Empatbelas

1098 Kata
Dhifa dan Dhira telah berdandan rapi dan cantik mengenakan kebaya warna baby pink. Mereka akan mengikuti kegiatan pelepasan siswa-siswi kelas XII di sekolahnya. Sejak subuh mereka didandani oleh penata rias yang merupakan langganan Mama Heni, karena sang Mama juga harus dandan makanya mereka memanggil ahlinya. Mama Heni dan Papa Dany pun telah rapi dan siap mengantar keduanya untuk mendampingi mereka. Hari ini merupakan hari paling penting dalam hidup di kembar. Mereka telah menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atasnya. Di usia ini juga mereka beranjak dewasa dan akan memulai kehidupan baru sebagai mahasiswi. "Oma udah ada di sekolah." Dhifa memberikan kabar perihal neneknya. Oma Ratih Hadiwijaya tak pernah absen dalam acara penting di sekolahnya terlebih ia merupakan sahabat karib dari pemilik yayasan sekaligus donatur tetap. "Ya Allah, Oma kepagian kayanya." Mama Heni menahan tawanya. Sebagai tamu undangan khusus biasanya bisa santai, namun Oma Ratih selalu tanginas "Namanya juga Oma selalu terdepan. Apa-apa maunya yang pertama." Dhifa berujar seraya meraih tas nya. "Ayo kita berangkat sekarang." Papa Dany tak ingin terlambat. Keluarga bahagia itu pun segera menuju mobil mereka yang terparkir di halaman rumah. Tak ada Nizam bersama mereka sebab adik bungsu Dhifa itu sedang pergi ke Bandung bersama pamannya, Om Diki. Tiba di sekolah suasana tampak ramai. Parkiran dipenuhi oleh kendaraan, Papa Dany terpaksa memarkir mobil mewahnya di pinggir jalan dekat dengan pintu gerbang masuk. Ternyata para siswa berlomba-lomba datang lebih awal. Acara dilaksanakan di lapangan sekolah yang disulap menjadi megah dan mewah tak kalah dengan ball room sebuah hotel mewah. Dekorasinya sangat indah dan menawan. Para panitia dan guru-guru menyambut kedatangan mereka dengan senyuman manis. Dhifa dan Dhira segera bergabung dengan teman-temannya yang telah mengenakan pakaian formal mereka. Mama dan Papanya pun berada di kursi khusus wali murid bergabung bersama orang tua lainnya. Sementara Oma Ratih berada di barisan paling depan bersama para tamu undangan istimewa. Dhifa dan Dhira tak sempat bertemu dengannya. Keduanya hanya bisa melihat dari jauh. Ngomong-ngomong sang Oma datang tanpa didampingi Opa Yusuf. Rangkaian acara satu demi satu dilalui, pada kesempatan kali ini semua juara diumumkan. Seperti biasa Dhira selalu menjadi yang terbaik di belakang Alwi. Mereka yang berprestasi mendapatkan penghargaan khusus. Meskipun Dhifa tak mendapat panggilan namun ia ikut bangga pada prestasi adik dan kekasihnya. Ia turut gembira. Satu demi satu acara dilewati dengan cepat, hingga pembagian ijazah dan medali, akhirnya rangkaian acara usai sudah. Usai saling bersalaman, siswa siswi tak lupa berfoto bersama mengabadikan momen spesial itu. "Selamat ya sayang," Mama Heni memberikan bunga untuk kedua putri cantiknya sebagai hadiah kelulusannya. "Selamat ya kamu meraih prestasi yang mengesankan." Papa Dany mencium Dhira lalu Dhifa. "Terimakasih Ma, Pa!" Dhira tersenyum cerah. Trophy yang ia raih dipersembahkan sebagai hadiah ulang tahun Papa Dany yang jatuh bulan ini. "Selamat ya Dhira. Kamu cucu Oma yang paling hebat." Tiba-tiba datang Oma Ratih diikuti beberapa rekannya. "Terimakasih Oma." Dhira pun menerima pelukan hangat dari neneknya. Semua keluarga bangga pada gadis berjilbab itu yang tak pernah absen memberikan piala dan medali sejak masih duduk di bangku TK hingga sekarang. Menyaksikan pemandangan itu terkadang Dhifa merasa iri. Ia tak pernah menduduki posisi tiga besar selama duduk di bangku sekolah. Sepuluh besar adalah prestasi yang bisa dibilang sangat baik. "Dhifa kamu kenapa?" Oma Ratih menyadari perubahan sikap Dhifa yang terlihat sedih. "Ga apa-apa, Oma." Dhifa berusaha tersenyum. Memiliki kembaran itu tak selamanya enak, ia selalu menjadi bayang-bayang adiknya. Keluarganya selalu membandingkan mereka dan jujur saja Dhifa tak suka. "Oma juga bangga sama kamu." Oma Ratih pun memeluk Dhifa. Mama Heni tersenyum, ia yakin jika Dhifa tengah cemburu. "Semoga kalian selalu berprestasi di segala bidang. Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya." Oma Ratih memberikan nasihat. "Papa sama Mama beruntung memiliki anak-anak seperti kalian. Dhifa tak bisa meraih prestasi akademik bukan berarti tak berhasil. Kamu hebat di bidang lainnya. Kami semua bangga." Papa Dany mencoba menghibur putrinya. Dhifa memiliki bakat di bidang lain dan itu sudah terbukti dengan prestasi modelling yang sering diraihnya. Di usianya yang masih muda ia juga sudah bisa menghasilkan uang sendiri melalui media sosial. Dhifa terkenal sebagai selebgram. *** Hari ini Dhifa telah membuat janji temu dengan Alwi. Usai perpisahan kemarin keduanya hanya bertemu sebentar. "Maaf ya, aku terlambat." Dhifa merasa bersalah karena terlambat datang ke cafe tempat ia janjian dengan Alwi. "Tidak apa-apa." Alwi tersenyum, ia berdiri menarik kursi untuk pujaan hatinya. "Untuk kamu, My Lopelope." Ia menyerahkan sekuntum bunga mawar merah yang khusus dipetik dari rumahnya dan dibungkus sendiri. " Terimakasih." Dhifa menerima dengan senang hati. "Mau pesan apa?" Dhifa menanyakan menu yang diinginkan Alwi. "Minum saja, aku sudah kenyang." Alwi sedang tak ingin makan apapun. "Baiklah kita samakan saja pesanannya," seru Dhifa yang langsung memesan coklat panas kesukaan mereka dengan rainbow cake "Sebelumnya aku mau minta maaf." Alwi menjeda kalimatnya. "Bukankah aku yang seharusnya minta maaf sama kamu karena membuatmu menunggu lama." Dhifa tak paham dengan maksud Alwi, selama ini ia tak pernah membuat masalah dengan Dhifa "Maaf selama ini aku tak jujur kepada kamu. Aku akan melanjutkan kuliah ke Jepang." Alwi akhirnya mengungkapkan niatnya. Sebenarnya beberapa waktu yang lalu ia ingin membicarakannya dengan Dhifa namun masih ragu. "Apa?" Dhifa kaget. Alwi kuliah di Jepang berarti mereka akan berjauhan. "Aku berhasil mendapatkan beasiswa dan harus mengambilnya." Alwi berkata dengan perasaan sedih. "Kenapa kamu tak pernah bilang?" Dhifa tak pernah tahu sebab Alwi tak pernah menyinggungnya. "Maaf, saat itu aku masih ragu." Alwi merasa bersalah. "Lalu bagaimana dengan hubungan kita?" Dhifa tak sanggup membayangkan harus LDRan, padahal ia telah merencanakan untuk bisa satu kampus dengan Alwi. pa kabar juga rencana nikah muda mereka yang ditunda menunggu lulus kuliah. "Aku ingin konsentrasi belajar, makanya sebaiknya hubungan ini kita akhiri sampai di sini. Kamu juga harus konsentrasi belajar." Alwi mengucapkan kalimat yang bagi Dhifa adalah haram hukumnya. "Kita putus?" tanya Dhifa memberikan kesimpulan. "Iya, mulai sekarang kita tak terikat lagi. Tapi kita masih berteman. Aku janji akan menjadi teman yang baik untukmu. Kita masih bisa saling curhat dan berbagi cerita." Alwi memberikan penegasan tentang status keduanya. "Kenapa kamu tega, Mein Lieblieb." Dhifa tak terima. Tiba-tiba saja air matanya meleleh begitu saja. Ia tak pernah bermimpi akan mengakhiri hubungan yang dijalin sejak lama. "Apa ini gara-gara Papa?" Dhifa kembali teringat kejadian seminggu lalu saat Papa Dany menghajarnya. Alwi menggeleng. "Itu bukan masalah besar, My Lopelope. Aku hanya ingin konsentrasi dan tak ingin mengikatmu di saat kita tengah berjauhan." Alwi memberikan penjelasan. "Aku cinta kamu, sangat cinta kamu. Jika kita berjodoh pasti akan bertemu lagi dan aku janji akan datang menemui kamu jika waktunya telah tiba." Alwi menatap kekasihnya. Semua ucapan yang dilontarkannya itu tulus dari hati terdalamnya. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN