Selama jam pelajaran berlangsung para siswa dilarang membuka ponselnya, tapi Dhifa sering bandel. Ia sengaja iseng mengecek benda canggih miliknya untuk segera refresh usai mengerjakan soal fisika yang membuatnya mumet. Kepalanya hampir meledak. Ia menyesal dengan keputusannya dulu yang malah mengambil jurusan IPA. Itu semua karena Alwi dan kembarannya yang masuk IPA, dia hanya ikut-ikutan.
Pesan pertama yang dibukanya adalah pesan dari Alwi. Apapun tentangnya selalu menjadi prioritas utama.
"My Lopelope, sebaiknya kita off dulu ketemuan."
Tiba-tiba saja melalui pesan yang ditulisnya, Alwi memberikan pernyataan yang membuat Dhifa terkejut. Gadis cantik itu masih belum paham dengan pengertian"off" tanpa angin tanpa hujan mengapa tiba-tiba Alwi mengirim pesan yang dianggapnya tak pantas untuk dikirim kepadanya.
"Maksudnya apa?"balasnya.
Dhifa mengira Alwi ingin putus darinya usai panggilan dari BP dan ultimatum yang diberikan Papa Dany agar keduanya putus hubungan. Ini benar-benar tak masuk diakal, hanya karena masalah kecil seperti itu, Alwi memilih mundur. Bukankah selama ini keduanya selalu berusaha menjaga hubungannya walaupun badai datang menerpa. Berulang kali masalah datang, bahkan isu orang ketiga pernah mengganggu mereka namun semua bisa dihadapi dan kembali baik-baik saja.
Tak ada jawaban dari Alwi atas pertanyaannya. Dhifa tak sabaran.
"Kamu kenapa? terus mau kemana tergesa-gesa?" Nayla berbisik, tampak heran dengan sikap Dhifa. Akhir-akhir ini teman sebangkunya sedikit aneh. Sering marah tak jelas. Tak jarang Nayla menjadi korbannya. Menjadi sasaran kekesalannya.
"Nanti juga tahu. Bentar ya, aku mau ke kelas Alwi dulu." Dhifa belum membocorkan apapun. Ia ingin bicara serius dengan Alwi untuk mengevaluasi hubungan mereka yang berjalan dua tahun lebih.
"Kamu aneh banget," gumam Nayla yang masih bisa didengar oleh Dhifa.
Dua menit kemudian ia izin ke toilet.
Gadis cantik itu segera bergegas meninggalkan kelasnya untuk menuju kelas Alwi yang terletak di seberang kelasnya. Ia butuh penjelasan yang rinci dari kekasih tercintanya. Ia tak rela jika hubungan mereka berakhir begitu saja, padahal banyak rencana masa depan yang telah disusun oleh keduanya.
"Alwi...ada yayang!" Terdengar suara teriakan dari salah satu teman Alwi yang melihat Dhifa berdiam di ambang pintu. Pacar Alwi itu terbiasa keluar masuk kelas untuk menyambanginya. Dua sejoli itu menjadi pusat perhatian seluruh warga di sekolahnya tak terkecuali guru-guru. Semua pasti menggodanya, tak jarang ada yang mengolok-olok lantaran menganggap Dhifa kurang cocok dengan Alwi. Dhifa terlalu cantik untuk pemuda kutu buku itu. Dhifa tak peduli apa kata teman-temannya.
Suasana kelas Alwi tampak riuh karena guru yang mengajarnya sedang absen. Pemandangan yang biasa terjadi jika tak ada guru. Meskipun kelas favorit tetap saja ribut.
Dhifa bertahan diam di luar, tak biasanya tak masuk ke dalam. Ia tampak cemberut dan memasang tampang judesnya.
"My Lopelope ada apa?" Alwi kaget karena sekarang masih jam belajar dan kekasihnya itu sudah menemuinya. Lagipula, bukankah tadi ia mengirim pesan agar tak usah bertemu untuk sementara waktu.
"Maksud isi pesan kamu barusan itu apa?" Dhifa menatap tajam Alwi, matanya mulai berembun. Ia bertanya dengan nada marah dan kecewa. Alwi kebingungan dan mencoba berusaha merangkai kata yang tepat agar Dhifa tak salah paham.
Pemuda berkaca mata itu menarik lengan Dhifa mengajaknya masuk.
"Masuk dulu, yuk!" Ia mencoba bersikap tenang.
Mereka kini berada di bangku pojok paling belakang. Dhira, saudari kembarnya yang berada di kelas itu, dari jauh melayangkan tatapan penuh selidik sebab sang kakak tampak cemberut. Siswa lainnya tak peduli dengan urusan pasangan itu.
"Kamu mutusin aku?" Dhifa langsung bertanya lagi padahal pertanyaan pertama belum terjawab. Gadis itu mulai diliputi perasaan sedih dan galau. Khawatir jika ketakutannya menjadi kenyataan. Tidak! Ia tak rela.
"Bukan putus tapi break, kita harus bisa lolos dari omelan orang tua kita. Makanya baik di sekolah atau di luar kita off ketemuan. Kalau kita mau nge date sebaiknya online saja " Alwi mengklarifikasi. Ia tak ingin Dhifa mengsalah artikan kata "off". Bagi pemuda tampan itu Dhifa adalah Dewi cintanya, calon bidadari surganya dan calon istri di masa depannya. Tak ada gadis lain yang bisa menaklukkan hatinya kecuali cucu Hadiwijaya yang cantik jelita.
"Aku hanya ingin menghindari tuduhan yang bukan-bukan dari pihak keluarga kita. Menjadi pasangan populer itu ternyata banyak disorot. Kasus sekecil apapun selalu dibesar-besarkan." Alwi telah merencanakan semua ini dengan matang dan penuh perhitungan. Ini semua demi masa depan mereka berdua.
"Maksudnya mau mengelabui mama dan papa kita?" Dhifa mulai dapat memahami arah pembicaraan.
"Iya, benar." Alwi mengangguk pertanda ya.
Mereka pura-pura mau putus. Mendengar itu Dhifa bernafas lega. Kekhawatirannya tak terjadi.
"Jangan sedih lagi, kita masih tetap pacaran kok." Alwi menegaskan status keduanya.
***
Seminggu sudah Dhifa dan Alwi tak pernah berduaan. Bertemu di sekolah pun keduanya tak sedekat biasa, hanya say hello dan basa-basi saja. Tak ada makan bersama di bawah pohon rindang depan lapangan basket atau pun makan bersama di kantin.
Meski keduanya telah memutuskan untuk break sesaat, namun komunikasi mereka tetap berjalan lancar melalui telepon. Di sekolah pun kedua insan itu seolah sedang bermusuhan.
"Kamu dan Alwi putus?" Nayla sahabatnya bertanya.
Akhirnya timbul gonjang,-ganjing tak jelas terkait hubungan asmara Dhifa dan Alwi.
"Siapa yang bilang?" Dhifa tak menyangka akan ada isu seperti ini. Semua temannya sangat perhatian sekali.
"Tak ada. Cuma pengamatanku saja." Nayla benar-benar ingin tahu.
"Hanya saja aku heran kalau akhir-akhir ini kamu jarang bareng Alwi." Ia mengungkapkan rasa penasarannya.
"Jadi benar ya?" Nayla, sahabatnya mulai mempertanyakan kebenaran gosip yang sedang hangat.
Dhifa hanya tersenyum. Biarlah orang lain memberikan penilaian apapun.
"Kamu nyebelin banget. Kalau kamu putus sama Alwi orang pertama yang akan nembak kami itu si Tomy." Bisik Nayla. Ia tahu persis bagaimana perasaan hati calon saudara tirinya itu.
Mendengar nama Tomy di sebut, Dhifa mendadak mual.
"Ogah banget sama dia."
***
Dhifa merasa bahagia karena tak pernah lagi mendapatkan omelan dari Papanya. Ia selalu pulang tepat waktu.
"Kakak beneran putus?" Giliran Dhira yang mempertanyakan hubungannya dengan Alwi.
Mereka berada di teras belakang sambil memberi makan kelinci milik Nizam.
"Kamu juga ikut-ikutan penasaran ya." Dhifa tersenyum misterius. Aktingnya berhasil.
"Aneh saja biasanya kalian bareng terus." Dhira memberikan komentar yang serupa dengan Nayla kemarin.
"Kita ga putus cuma sedang jaga jarak aja, apalagi sebentar lagi ujian kenaikan kelas jadi kita mau fokus belajar. Aku juga ga mau diomelin papa terus gara-gara pacaran." Dhifa memberikan alasan.
"Oh, aku pikir kalian tuh beneran putus, ternyata bohongan ya." Dhira terkekeh. Ia telah tertipu oleh sang kakak.
"Tapi jangan bilang siapa-siapa ya." bisik Dhifa khawatir didengar oleh sang Papa.
"Alhamdulillah kalau kalian jarang ketemuan, lagipula pacaran itu ga baik, Kak. Bisa mendekatkan diri pada zina. Ngeri juga lihat berita TV banyak ABG yang hamil di luar nikah." Dhira yang pembawaannya kalem dengan penampilan tertutupnya sangat menjaga pergaulan dengan lawan jenis. Meskipun ia sedang jatuh cinta pada seseorang ia selalu berusaha untuk menguatkan hati agar bisa menjaga hatinya.
"Kamu nuduh kakak pacaran lewat batas? Aku sama Alwi cuma ngobrol biasa saja, diskusi atau belajar bareng. Kami juga tak pernah berbuat jauh." Dhifa membela diri. Sejauh ini hubungan mereka tak pernah kebablasan. Dhifa masih memiliki keimanan yang kuat, apalagi bayang-bayang sang Papa selalu mengikuti setiap saat kemana pun kakinya melangkah.
"Syukurlah, aku senang kalau kalian baik-baik saja." Sebagai saudara perempuan Dhira tak ingin terjadi hal buruk menimpa kembarannya.
"Kamu doain kami dong agar lulus SMA nanti kami bisa nikah dan mendapatkan restu dari orang tua." Dhifa memberikan cengirannya. Gadis itu lantas meraih permen lollipopnya untuk menghilangkan ketegangan. Rencana nikah muda selalu ada dalam kepalanya.
Dhifa beruntung memiliki saudara perempuan yang baik dan selalu bisa diajak kerjasama, curhat-curhatan dan saling memberi motivasi. Boleh dibilang mereka jarang bertengkar. Dhira selalu mengalah begitu pun Dhifa sangat menyayangi adiknya yang tak pernah membuat masalah.
"Menikah?!" pekik gadis berjilbab pink itu.
Dhira tak menyangka jika kakak kembarnya itu sudah berpikiran sejauh itu.
"Iya, nikah muda seperti Kak Tasya dan Kak Erik." Dhifa menegaskan. Boleh dibilang mereka adalah figur yang bisa dijadikan contoh.
Dhira tak habis pikir dengan rencana Dhifa.
"Memangnya kakak sudah siap?" Dhira tak yakin. Menikah bukan perkara mudah.
"Insyaallah siap lahir batin." Dhifa menjawab mantap.
"Tapi Papa ga setuju," keluhnya.
"Nikah muda itu penuh resiko, Kak." Dhira mengungkapkan pendapatnya. Dhira menilai bahwa Dhifa belum layak menikah. Mengurus dirinya sendiri saja tak mampu.
"Daripada kita terjerumus dalam pergaulan bebas, mending nikah." Dhifa berargumen lagi.
"Benar juga." Dhifa sepakat jika itu alasannya.
"Makanya kasih kakak dukungan dong. Soal finansial sih kita bisa hidup seadanya, lagian uang kakak cukup kok untuk kita berdua." Dhifa tetap pada keyakinannya.
"Berarti kakak sudah siap punya anak ya. Wah bisa kaya kak Tasya dong nanti anaknya banyak. Mama sama Papa cucunya makin banyak." Dhira menahan tawanya membayangkan akan memiliki keponakan dengan jumlah lima atau enam lagi.
Dhifa cemberut.
***
Bersambung