Keramahan Shelia

1476 Kata
"Apa-apaan ini, Pa? Kenapa memaksa begitu, aku ini bukan anak kecil lagi yang bisa diancam seperti itu." Shaga memprotes keinginan Papanya, tapi tidak dihiraukan tuan Surya. "Terus mau kamu apa? Sudah cukup kebebasan yang kamu berikan, hasilnya lihatlah sekarang. Kamu punya anak sebelum menikah, jadi untuk sekarang turuti mau kami. Atau anak itu akan kami bawa ke panti asuhan," ucap tuan Surya tegas. "Sudah terima saja, Bos. Sekalian jalani dulu, mungkin suatu saat akan tumbuh perasaan padanya. Kita tidak tau, kan. Lagipula saya juga bisa ada temannya untuk merawat Aura, jadi tidak merepotkan Anda lagi kalau Aura rewel." Aldara memberanikan diri memberi saran, karena Shaga terlihat bingung untuk mengambil keputusan. "Enak saja, aku ke sini itu untuk menikah dengan Shaga. Bukan bantuin kamu merawat bayi itu," ucap Sherly dalam hatinya. "Ya sudah, terserah kalian saja. Aldara, bawa kembali Aura ke kamarnya," titah Shaga. "Baik, Bos." "Ayo aku temenin buat jaga bayinya," ujar Sherly menawarkan diri untuk mencari perhatian. "Tidak usah Sherly, masih banyak waktu juga kamu di sini. Kita akan makan siang sebentar lagi, mbok Ira pasti sudah akan menyiapkannya." Nyonya Mary mencegah Sherly untuk ikut Aldara membuat Aldara langsung pamit dan kembali ke lantai atas. "Aku juga akan ke kamar, nikmati saja makan siangnya tidak usah menungguku." Shaga hendak beranjak, membuat Tuan Surya kembali kesal. "Kamu tau kan, kalau kami ini tamu di sini. Kecuali kami tinggal di sini, kami kemari saat masih lelah. Hanya untuk melihatmu, meskipun kenyataan yang kamu berikan mengecewakan. Tapi sekarang kamu ingin meninggalkan kami dial sini begitu saja," ucap tuan Surya kesal akan putranya itu. "Apalagi sih, Pa. Meskipun ibu rumahku, kalian tetaplah orang tuaku. Jangan merasa seperti orang asing hanya karena kesal padaku, aku butuh waktu sendirian. Kalian bisa ngobrol dengan Axel, pasti banyak yang ingin Papa tanyakan pada dia, kan? Karena aku tidak mau menjelaskan apapun lagi, jangan berlebihan begitu." "Sudah-sudah, sana kalau mau naik. Kami hanya akan di sini sampai selesai makan siang, karena rindu masakan mbok Ira. Jadi kamu harus ingat untuk bersikap baik pada Sherly," ucap nyonya Mary menengahi. "Terserah apa kata Mama saja, aku mau ke atas dulu." Shaga enggan panjang lebar lagi, dia pun beranjak untuk naik ke tangga. "Kak tunggu," ujar Shelia dan berlari mendekati kakaknya. "Aku boleh lihat bayinya?" tanya Shelia. "Silahkan, aku tidak melarang siapapun untuk mendekatinya. Asal tidak macam-macam dengannya," sindir Shaga karena masih bisa didengar orang tuanya. "Ya gaklah, emangnya aku mau ngapain anak kecil. Ya sudah, ayo kita ke atas!" ajak Shelia menggandeng lengan sang kakak. Sebagai adik, Shelia tidak perduli apapun yang dilakukan kakaknya. Apalagi dia lama tinggal di Jerman, sejak SMA sampai kuliah dia memutuskan untuk tinggal di sana. Karena dia enggan selalu dibawah perintah kedua orang tuanya, cara memberontak Shelia berbeda dengan Shaga yang lebih frontal. Shelia lebih suka berpura-pura menjadi anak baik dengan ingin menuntut ilmu di tempat terbaik. Padahal tujuan utamanya agar bisa lepas dari aturan kedua orang tuanya. "Bagaimana tinggal di Jerman? Apa kamu lebih senang di sana?" tanya Shaga saat mereka berjalan naik. "Sudah pasti itu, Kak. Kan Kakak sendiri tau alasanku memilih sekolah diluar negeri, kalau saja mereka tidak menjemputku dengan alasan ingin menghadiri acara wisuda. Sudah pasti aku tidak akan kembali ke sini, aku akan mencari pekerjaan di sana. Tapi papa terus memaksaku untuk pulang, jadi deh aku pulang ke sini." "Ya sebaiknya memang kamu pulang, suka atau tidak suka di sini. Kamu kerja saja di kantor, Kakak akan carikan jabatan yang bagus buatmu." "Tidak-tidak, aku tidak mau kerja diperusahaan. Aku mau membuka usaha sendiri di bidang fashion seperti jurusan kuliahku," sahut Shelia langsung menolak. "Ya sudah, nanti kita bicara lagi. Kakak akan bantu kamu kalau kamu butuh apa-apa, Kakak masuk kamar dulu ya. Itu kamar Aura," ucap Shaga. "Tunggu dulu, Kak. Ini pertanyaan terakhir, siapa ibu bayi itu. Apakah dia kekasih Kakak yang sudah putus?" tanya Shelia penasaran. "Bukan, dia dan Kakak tanpa sengaja melakukan one night stand. Dan ternyata dia hamil, tapi dia tidak pernah bilang soal itu. Bahkan kamu tidak pernah berhubungan setelah kejadian itu, sampai akhirnya dua Minggu lalu bayi itu diletakan begitu saja di depan gerbang. Dia meninggalkan bayi itu dengan alasan akan kerja ke luar negeri," tutur Shaga menjelaskan apa yang tejadi. "Oalah begitu ceritanya, Kakak ceroboh banget sampai dia bisa hamil. Harusnya Kakak siapkan pengaman, kalau susah begini kan yang kasihan bayinya." "Lah Kakak juga saat itu lagi mabuk berat, jadi tidak tau kalau tidak pakai pengaman. Sudah makin melantur aja kamu, sana masuk ke kamarnya." Shaga menghentikan obrolan dan melangkah ke arah kamarnya, sementara Shelia menuju kamar Aura. "Permisi, boleh aku masuk?" tanya Shelia setelah membuka pintu dan melongokkan kepalanya. "Eh silahkan, saya lagi ajak Aura ngobrol. Dia paling suka kalau diajak ngobrol, pasti merhatiin seperti orang yang udah ngerti." Aldara menjelaskan pada Shelia apa yang sedang dilakukannnya meskipun Shelia tidak bertanya. "Wah, anak pinter ini. Boleh aku gendong dia?" tanya Shelia. "Memangnya bisa?" tanya Aldara balik. "Bisa dong, saat di Jerman kalau aku beberapa kali kehabisan uang jatah bulanan. Nah terus aku kerja part time jagain bayi, ya meskipun yang aku jaga itu biasanya masih keluarga dari teman-teman sekolahku. Dulu saat masih SMA di sana, uang bulananku dibatasi. Karena papa dan mama sebenarnya tidak setuju kalau aku sekolah di sana, karena nekat aku tidak perduli meskipun harus mencoba berhemat." Shelia menjelaskan pada Aldara sambil mengambil Aura yang sedang berbaring. "Wah, kamu hebat banget. Padahal anak orang kaya, tapi karena nekat jadi siap melakukan apa saja. Aku pikir orang kaya pasti selalu enak hidupnya," ucap Aldara apa yang dia pikirkan. "Ya enak, selagi kita mau jadi boneka keluarga. Dan kebetulan aku sedikit pembangkang anaknya. Makanya sering dikasih pelajaran sama papa," sahut Shelia. "Ternyata kamu dan kakakmu mirip ya, sama-sama suka membantah orang tua. Hehehe," kekeh Aldara mencandai Shelia. "Andai kamu tau bagaimana orang tuaku, pasti kamu gak akan mikir kalau itu membantah. Mereka itu tipe orang tua yang maunya dituruti terus menerus," jelas Shelia. "Hehehe, iya juga ya." Aldara terkekeh untuk menutupi rasa tidak enaknya mendengar jawaban Shelia. "Siapa nama bayi ini?" tanya Shelia mengalihkan pembicaraan. "Aura, tapi saya gak tau nama lengkapnya." "Oh Aura ya, kamu cantik banget sih. Mirip banget sama kakakku, tidak bisa dipungkiri kalau ini anak kakak. Kamu sejak kapan mengurus Aura?" tanya Shelia lagi mencoba mengakrabkan diri. "Dari hari pertam dia di sini, kan malamnya dia ditemukan. Nah besoknya aku diminta merawat bayi ini, meskipun awalnya di paksa. Tapi akhirnya aku menikmati merawat Aura," jelas Aldara. "Jadi kamu di paksa gitu buat merawat bayi ini? Memangnya kakak tidak cari baby sitter dari yayasan, terus dulu kamu kerja di perusahaan kakak?" "Katanya sih, karena saat itu bos tidak bisa mendapatkan baby sitter dengan cepat. Jadinya maksa aku buat mengurus bayi ini, karena aku karyawan di perusahaan bos. Jadi aku terima saja, karena diancam mau dipecat. Dari pada harus jadi pengangguran," jawab Aldara. "Yang sabar ya menghadapi kakakku, karena dia emang gitu orangnya. Tapi sebenarnya dia baik kok, aku pun dekat dengan kakak. Meskipun kami tinggal berjauhan, dia diam-diam sering mengunjungiku. Aku juga sering meneleponnya buat curhat," ucap Shelia. Keduanya terus mengobrol akrab, Shelia memang mudah berinteraksi meskipun dengan orang yang baru dikenalnya. Sementara itu, di lantai bawah Axel menjadi sasaran untuk menjelaskan semua yang terjadi. Terutama tentang Aura dan Clara, Axel menjelaskan semuanya tanpa menutupi. "Jadi perempuan itu benar-benar tidak meminta apapun dari Shaga? Bahkan saat dia memberikan bayi itu?" tanya nyonya Mary penasaran. "Benar, Nyonya besar. Dia juga tidak menemui tuan secara langsung, hanya meninggalkan selembar surat untuk tuan Shaga." "Hem, siapa perempuan itu yang sudah memberikan tanggung jawab pada anakku. Padahal dia juga bersalah di sini, andai dia memberitahu sejak awal. Pastinya Shaga bisa waspada dengan memintanya menggugurkan bayi itu, eh setelah memutuskan melahirkannya. Malah seenaknya ditinggal di sini," sungut nyonya Mary kesal. "Belum tentu juga tuan Shaga melakukan itu, Nyonya besar. Tuan memang terlihat cuek dan bersikap dingin, tapi hatinya tidak akan setega itu untuk meminta menggugurkan kandungan. Begitulah tuan Shaga yang saya kenal," jawab Axel. "Jadi menurutmu kami tidak baik, karena sempat meminta mengugurkan bayi itu sebelum kami tau jika bayinya ternyata sudah lahir?" "Bukan begitu, Nyonya besar." Axel sedikit kebingungan menanggapi ucapan nyonya Mary. "Sudah, Ma. Tidak usah lagi bahas bayi itu, terus bagaimana dengan perusahaan?" tanya tuan Surya mengalihkan pembicaraan. "Baik, Tuan besar. Tuan muda membuat perusahaan semakin maju, beliau bekerja dengan sungguh-sungguh. Jadi tidak usah khawatir tentang perusahaan, Tuan besar. Tuan Shaga bekerja dengan sungguh-sungguh untuk membuat perusahaan ini semakin maju," jelas Axel. "Baguslah kalau begitu, setidaknya dia tidak terlalu mengecewakan. Kamu terus awasi dia, jangan sampai membuat perusahaan bermasalah." "Baik, Tuan besar." "Ayo Sherly kita makan siang dulu!" ajak nyonya Mary setelah mbok Ira mengabari jika makan siang sudah siap. "Baik, Tante." Mereka pun meninggalkan ruang makan, karena nyonya Mary sudah merindukan masakan mbok Ira. Karena memang dulu mbok Ira bekerja di rumahnya, karena Shaga memutuskan pisah rumah. Nyonya Mary mengalah memberikan mbok Ira, karena Shaga yang memintanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN