Sembilan

1618 Kata
Bu Anja bersiap memberikan sambutan sekaligus pengarahan kepada siswa siswi yang mengikuti kegiatan. Mereka semua duduk tertib di atas rumput hijau, mengelilingi Bu Anja yang duduk di kursi plastik. Tak ada satu pun di antara mereka yang berani bersuara. Bisikan sekecil apa pun akan terdengar olehnya. Selain Bu Anja ada juga Pak Soleh, Bu Farah dan suaminya, Pak Fadil. Seorang satpam sekolah pun diikut sertakan untuk membantu pengamanan. Para orang tua dan wali murid tidak perlu khawatir karena kegiatan ini dihadiri oleh guru mereka dan dijamin aman. "Anak-anak sekalian, Ibu ucapan banyak terima kasih karena kalian sudah mengundang ibu dalam acara ini. Sebagai perayaan kelulusan kita jadikan hari ini sebagai ucapan syukur kepada Allah, ibu harap setelah ini kalian bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi untuk menggapai semua cita-cita kalian. Ibu atas nama pribadi dan juga pihak sekolah mengucapkan permohonan maaf jika selama ini ada salah kepada kalian. Semoga acara hari ini hingga besok berjalan lancar dan ibu minta tak ada pelanggaran terjadi di sini, hindari rokok, alkohol dan n*****a. " wanita bertubuh gemuk itu memberikan sambutan sekaligus peringatan. "Pokoknya kalian harus menjaga diri dengan baik. Bagi yang terlibat hubungan asmara, tolong jaga jarak." Pandangan Bu Anja langsung tertuju ke arah Dhifa. Ia tak ingin ada hal buruk terjadi yang akan mencemarkan nama baik sekolah. Dhifa kesal bukan main, gara-gara Bu Anja semua mata jadi tertuju ke arahnya. Bukan dirinya saja yang punya pacar yang lain juga ada yang pacaran dengan teman sekelasnya. "Tuh, kan selalu saja aku yang jadi sample." Dhifa berbisik kepada Nayla. Nayla hanya memberikan cengirannya. "Itu artinya kamu murid kesayangannya." Nayla tersenyum. "Murid kesayangannya kan Dhira bukan aku." Dhifa memasang tampang masam. Sorak sorai pun bergemuruh. Muka Dhifa yang putih berubah bak kepiting rebus. Dhifa benar-benar malu. Alwi yang duduk jauh dari Dhifa pun merasakan hal yang sama. "Nyebelin banget," gumamnya. "Stop...stop!!Kalian jangan ribut, tolong jaga sikap dan perilaku selama berada di sini. Jangan lupa perhatikan kesehatan dan keamanan. Saling ingatkan temannya." Suara Bu Anja langsung membungkam mereka. Suasana kembali hening Tak akan ada yang berani membantah. Usulan melibatkan Bu Anja memang pilihan yang tepat. Wakasek kesiswaan itu memang guru yang luar biasa. Kemampuan menertibkan siswa-siswi patut mendapatkan apresiasi. "Sekarang ibu serahkan semua kegiatan kepada Tomy dan Nayla selaku tuan rumah. Ibu hanya memantau saja." Bu Anja melirik ke arah Tomy yang ada di dekatnya. Ia berdiri lalu mundur ke belakang. "Terimakasih, Bu Anja. Untuk sementara kita bersantai dulu sambil menyimpan barang-barang kalian. Untuk anak laki-laki ikut saya dan perempuan ikut Nayla. Bagi yang belum sarapan silahkan nikmati hidangan yang tersaji sambil menunggu makan siang kita." Tomy langsung menempatkan mereka, sebab banyak koper dan ransel masih berserakan. Ia berusaha menjadi tuan rumah yang baik dengan memberikan pelayanan terbaik. Kebetulan ada dua villa yang digunakan sehingga siswa putra dan putri dipisahkan. Ini sudah menjadi kesepakatan bersama. Kamar yang tersedia juga cukup untuk menampung mereka semua. Mereka ke tempat ini untuk menghibur diri, menikmati pemandangan, berolahraga, berenang atau pun bermain. Dhifa, Dhira dan Nayla kebetulan memilih satu kamar. Di villa milik eyangnya ada tujuh kamar yang bisa digunakan. "Aku mau bongkar dulu barang-barang," seru Dhifa. Ia langsung mengeluarkan sebagian isi kopernya pun Dhira dan Nayla. "Kamu ga bisa mojok sama si Lieblieb." Nayla menggoda sahabatnya. "Bisa lah, nanti kita curi-curi waktu." Dhifa tak habis akal. Masa ia tak akan bisa berkomunikasi dengan pacarnya. "Awas aja kalau Kakak berbuat yang aneh-aneh. Aku laporin Papa." Dhira menatap kakak kembarnya. Memiliki pacar itu penuh resiko. "Aku sama Alwi cuma ngobrol bareng aja." Dhifa tak pernah berbuat hal yang lebih jauh. Ia tahu batasannya. "Yuk ah, kita ke bawah bantu si bibi penjaga villa siapkan makan siang." Nayla segera berdiri usai merapikan barang-barangnya. Masih banyak acara yang harus dipersiapkan. Usai makan siang mereka berkumpul membuat berbagai permainan dan perlombaan. Acara berlangsung cukup seru. Mereka seperti anak pesantren saja karena antara murid laki-laki dan perempuan dipisahkan. *** Selepas sholat Isya berjamaah siswa siswi SMA Pelangi itu kembali berkumpul dengan santai. Mereka berada di halaman belakang villa yang ditempati anak laki-laki, villa milik ayahnya Tomy. Acara inti yang dinanti pun akan segera dimulai. Anak-anak menyiapkan pembakaran untuk acara barbeque. Kali ini mereka baru disatukan. "Mein Lieblieb, ini makanan buat kamu." Dhifa menyerahkan kantong berisi sejumlah makanan. "Terimakasih, my Lopelope." Alwi menerimanya dengan senang hati. Keduanya harus terpisah sehingga jarang komunikasi. "Eh, kalian malah berduaan pacaran di sini, Alwi ayo bantu anak cowok beberes!" Tomy memergoki mereka berdua, langsung memasang tampang tak bersahabatnya. Alwi segera berlalu untuk bergabung bersama yang lainnya. Ia tak ingin kena masalah. Ada kepuasan tersendiri pada diri pemuda berkulit putih itu saat bisa memisahkannya dari Dhifa. "Kamu kalau ngomong jangan sembarangan! Dikit-dikit nuduh. Aku sama Alwi cuma ngobrol bentar." Dhifa mendelik sebal. Tomy terlalu ikut campur urusannya. "Aku khawatir saja terjadi sesuatu apalagi aku kan tuan rumah jadi harus menjaga agar tak terjadi sesuatu. Kalau ada apa-apa, aku kan yang harus tanggung jawab." Tomy selalu saja menyebalkan, pandai membuat alasan. "Sudah sana, kamu balik ke villa cowok!" Dhifa mengusir Tomy. Tomy pun menurut. "Ok, kamu juga ke sana ya!" Tomy mengingatkan. Semua anak kini berkumpul dan sibuk menyiapkan semuanya. Sejumlah makanan sudah tersedia di meja yang diatur oleh anak perempuan. Mereka pun menikmati sajiannya sambil mendengarkan musik dari band kelas mereka. Anak-anak yang pandai bermain musik sengaja menjadi penghibur mereka, beberapa siswi menyumbangkan lagu. Acara berlangsung tertib hingga tengah malam. Layaknya acara Pramuka ada api unggun dan kembang api yang menjadi salah satu pelengkap. *** Betapa dinginnya udara puncak pagi ini, Dhifa sampai malas pergi ke kamar mandi. "Kak, bangun sholat dulu!" Dhira yang religi seolah bertindak sebagai seksi rohani, dialah yang membangunnya teman-temannya saat adzan berkumandang. "Dingin, Dek" Dhifa malah menarik selimutnya lagi. Dhifa yang memakai sweater, kaos kaki plus kerudung milik Dhifa tak bisa menahan hawa dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulangnya. Udara di tempat itu berbeda jauh dengan di Jakarta. Pukul tujuh usai sarapan, sebagian ada yang jalan-jalan di sekitar villa untuk menunggang kuda, ada juga yang berjalan kaki dan bersepeda untuk menikmati pemandangan di sekitarnya. Mereka tampak gembira dan menikmati acaranya. Dhifa mendapatkan kejutan saat berjalan bersama Nayla dan Dhira. Ia melihat Mama dan Papanya datang dengan mengendarai sepeda. "Hai, Sayang!" Papa Dany langsung mengerem kendaraan yang ditumpangi olehnya. "Mama sama Papa ngapain ke sini?" Dhifa merasa heran. Bukankah keduanya sudah pulang kemarin. Anehnya kenapa masih di kawasan itu. Ketiga gadis itu lantas menyalami orang tua si kembar Dhifa dan Dhira. Pasangan suami istri itu terlihat kompak mengenakan setelan olahraga. "Kami lagi jalan-jalan." Papa Dany menjawab sambil memberikan senyuman termanisnya. Meskipun sudah berusia kepala empat ia masih terlihat muda, tak akan ada yang menyangka jika anak-anaknya sudah besar, pria tampan itu bahkan sudah punya enam cucu. "Jadi, kalian tidak pulang?" Dhifa tak tahu rencana mereka. "Kami menginap di villa. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu berdua. Sekalian saja biar nanti pulangnya kita bareng." Mama Heni menjawab sambil mengamati pemandangan sekitaran villa milik keluarga Nayla yang cukup banyak berubah. Menurut Dhifa jawaban Mama Heni kurang tepat. Bohong kalau Mama dan papanya tak pernah liburan berdua. Dalam sebulan mereka sering pergi tanpa anak-anaknya. Entah pergi ke luar kota atau luar negeri, bahkan tak jarang sengaja booking hotel. "Mama ingin memastikan kalau kalian baik-baik saja."Mama Heni dan Papa Dany sebenarnya tak jauh beda. Mereka berdua itu posesif. "Ma, kami sudah besar ga usah diawasi." Dhifa cemberut. Entah kapan bisa bebas dari pengawasan keduanya. Dirinya pun dilarang kuliah di luar kota. "Papa tahu apa saja yang kalian lakukan karena ada seseorang yang mengawasi." Papa Dany dengan santainya memberi tahukan apa yang telah dilakukannya. Ia memang mengirim mata-mata. "Papa!" Dhifa melotot. Tindakan orang tuanya itu sangat berlebihan. Kalau teman-temannya tahu, ia bisa malu sekali. "Kamu sama Alwi ga macam-macam kan?" Pria yang pernah menjadi juri salah satu acara masak itu menatap anak gadisnya curiga. Baginya villa adalah tempat yang rawan bagi muda mudi. "Enggak lah, lagian kami beda villa juga." Dhifa memberikan penjelasan agar kedua orangtuanya tak main tuduh sembarangan. "Tenang aja om, aku sama Dhira selalu di samping Dhifa." Nayla menahan tawanya melihat aksi ayah sahabatnya itu. "Pak Dany...." Terdengar suara Bu Anja menyapa ayahnya Dhifa. "Bu Anja." Papa Dany tersenyum ramah. Ia berusaha menjalin hubungan yang baik dengan guru-guru anaknya. "Tenang saja Pak, semua aman. Putri Bapak sama Alwi terpisah."Bu Anja memastikan keamanan mereka. Wanita bertubuh subur itu seolah tahu banyak sesuatu. "Bu Anja, saya titip Dhifa dan Dhira ya, Bu." Mama Heni menatap wanita gendut berkacamata dengan lipstik merah menyala di bibirnya. "Ibu jangan khawatir, saya pastikan semua baik-baik saja." Bu Anja memberikan garansi. Semalam ia terus mengawasi murid-muridnya. Hasil penggeledahan yang dilakukan pun berjalan sesuai harapan. Dhifa mengamati gerak gerik guru galaknya itu dengan kesal. Bu Anja berulang kali menatap papanya penuh kekaguman. "Kalau begitu kalian hati-hati ya, Sayang. Mama sama Papa jalan dulu nanti kalau sudah mau pulang hubungi kami." Mama Heni berpamitan. "Ayo Pa, kita lanjut!" Mama Heni sudah tahu gelagat Bu Anja yang sedang cari perhatian di depan suaminya. Sebelum itu terjadi dirinya harus mengamankannya dengan mengajaknya segera pergi. Ketiga gadis itu pun membiarkan mereka "Dah Mama, Dah Papa." Dhira dan Dhifa melambaikan tangannya. "Papa sama Mama kalian itu romantis sekali ya." Bu Anja berkata penuh kekaguman. Ia membayangkan jika dirinya berada di posisi itu. "Bu,..Bu Anja!" Suara Dhifa membuyarkan lamunannya. "Ibu kenapa." Nayla sampai heran. "Tak apa-apa. Ayo kalian lanjutkan acara jalan-jalannya." Bu Anja tersipu malu. Ia malah berhalusinasi, berpikir yang bukan-bukan. Jalan-jalan di kawasan villa merupakan sesuatu yang menyenangkan dan sayang sekali jika harus dilewatkan. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN