungan diluar nikah dengan kekasihnya dulu, Sifa tetap kukuh memperjuangkan perasaannya pada Aksa.
Namun lagi-lagi Sifa harus patah hati karena nyatanya dia tetaplah Aksa yang dulu, hanya bisa dilihat tak bisa teraih. Di hatinya sudah terukir nama Sasha Dewanti yang tidak akan pernah bisa tergantikan oleh siapapun, termasuk dirinya. Aksa masih menggenggam rasa cintanya pada wanita yang sudah memberinya seorang anak itu.
Dua kali penolakan Aksa telak menampar egonya. Kemarin saat malam terakhir mereka di Bali, Aksa kembali memintanya untuk tidak berharap lebih. Sudah cukup, Sifa akhirnya memilih mundur dan berusaha menjauh. Dia tidak akan merendahkan dirinya lagi mengejar cinta pria gagal move on itu.
"Kamu dari mana? Kenapa bisa sampai terluka?" tanya Aksa dengan wajah cemasnya saat melihat luka di kening Sifa.
"Ada urusan apa tiba-tiba kamu kesini? Kenapa tidak menelpon?" Sifa justru balik bertanya setelah duduk di salah satu di sofa kosong di sana, mengacuhkan pertanyaan yang Aksa lontarkan. Bukannya tidak sopan, tapi urusan pribadinya Aksa memang tidak seharusnya tahu.
"Bagaimana aku bisa menelponmu, sedang ponselmu saja tertinggal di pesawat." ucap Aksa, tangannya merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Melihat itu bahkan Sifa baru sadar kalau ternyata dia sudah kehilangan benda pentingnya.
"Terima kasih," ucap Sifa sambil mengambil kembali ponselnya.
"Mama dan papamu terus-terusan menelpon sejak tadi. Sebaiknya kamu segera menghubungi mereka, mungkin saja ada hal penting mencarimu." jelas ucap Aksa.
"Tidak perlu," gumam Sifa dengan kepala menggeleng.
Kembali Aksa menatap lekat wajah Sifa yang menunduk seakan enggan bertemu dengannya. Dia tentu saja tahu setelah kejadian tidak mengenakkan semalam, Sifa seperti berusaha menghindar darinya. Terbesit rasa bersalah, tapi mungkin begini lebih baik karena dirinya benar-benar tidak bisa membalas cinta Sifa.
"Kamu kenapa Fa? Katakan mungkin aku bisa membantumu," lagi-lagi Aksa mencoba bertanya. Melihat keadaan Sifa yang tampak kacau dengan kening terluka, dia yakin ada sesuatu yang salah.
"Aku baik-baik saja, kalau sudah aku mau naik ke atas dulu. Sekali lagi terima kasih sudah mau repot-repot mengantarkan ponselku ke sini."
"Sifa ..."
"Apa lagi?" Tanpa sadar Sifa menyahut dengan nada kesalnya.
"Tante Sifa kenapa galak sama papa Cello?!" sahut bocah itu ketus dengan tatapan tak sukanya.
Sifa menoleh kaget. Iya, memang tidak seharusnya dia melampiaskan kemarahannya pada Aksa yang tidak tahu apa-apa. Sifa sudah lelah dengan emosinya dan butuh sendiri, tapi Aksa justru terus mencecarnya. Apalagi dari sekian banyak orang, dia yang paling ingin Sifa hindari saat ini.
"Cello, jangan tidak sopan begitu ke Tante Sifa! Ayo minta maaf!" ucap Aksa menegur anak kesayangannya, tapi yang ada bocah itu malah semakin merengut kesal.
"Kan Tante Sifa dulu yang bentak Papa!" sahut Cello sambil melirik Sifa jengkel.
"Maaf ya, Tante bukannya bermaksud galak ke papanya Cello kok." jelas Sifa dengan mencoba tersenyum. Dia tahu anak semata wayang Aksa ini memang tidak pernah menyukai siapapun yang dekat dengan papanya, termasuk dirinya. Itulah kenapa Cello selalu bersikap jutek padanya.
"Maaf Cello sudah tidak sopan, Fa." ucap Aksa tetap meminta maaf untuk sikap anaknya yang keterlaluan.
Sifa tersenyum, namun kemudian matanya tidak sengaja menemukan Rendra yang ternyata masih menunggunya. Laki-laki itu berdiri tidak jauh dari lift sambil mengotak atik ponselnya.
"Dia siapa?" tanya Aksa mengikuti arah pandang Sifa yang sedang memperhatikan Rendra.
"Teman," jawab Sifa asal.
"Dokter juga?"
Sifa mengangguk. "Iya, dokter sekaligus wakil direktur di Medical Centre."
Tidak mungkin Sifa bilang pria itu adalah kakak angkatnya, karena Rendra sendiri selama ini sengaja menutupi identitasnya. Bahkan meski menjabat sebagai wakilnya di Medical Centre, jarang yang tahu tentang status Rendra sebagai anak angkat keluarga Haidar.
Aksa tidak bertanya lagi, meski sebenarnya masih menyisakan penasaran di benaknya. Dia bukannya tidak tahu kalau laki-laki itu sejak tadi terus menatapnya tidak suka, padahal Aksa sangat yakin tidak pernah bertemu atau kenal dengan rekan kerja Sifa itu sebelumnya.
"Sifa …"
"Iya …"
"Kamu marah? Maaf, aku bukannya bermaksud melukai perasaanmu. Tapi kita memang …"
"Bisakah kita tidak usah membahas tentang hal itu lagi? Aku sudah paham maksudmu, jadi tolong kita anggap masalahnya selesai sampai disini." sela Sifa memotong ucapan Aksa. Sesekali tatapannya tertuju pada Cello yang duduk di samping papanya sambil memainkan kotak rubiknya.
"Lagi pula seharusnya aku yang minta maaf, karena selama ini sudah membuatmu tidak nyaman. Jangan khawatir! Setelah ini aku tidak akan mengusikmu lagi," ucap Sifa dengan senyum masamnya.
"Bukan begitu maksudku, Fa. Aku tidak pernah memintamu menjauh, kita masih bisa berteman." Aksa terlihat gelagapan.
"Bagaimana kita bisa berteman, sedang kamu saja selalu terlihat tidak nyaman dengan keberadaanku di antara kalian." lontar Sifa telak membungkam Aksa. Helaan nafas Sifa terdengar keras, berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakit di hatinya.
"Tidak perlu memaksakan diri berteman denganku, Sa. Soal hati memang tidak bisa dipaksa. Aku tidak sepicik itu lantas membencimu hanya karena dua kali kamu tolak. Hanya saja beri aku sedikit waktu, mungkin nanti kita bisa berteman dengan nyaman." lanjut Sifa
Ucapan Sifa barusan membuat Aksa berpikir keras, apakah yang dikatakan teman-temannya itu memang benar kalau selama ini dia terlalu dingin memperlakukan Sifa. Padahal Aksa begitu karena tidak ingin Sifa berharap lebih padanya, tapi ternyata tanpa sadar dia malah melukainya.
"Ayo pulang Pa! Cello mau main sama Hero juga Cilok," ucap bocah itu mulai merengek minta pulang.
Aksa mengangguk menuruti permintaan anaknya. Ada rasa sesak saat Aksa menatap Sifa yang terdiam di depannya. Dia seperti sedang tertekan dan kosong. Belum lagi luka memar di keningnya yang menyisakan sedikit darah mengering itu membuatnya khawatir.
"Kalau begitu aku pamit dulu. Segera obati luka di keningmu, takutnya nanti malah infeksi." ucap Aksa sambil bangun dari duduknya. Cello sudah menarik-narik tangannya tidak sabaran ingin pulang.
Sifa mengangguk, lalu mengikuti langkah Aksa yang beranjak menuju pintu keluar dengan menggandeng tangan anaknya. Tepat saat sudah sampai pintu lobi, langkah mereka terhenti oleh panggilan Rendra.
"Tunggu sebentar! Mainannya ketinggalan."
Mereka bertiga menoleh, Rendra datang dan mengulurkan kotak rubrik di tangannya itu pada Cello.
"Terima kasih Om," ucap bocah itu saat mengambil lagi mainannya.
Aksa mengernyit melihat senyum di wajah Rendra yang luntur dan menghilang begitu mata mereka bertemu. Dia masih tidak habis pikir, apa sebenarnya yang membuat pria ini terang-terangan menunjukkan sikap sinis padanya.
"Sifa bilang Anda rekan kerjanya. Saya Aksa Pradipta, teman sekolahnya Sifa dulu." ucap Aksa sambil mengulurkan tangannya.
"Rendra Akbar," jawabnya singkat menyambut uluran tangan Aksa.
"Ayo Pa, pulang!" Cello kembali merengek.
"Kalau begitu aku pamit dulu," ucap Aksa mengangguk sopan ke arah Rendra dan Sifa.
"Hati-hati Sa," balas Sifa. Aksa tersenyum sembari menggandeng anaknya melangkah pergi dari sana.
"Ayo, aku obati lukamu!" Rendra merangkul Sifa yang masih berdiri terpaku menatap punggung Aksa. Tanpa mengatakan apapun dia mengikuti kakak angkatnya itu melangkah menuju lift. Semua sudah berakhir. Meski tak mudah, tapi Sifa akan mengubur dalam-dalam rasa cintanya yang bertepuk sebelah tangan.
Sedangkan di belakang sana tanpa sadar Aksa kembali menoleh. Matanya sempat terpaku mendapati Sifa berjalan beriringan dengan Rendra yang merangkulnya.
Seharusnya dia lega karena masalahnya dengan Sifa bisa selesai dengan baik, meski mungkin wanita itu masih perlu sedikit waktu untuk bisa bersikap biasa layaknya teman padanya. Namun entah mengapa, ada yang terasa aneh di hatinya saat melihat Sifa melangkah dengan dirangkul Rendra.
***
"Aku sudah pesan makanan, paling sebentar lagi datang." ucap Rendra begitu Sifa keluar dari kamarnya dengan keadaan yang lebih segar setelah mandi.
"Aku tidak lapar," sahut Sifa melempar tubuhnya ke sofa samping kakaknya.
"Tidak lapar juga tetap harus makan!" Rendra meraih kotak obat di atas meja, lalu dengan telaten mengoleskan obat di kening Sifa. Sesekali dia meniup lembut karena Sifa yang tampak meringis kesakitan.
"Dia makin lama makin keterlaluan. Sekarang bahkan sudah berani main tangan sama kamu," ucap Rendra dengan wajah kesalnya.
"Papa masih tidak terima karena merasa aku sudah merampas apa yang seharusnya jadi haknya. Ditambah lagi di sampingnya ada yang selalu menghasutnya," sahut Sifa dengan mata menyipit dan meringis menahan perih di keningnya yang sedang diobati.
"Lalu bagaimana dengan duda yang tadi itu? Masih belum menyerah juga kamu mengejarnya?" sindir Rendra kasar. Wajah masamnya seketika menghilang begitu melihat Sifa menggeleng.
"Aku tidak sekuat itu kembali sakit hati kalau sampai nanti ditolak untuk ketiga kalinya."
Rendra menghela nafas menatap wajah cantik di hadapannya itu. Tangannya mengusap lembut balutan perban kecil yang baru saja selesai dia balutkan di kening Sifa. Setidaknya Sifa berani memperjuangkan perasaannya, meski pada akhirnya harus kecewa. Sedangkan dirinya sendiri tak lebih hanyalah seorang pengecut yang selalu menyimpan rapat rasa cintanya, tanpa punya keberanian mengungkapkan pada wanita pemilik hatinya.
"Kasihan mama, ulang tahunnya justru berakhir menyedihkan seperti ini." ucap Sifa menyandarkan punggungnya dan menatap menerawang langit jingga di luar sana.
"Sebentar lagi aku pulang menemaninya makan malam," sahut Rendra.
Ponsel di tangan Sifa berdering, Sifa tersenyum melihat nama Xena muncul disana.
"Hallo Xen …"
"Kamu baik-baik saja kan? Aksa bilang kamu terluka."
"Kamu bertemu Aksa?"
"Tidak, dia baru saja menelponku karena khawatir keadaanmu."
Sifa tersenyum masam, kenapa juga Aksa harus khawatir sedang biasanya dia tidak pernah peduli.
"Fa …"
"Hm …"
"Aku selalu ada kapanpun kamu butuh."
"Besok datang ke apartemenku, kita makan malam bareng." ucap Sifa.
"Ok, besok aku mampir ke restoran Tante Aida beli bistik kesukaanmu."
Sifa menutup telponnya sambil tertawa lebar melihat foto cewek ganteng di layar ponselnya itu. Rendra yang memperhatikannya sejak tadi hanya menggeleng pelan.
"Lain kali coba bujuk teman macho mu itu untuk kalem sedikit. Jangan pecicilan seperti preman pasar, pusing aku lihatnya." dengus Rendra.
"Yang penting dia baik, aku tidak butuh teman bermuka dua." balas Sifa.
Perasaannya pada Aksa memang berujung tak terbalas, tapi setidaknya Sifa mendapat banyak teman baru yang benar-benar baik dan apa adanya. Xena adalah salah satunya. Tapi dari mereka semua, cuma Xena yang tahu tentang kehidupan pribadinya. Termasuk soal kisruh keluarganya dan juga tentang Rendra.
"Aku ke bawah ambil makanan dulu, sudah diantar." ucap Rendra sambil beranjak dari duduknya.
Ponsel di tangan Sifa kembali bergetar. Setelah puluhan kali teleponnya tidak diangkat oleh anaknya, sekarang Iqbal ganti mengirimkan pesan. Sifa menghela nafas kasar, dia benar-benar sudah lelah menghadapi sikap papanya.
Luka di keningnya memang sakit, tapi itu belum seberapa jika dibanding sakit hatinya. Ke anak tiri papanya bisa selembut dan sesayang itu, tapi ronisnya dia yang anak kandungnya tidak pernah dipedulikan. Bahkan papanya seperti sengaja menunjukkan itu di depannya.
"Pikirkan lagi tentang permintaan Papa tadi. Yasmine pasti bisa bekerja lebih baik dari manajer keuangan yang mau resign itu. Jangan mentang-mentang sekarang kamu punya segalanya, lalu seenaknya meremehkan Papa. Posisi manajer keuangan, Papa harap bisa kamu berikan untuk Yasmine."
Tangan Sifa gemetar hebat, dadanya berdenyut sakit bukan main membaca pesan dari papanya. Bahkan setelah membuatnya terluka, dia tidak bertanya sedikitpun tentang keadaannya, apalagi meminta maaf. Yang ada justru papanya masih terus merecokinya meminta jabatan untuk anak tirinya itu.
"Sialan!"
Rendra yang sudah mau membuka pintu tersentak kaget begitu mendengar Sifa mengumpat keras dan membanting ponselnya ke lantai.