Bab.9 Kehilangan Yang Tak Termaafkan

1611 Kata
Sifa menatap kesal papanya yang masih duduk tidak bergeming di sofa ruang kerjanya. Ini entah sudah keberapa kalinya Iqbal ngotot minta anaknya itu untuk memberikan rumah yang sekarang ditempatinya bersama sang istri muda. Rumah itu sendiri adalah salah satu aset milik Fahri Haidar yang kini sudah diwariskan pada cucunya. Bagi Sifa ini benar-benar menggelikan. Mungkin papanya pikir dia bodoh sampai tidak tahu itu hanya akal busuk istri mudanya. Sejak Sifa mewarisi semua harta kakeknya, mereka seperti orang gila yang terus mencari celah untuk mengambil semua darinya. "Pekerjaanku masih banyak, Papa sudah membuang setengah jam waktu berhargaku." "Kamu pikir Papa juga tidak sibuk? Semua warisan kakekmu sudah jatuh ke tanganmu. Kenapa hanya satu rumah yang harganya tidak seberapa, kamu masih saja menolak memberikannya untuk kami?" ucap Iqbal mulai kesal. Sifa tertawa pelan sambil meletakkan satu berkas yang baru selesai dia tandatangani, lalu beranjak ke sofa. Kalau diajak bicara baik-baik tidak mempan, mungkin dia perlu memakai bahasa lain supaya papa paham. "Kalau harganya tidak seberapa, kenapa Papa tidak beli sendiri saja? Tidak usah merendahkan harga diri Papa dengan datang merengek padaku. Sampai kiamat pun aku tidak mungkin membiarkan wanita sialan itu mendapatkan apa yang dia mau." "Jangan mulai lagi kamu, Fa! Papa datang untuk bicara baik-baik, bukan untuk mengajakmu bertengkar. Apa begitu itu caramu bicara dengan papamu? Tidak sopan!" ucapnya geram. "Karena Papa juga tidak pernah mengajariku sopan santun, selain berteriak dan memaki. Berhentilah mendesakku untuk membaliknamakan rumah itu! Aku sudah berbaik hati membiarkan kalian menempatinya sampai sekarang, jadi jangan ngelunjak minta lebih!" tegas Sifa kukuh menolak memberikan rumah itu. Iqbal tampak geram mendengar ucapan ketus anaknya, tapi Sifa sama sekali tidak peduli. Setelah papanya gagal meminta jabatan manajer keuangan untuk diberikan pada anak tirinya, sekarang dia ganti target mengincar rumah itu. Setelah rumah entah apalagi yang ingin papanya ambil darinya. Sifa tidak bodoh, dia jelas tahu kalau ini semua adalah kemauan wanita tidak tahu malu itu. "Kamu boleh tidak suka pada Yasmine, tapi biar bagaimana pun Fiona tetap adikmu. Dia juga cucu keluarga Haidar dan berhak mendapatkan bagian dari warisan kakekmu," ucap Iqbal dengan suaranya yang mulai meninggi. "Biar aku ingatkan lagi kalau-kalau Papa lupa! Dia adalah cucu yang tidak pernah diinginkan dan tidak diakui di keluarga Haidar," balas Sifa telak membungkam papanya. Mendengar dia menyebut nama anaknya seketika jantung Sifa seperti diremas. Berani sekali papanya mengungkit tentang keberadaan bocah itu, apalagi ingin menuntut hak waris atas harta keluarga Haidar. "Papa masih punya muka membahas soal anak itu, apalagi meminta bagian harta warisan untuk dia. Lalu bagaimana dengan adikku yang terpaksa mati gara-gara kelakuan kalian?" ucapnya sengit. "Itu murni kecelakaan Fa, mana mungkin Papa sengaja mendorong mamamu yang sedang hamil sampai keguguran. Jangan melimpahkan kesalahan ini pada Fiona, itu sama sekali tidak adil karena dia juga tidak tahu apa-apa." terangnya mencoba membela diri dan anak kesayangannya. "Kalau bukan karena wanita selingkuhan Papa yang waktu itu sedang hamil Fiona datang ke rumah, mama juga tidak akan kehilangan bayi sekaligus rahimnya. Sebenarnya Papa masih punya hati tidak? Janin enam bulan yang mati itu juga darah daging Papa. Bagaimana bisa disaat mama sedang terpuruk Papa malah nekat menikahinya?" Mata Sifa memburam panas menatap papanya yang masih diam membisu. Dirinya adalah saksi hidup kejadian dua puluh tahun yang lalu itu. Bagaimana wanita itu dengan perut buncitnya datang ke rumah dan tanpa malu meminta ke mamanya supaya mengizinkan dia menikah dengan papanya. Sampai detik ini Sifa masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana mereka bertengkar dan saling jambak. Sampai kemudian papanya yang ingin melerai justru mendorong mamanya hingga jatuh dan keguguran. Sifa hanya bisa menangis menjerit melihat mamanya yang merintih kesakitan dengan darah yang terus mengalir di pahanya. "Sekar sudah hamil tua, Papa juga tidak punya pilihan lain selain menikahinya secepatnya." jelas Iqbal. "Itulah bukti betapa brengseknya Papa. Kurang sabar apa sebenarnya mama menghadapi kelakuan Papa selama ini? Dia bahkan sudah kehilangan anak sekaligus rahimnya. Apa masih belum cukup Papa menyakitinya?" Sifa menghela nafas kasar, tidak sedetikpun matanya beralih dari papanya yang seperti mulai terlihat jengah. Bagi papanya air matanya dan juga mamanya tidak pernah ada artinya. Dia tipe orang yang bahkan mungkin sampai mati pun tidak mau mengakui kesalahannya pada mereka. "Di saat kalian tertawa bahagia menyambut kelahiran Fiona, mama seperti orang gila mengurung diri di kamar dan menangis kesakitan. Sedang Papa tidak pernah pulang dan peduli lagi?" Tangan Sifa terkepal menahan amarah, sakit dan kecewa pada laki laki yang sialnya dipanggilnya papa itu. Dia tidak tahu apakah papanya masih layak disebut manusia. Bisa-bisanya setelah kejadian itu dia bersikap biasa saja seakan tidak merasa kehilangan, apalagi merasa bersalah. Yang lebih menyesakkan lagi, sang kakek menolak keras keinginan mamanya yang ingin bercerai dari papanya. Padahal sejak saat itu papanya sendiri sudah jarang pulang dan bersikap semakin keterlaluan. "Harusnya Papa sadar diri kenapa kakek sampai tidak memberikan sepeserpun warisannya. Aku penasaran, apa saat menatap Fiona tidak pernah terlintas sedikitpun di hati rasa bersalah pada anak Papa yang telah kehilangan kesempatan hidup karena ulah papanya sendiri? " "Sifa …" "Andai masih hidup adikku juga sepantaran Fiona, Pa. Andai tidak kehilangan rahimnya, mama masih bisa punya anak lagi. Bagaimana bisa Papa bertingkah seolah semua tidak pernah terjadi. Ingat! Karma itu ada, meski tidak datang saat itu juga." "Jangan kurang ajar menceramahiku! Anak bau kencur sepertimu tahu apa?" bentaknya keras. Sifa mengangguk mengerti sambil mengusap sisa air matanya. Kalau bukan karena dia masih sedikit menghargainya sebagai ayahnya, Sifa pasti sudah membuat mereka hidup jadi gelandangan di pinggir jalan. "Aku yang bau kencur ini sekarang lebih dari mampu menjungkir balikkan kehidupan kalian. Dulu kalau bukan melihat harta keluarga Haidar, Papa pikir dia mau jadi selingkuhan juga istri kedua Papa? Lihat saja sekarang dia seperti cacing kepanasan setelah tahu kakek ternyata mewariskan semua hartanya padaku!" Iqbal sudah mau memaki anaknya lagi saat tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Rendra kemudian muncul dengan membawa bungkusan plastik yang Sifa yakin berisi kotak makan siang. "Lho, Om Iqbal disini juga ya? Om sudah makan siang?" tanya Rendra sambil meletakkan bawaannya di atas meja depan mereka. "Belum, ini Om ada janji dengan Tirta Adiwangsa." sahut Iqbal dengan senyuman jengkelnya. Dia beranjak dari duduknya, tapi sebelum melangkah pergi masih sempat meninggalkan pesannya. "Papa harap kamu mau mempertimbangkan permintaan Papa tadi. Kakekmu pasti tidak akan keberatan kalau kamu sendiri yang memberikan rumah itu pada Papa." "Sampai kapanpun jawabanku akan tetap sama. Aku tidak akan memberikan rumah itu untuk Papa, apalagi Fiona. Daripada jatuh ke tangan wanita sialan itu, lebih baik aku sumbangkan ke panti asuhan. Anggap saja itu bagian yang seharusnya untuk adikku yang sudah Papa bunuh." "Mulutmu jangan asal bicara Sifa!" bentak Iqbal keras. Sifa tidak menggubris kemarahan papanya lagi, sedangkan Rendra hanya menggeleng sambil mengeluarkan dua kotak makanan bawaannya. Tahu sudah tidak digubris, Iqbal kemudian pergi begitu saja dengan meninggalkan suara keras pintu yang dia banting. "Belum menyerah juga Om Iqbal memintamu menyerahkan rumah itu?" tanya Rendra sambil meletakkan satu gelas jus di samping kotak makanan Sifa. "Dia tidak akan berhenti merecokiku sebelum mendapat apa yang diinginkannya," jawab Sifa malas. Rendra tertawa masam. Dia yang merupakan anak angkat keluarga Haidar jelas sangat tahu bagaimana seluk beluk keluarga itu. Saat umurnya lima belas tahun Rendra yang mendadak jadi yatim piatu diadopsi oleh Rianti. Kedua orang tua kandungnya yang merupakan sahabat karib mama Sifa meninggal dalam kecelakaan. "Kak Rendra pasti menyesal kan berada di keluarga toxic seperti ini?" tanya Sifa ke kakak angkatnya itu. "Tidak pernah sekalipun. Aku justru senang punya mama yang baik dan penyayang, juga adik kurang ajar sepertimu." jawabnya menyebalkan. Kemudian mereka hanya diam melanjutkan makan, Sifa hanya tersenyum saat Rendra memindahkan udang di kotak makanannya untuknya. Dia adalah orang yang selalu ada untuknya, satu satunya sandaran saat Sifa telah lelah berpura-pura bahagia di luar sana. Mamanya beruntung punya anak angkat sebaik Rendra, yang menemani kesendiriannya di rumah sebesar itu. "Fa …" "Hm …" "Nanti pulang sama aku buat makan malam bareng mama ya? Kamu sudah dua minggu lebih tidak menjenguknya," ucap Rendra setelah mereka menyelesaikan makan siangnya. "Pekerjaanku masih banyak, hari ini sepertinya aku harus lembur lagi. Nanti kalau sudah longgar aku pasti pulang kok," jelas Sifa. Sifa meringis mendapati mata Rendra yang biasanya selalu teduh itu sedang menatapnya kesal. Biarpun dia hanya kakak angkat, tapi Sifa selalu bersyukur memilikinya. Kalau bukan Rendra memang siapa lagi yang akan selalu ada disampingnya saat kesepian dan kesakitan. Rendra Akbar adalah sosok penyabar dan rendah hati. Jarang yang tahu statusnya sebagai lanak angkat keluarga Haidar. Dia sendiri yang ingin menyembunyikan identitasnya dan menolak menyandang nama Haidar, meski kakek Sifa sebenarnya tidak keberatan. Tidak seperti Rendra yang memanggil Rianti mama, dia justru terbiasa memanggil Iqbal dengan sebutan om. Mungkin karena hubungan mereka tidak sedekat itu. Lagipula apa artinya anak angkat bagi Iqbal, sedang Sifa saja yang jelas-jelas darah dagingnya sejak kecil sudah dia telantarkan. "Jangan menatapku seperti itu! Pekerjaanku benar-benar sedang menumpuk." ucap Sifa serius. "Ck, giliran untuk teman-temanmu saja kamu selalu punya waktu. Kenapa untuk mama ada saja alasanmu," protes Rendra kesal. "Karena aku tidak suka masuk ke rumah itu. Berada di sana membuatku seperti terkungkung dalam rasa sakit. Entah apa yang membuat mama bersikeras tinggal di sana dan terus tersiksa kenangannya yang menyedihkan itu." "Mama punya alasan tersendiri kenapa memilih bertahan disana Fa, meski dia juga tidak ingin. Kamu adalah yang paling berharga buat mama. Dia tidak butuh apa-apa selain keberadaanmu di sampingnya," ungkap Kak Rendra. Sifa menghela nafas kasar dan menghempaskan punggungku ke belakang. "Aku lelah, sangat lelah. Hidup seperti arus yang melawanku. Seberapapun aku berusaha menggapai, tidak ada yang bisa aku raih untuk sekedar memberi pegangan supaya tidak tenggelam." "Aku selalu ada, hanya saja kamu yang tidak pernah melihat ke arahku." ucap Rendra lirih. Sifa tertawa pelan mendengar ucapannya yang meski lirih tapi masih terdengar olehku itu. Iya, Kak Rendra memang selalu ada untuk aku dan mama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN