Saat berjalan menuju kantin, tak sengaja Nada, Panji, dan Denias melihat Dita dan Rama sedang bicara. Keduanya tampak begitu mesra. Melihat pemandangan tersebut, Denias mulai emosi. Tanpa pikir panjang, Denias menghampiri keduanya. Panji mencoba menahan Denias, tapi percuma, Denias seperti bom atom yang siap meledak.
Bukan rahasia lagi kalau Denias menyukai Dita. Dita Anjani Baskara, 22 tahun, adik tiri Nada yang entah bagaimana menjadi saingan Nada dalam segala hal.
"Biarkan saja. Toh nantinya Denias sendiri yang akan malu." ujar Nada menahan Panji.
Panji menghela napas kesal. "Kau tidak apa-apa?"
Nada tersenyum. "Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik saja kok."
"Si bodoh itu mungkin tidak menyadarinya. Tapi kau tidak bisa membohongiku, Nad. Kita sudah lama berteman, kita tau perasaan masing-masing." ujar Panji.
"Memangnya aku bisa apa? Kalaupun Denias tau aku menyukainya, itu tidak bisa mengubah kenyataan kalau orang yang sejak dulu dia sukai adalah Dita. Cinta itu seperti kutukan. Setiap orang yang kusukai, entah mengapa selalu menyukai Dita. Aku sudah terbiasa. Dita itu sangat cantik. Dia mirip artis korea. Laki-laki mana yang tidak jatuh hati pada gadis seperti itu. Sejujurnya sebagai wanita aku iri. Padahal aku juga cantik." ujar Nada sedikit bercanda.
"Cinta itu bukan kutukan. Kalau nanti sudah bertemu orang yang tepat, kau pasti akan sangat dicintai. Kau hanya belum menemukannya." hibur Panji.
"Kau membuatku terlihat seperti orang yang sangat menyedihkan." gerutu Nada.
Panji dan Nada tetap berjalan menuju kantin tanpa menghiraukan apa yang Denias lakukan. Ini bukan kali pertama Denias bersikap posesif meskipun Dita bukan pacarnya. Pemandangan seperti itu sudah sering mereka temui. Hanya saja, jika sudah keterlaluan, Panji dan Nada akan menengahi.
Sementara itu, Rama yang tidak sengaja melihat keberadaan Nada, buru-buru pamit pada Dita. Rama tampak tidak sabar saat mengejar Nada menuju kantin. Setelah tau kemana Rama akan pergi, Dita berdecak kesal.
"Hei kau mau kemana b******k!" teriak Denias.
Rama tidak menanggapi. Lebih tepatnya Rama tidak tau kalau pertanyaan itu ditujukan untuknya.
"Sepertinya kau suka sekali ikut campur. Memangnya kau ini siapa?" sindir Dita pedas.
Denias tidak berkutik. Pun saat Dita meninggalkannya dengan wajah kesal, Denias cuma bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
***
"Aku boleh duduk disini kan?" tanya Rama santai.
Nada menoleh dan sedikit terkejut mendapati Rama yang tadi sedang berbicara dengan Dita, kini sudah ada disampingnya.
"Kau lagi. Memangnya tidak ada tempat lain?" sindir Panji.
"Kau membuatku terlihat seperti orang yang sangat membosankan. Pagi tadi kalian juga bersikap aneh. Sebenarnya apa yang salah?" tanya Rama kesal.
"Jangan hiraukan dia. Mulutnya memang penuh dengan kata-kata tidak berguna." tukas Nada.
Rama melunak. Laki-laki itu kembali menatap Nada seraya mengulurkan tangan. Nada menyambut uluran tangan Rama dan menyebutkan namanya.
"Terimakasih untuk yang pagi tadi. Ah sepertinya aku harus mengganti pakaianmu yang kotor." ujar Rama.
"Kau tidak harus bertanggungjawab untuk sesuatu yang sama-sama menguntungkan. Justru aku yang harus berterimakasih." jelas Nada.
"Setelah tidak dapat adiknya, sekarang mendekati kakaknya. Kau laki-laki yang tidak terduga." sindir Denias yang baru sampai.
"Adik? Kakak? Siapa?" tanya Rama bingung.
Panji berdecak malas. "Kau pura-pura bodoh atau memang tidak tau? Dita dan Nada itu saudara."
Rama mengerutkan kening. Sepertinya laki-laki itu tidak percaya.
"Saudara tiri. Kami bukan saudara kembar. Kau mungkin heran kenapa kami yang tidak mirip bisa kuliah di semester yang sama." jelas Nada.
"Kenapa juga kau harus menjelaskan hubungan kalian pada laki-laki ini." omel Panji.
"Kalian yang membahasnya lebih dulu. Aku cuma meluruskan." bela Nada.
Rama menatap ketiganya bergantian. Jelas sekali kalau hubungan mereka sangat dekat.
"Ternyata seperti itu. Aku tidak tau kalau kalian masih saudara. Dita menjatuhkan sesuatu. Aku hanya bermaksud baik mengembalikannya." jelas Rama.
"Modus." gumam Nada.
Nada tau, saat Dita menginginkan seseorang, Dita akan melakukan segala cara untuk mendapatkan orang tersebut. Seperti yang terjadi pada Rama. Nada yakin Dita pasti sengaja agar bisa berkenalan dengan laki-laki itu.
"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Rama.
Nada buru-buru menggeleng. Tak berapa lama percakapan mereka terhenti karena pesanan mereka sudah sampai. Panji dan Denias mengawasi gerak-gerik Rama seolah Rama adalah pencuri. Selesai makan, Nada lagi-lagi pergi begitu saja. Melihat sikap cuek Nada, Rama jadi penasaran dengan gadis itu.
"Wah sudah dapat target ni." ujar Jonny sembari pindah ke dekat Rama.
"Target apanya?" tanya Rama pura-pura polos.
"Setahun tidak kuliah, kau masih tidak berubah. Kau pasti berniat mendapatkan Nada, iya kan?" tebak Jonny.
"Kau juga kenal Nada? Apa dia cukup populer? Apa dia punya pacar?"
Jonny berdecak malas. "Wajahmu itu mudah sekali dibaca. Nada itu ibarat ngengat yang bisa melukaimu kapan saja. Dia sulit di jangkau. Jangankan jadi pacarnya, mendekati wanita itu saja susah. Dia dijaga dengan baik oleh Panji dan Denias. Tapi sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan. Apa kau sudah dengar kabarnya? Orang-orang bilang, Nada belum pernah pacaran. Dia dingin dan tidak bisa bersikap manis. Cantik sih, tapi dengan kepribadiannya itu, tidak banyak laki-laki berani mendekati Nada."
"Sepertinya kau sangat mengenal Nada. Jangan-jangan diam-diam kau juga menyukainya?" tebak Rama.
Jonny buru-buru menggeleng. "Ketimbang Nada, adiknya jauh lebih menarik. Namanya Dita. Kau akan segera mengenalnya. Nah kepribadian Dita berbanding terbalik dengan Nada. Dita ramah dan selalu bersikap manis. Dia sangat cantik untuk ukuran wanita Indonesia. Sekali lihat kau pasti jatuh cinta."
"Aku sudah bertemu dengannya. Sesuai yang kau ceritakan, dia sangat cantik." ujar Rama.
"Wah kau gesit juga. Wanita cantik dan populer di Fakultas apapun di kampus kita, rata-rata sudah pernah kau pacari. Anehnya Dita lolos. Padahal Dita sangat menonjol. Kalau Nada sih menurutku masih tergolong biasa meskipun cantik. Wajar jika kau tidak mengenal Nada. Jadi kali ini siapa yang kau targetkan? Jangan bilang kau akan mendekati keduanya?" tanya Jonny penasaran.
"Siapa yang tau. Toh laki-laki b******k sepertiku bisa melakukan apa saja." jawab Rama sembari berlalu.
Jonny cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Rama. Sejak dulu Rama memang terkenal karena sering gonta ganti pacar. Crazy rich satu itu bisa melakukan segalanya dengan wajah tampan dan kekayaan orang tuanya.
Sementara itu Panji dan Denias mengikuti Nada sampai ke kelas.
"Kau tidak mengenal Rama dengan baik. Kau pasti tidak mengetahui rumor tentang laki-laki itu. Pokoknya, tanpa kami, kau dilarang keras bertemu berdua dengan Rama. Dia bisa menghancurkan masa depanmu." ujar Panji.
Nada berdecak kesal. "Memangnya aku terlihat seperti wanita yang akan tergila-gila pada Rama? Dia cuma ngajak kenalan. Apa itu salah?"
"Hanya kenalan, jangan sampai lebih dari itu. Rama terkenal karena suka gonta-ganti pacar. Dia anak konglomerat yang tidak punya adab. Ada yang bilang kalau kecelakaan Rama setahun yang lalu sudah direncanakan seseorang untuk balas dendam. Bukan hanya itu, jika Rama sudah menargetkan seseorang, dengan segala cara dia akan mendapatkannya." tambah Denias.
"Kau tidak takut jika nantinya Dita yang akan ditargetkan Rama? Aku tidak terlalu percaya diri untuk ditargetkan laki-laki sekeren Rama. Bukankah kau saja tidak menyukaiku, lalu bagaimana mungkin Rama yang dimata kalian sangat menakjubkan bisa jatuh hati pada gadis biasa sepertiku." ujar Nada lebih ke Denias.
"Penilaian setiap laki-laki itu berbeda. Bisa jadi, Rama melihatmu seperti setumpuk intan permata." bela Panji.
Nada tertawa. "Kalau Rama melihatku seperti intan permata, berarti aku sangat berharga dong. Jika ada laki-laki yang menghargai aku seperti itu, kenapa kalian malah melarangnya?"
Panji tampak salah tingkah karena sudah salah bicara. Sementara Denias memilih tidak melanjutkan perdebatan. Denias yakin Nada akan mendengarkan ucapan mereka.
***
"Kenapa wajahmu pucat? Kau sakit?" tanya Adam sembari masuk ke kamar Nada.
Karena Nada tidak turun untuk makan malam, Santi meminta Dita memanggil gadis itu. Dita beralasan kakinya sakit hingga Adam yang harus memanggil Nada.
"Sepertinya kakak semakin sering memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu." sindir Nada.
"Aku sudah melakukannya, tapi kau tidak menyahut. Kau pucat sekali. Apa kau demam?"
Adam menyentuh kening Nada. Kali ini Nada tidak menepis tangan Adam seperti yang biasa dia lakukan.
"Tidak demam. Lalu apa yang sakit?" tanya Adam lagi.
Nada berdecak pelan. "Sudahlah, ini bukan penyakit yang harus dikhawatirkan dokter. Aku sedang datang bulan. Rasa sakit seperti ini sangat wajar dirasakan."
Adam melipat tangan di d**a. Adam tau Nada tidak suka jika orang rumah menghawatirkan keadaannya, apalagi jika sampai ayah mereka mengetahui itu.
"Kau harus makan dan harus minum obat. Walaupun ringan, penyakit tidak boleh disepelekan." ujar Adam.
Nada cuma mengangguk sambil mengibaskan tangan meminta Adam pergi. Sepeninggal Adam, Nada mulai menggerutu.
"Sesuai dugaan. Manusia batu itu tidak akan menghawatirkan keadaanku."
To be continue