Episode 7 : tentang Nada

1407 Kata
Nada masih belum bisa memejamkan mata meskipun Adam duduk tenang disampingnya. Sesekali Nada melirik Adam yang sibuk memainkan ponsel. Beberapa kali Adam menguap tapi memilih untuk tetap duduk. Sepertinya Adam takut membuat Nada canggung jika ikut berbaring. "Apa kakak tidak mengantuk?" tanya Nada pelan. "Jika bukan untuk sesuatu yang sangat penting, aku nyaris tidak pernah begadang." jawab Adam. "Apa artinya kakak sudah mengantuk?"  Adam mendesah pelan. "Tentu saja. Ini sudah hampir tengah malam, Nada." "Lalu kenapa kakak tidak rebahan?" tanya Nada lagi. "Aku tidak nyaman." jawab Adam. "Kenapa kakak tidak nyaman? Padahal aku baik-baik saja. Aku justru akan jauh lebih tenang jika kakak ikut rebahan. Dengan begitu, rasa bersalahku akan berkurang." "Kenapa kau merasa bersalah?" tanya Adam heran. "Dari tadi kakak cuma duduk. Kakak pasti lelah. Seharusnya sekarang kakak sedang tidur dengan nyaman di kasur yang empuk." jawab Nada. "Kalau kau sudah tidur, aku juga akan tidur." Nada menarik ujung baju Adam. Adam yang sejak tadi hanya menatap ponsel, kini beralih menatap Nada. "Sekarang apa lagi?" tanya Adam. "Aku akan tidur jika kakak juga tidur." ujar Nada. Adam menghela napas panjang. Tak lama laki-laki itu mengalah. Adam ikut rebahan dengan posisi membelakangi Nada. Nada mulai memejamkan mata sambil memegang ujung baju Adam.  "Padahal ulat itu mahluk yang sangat kecil. Ulat juga tidak bisa terbang. Harusnya kau bisa menyingkirkan ulat-ulat itu dengan mudah." ejek Adam. "Kakak tidak pernah merasakan seperti apa rasanya ketika ulat itu berjalan di tubuh kakak. Aku tidak mungkin fobia jika dulu tidak ada kejadian itu." bela Nada. "Sudahlah, lupakan soal ulat. Apa kau tidak kepanasan? Sepertinya akan turun hujan." ujar Adam. "Iya, suhu ruangan jadi lebih panas. Aku tidak bisa tidur karena panas. Disini tidak ada AC." jawab Nada. "Sebaiknya kita tidur di kamar..." "Aku tidak mau kembali ke kamar." potong Nada. "Kau bisa tidur di kamar Dita." usul Adam. "Aku dan Dita tidak sekalipun pernah masuk ke kamar masing-masing." "Kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di kamar Dita." usul Adam lagi. "Begitu lebih baik." ujar Nada. Nada dan Adam akhirnya naik ke lantai atas. Saat Adam hendak masuk ke kamar Dita, pintu kamar Dita terkunci. Alhasil, Adam kembali ke kamarnya. "Apa kau tidak keberatan jika aku tidur di kamarmu? Kamar Dita terkunci."  Nada tampak berpikir keras. Kamarnya sangat berantakan. Di kamar itu juga banyak keluh kesah Nada tentang Adam, Dita, dan ibu tirinya. Nada tidak ingin Adam tau kalau dia sering menulis hal-hal buruk tentang keluarganya. "Kenapa kakak tidak tidur disini saja? Kasurnya lumayan lebar untuk ukuran dua orang dewasa." usul Nada. "Kau yakin tidak canggung tidur satu kasur denganku?" tanya Adam. "Kenapa harus canggung? Bukankah semalam kita tidur bersama?"  Adam melongo mendengar ucapan Nada. Jika ada yang mendengar obrolan mereka, orang-orang pasti sudah berpikir yang bukan-bukan. "Apa kau menyembunyikan sesuatu di kamarmu?" tanya Adam penuh selidik. Nada buru-buru menggeleng. "Bukan begitu. Kakak pasti lebih nyaman tidur di kamar sendiri." "Aku memang lebih nyaman tidur disini. Tapi apa kau yakin tidak akan canggung?" tanya Adam memastikan. "Aku orangnya sangat santai. Lagipula kenapa harus canggung terhadap kakak sendiri." jawab Nada. Adam tak lagi menimpali. Laki-laki itu mencuci muka ke kamar mandi sebelum akhirnya merebahkan diri di samping Nada. Tak ada lagi obrolan. Karena sudah sangat mengantuk, dengan mudah Nada dan Adam tertidur pulas. *** Pagi hari keduanya terbangun karena mendengar bel yang terus-menerus berbunyi. Adam dan Nada sama-sama menjauh begitu sadar mereka tengah tertidur sambil berpelukan. Nada bergegas menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Akibat begadang semalaman, Nada dan Adam jadi bangun kesiangan. "Non Nada tidurnya nyenyak sekali. Mbak Yati sudah berdiri disini dari setengah jam yang lalu." ujar Yati begitu pintu di buka. "Semalam aku tidak bisa tidur mbak, makanya kesiangan. Pak Gion sudah datang?" tanya Nada. "Iya Non. Beliau sedang memangkas daun kelapa sesuai perintah den Adam." Nada bergidik ngeri. Setelah meminta mbak Yati membuat sarapan, Nada berlari ke kamar Adam. Nada masih enggan kembali ke kamarnya sebelum yakin kalau ulat-ulat itu sudah berhasil disingkirkan. Adam baru keluar dari kamar mandi saat Nada sampai. Setelah gosok gigi dan cuci muka, wajah Adam terlihat lebih segar.  "Ada apa? Kenapa kau kembali kesini?" tanya Adam. "Pak Gion sedang memangkas daun kelapa. Aku takut ularnya berterbangan ke kamarku. Untuk sementara aku tetap disini. Sebenarnya aku masih sangat mengantuk." ujar Nada. "Kau tidur saja. Aku akan membantu pak Gion. Jam 8 aku ada janji bertemu teman. Jam 11 Papa bilang mereka akan sampai. Kalau kau takut sendirian di rumah, minta mbak Yati pulang setelah papa sampai." jelas Adam. Nada mengangguk singkat dengan mata terpejam. Melihat baju Nada yang sedikit tersingkap, Adam buru-buru keluar. Setelah membantu pak Gion, Adam memastikan sekali lagi bahwa kamar Nada sudah bebas ulat. Pak Gion juga menyemprotkan anti hama di luar jendela agar ulat tidak berani mendekat. Setelah itu Adam kembali ke kamar untuk membersihkan diri.  Nada masih tertidur pulas saat Adam selesai mandi. Wajah gadis itu terlihat begitu tenang. Adam kembali memalingkan muka saat melihat sebagian pinggang Nada terekspos jelas. Adam hendak menutup baju Nada yang tersingkap saat tiba-tiba mata Nada terbuka. Sontak Adam menjauh.  "Ini sudah jam berapa?" tanya Nada malas. "Hampir jam 8 pagi. Kau tidak berniat bangun?"  Nada menggeleng. "Kakak pergi saja. Jika urusan mbak yati sudah selesai, suruh kunci pintunya dari luar dan letakkan kunci di tempat biasa." "Kau bisa tidur di kamarmu. Sekarang kamarmu sudah aman." usir Adam. Dengan malas Nada bangun dari posisi rebahan. "Apa kakak sudah memastikannya?" "Mbak yati sudah membersihkannya. Tidak ada ulat yang tersisa. Mulai sekarang jangan merengek tentang ulat dan menumpang tidur di kamarku. Kau bukan anak-anak. Sangat tidak baik wanita dewasa tidur di kamar laki-laki dewasa." ujar Adam. "Cih memangnya aku terlihat sangat ingin tidur bersama kakak." gerutu Nada sebelum meninggalkan kamar Adam. "Huh lagi-lagi dia tidak berterimakasih." Setelah Nada pergi, Adam buru-buru ganti baju. Hari ini Adam ada janji dengan rekannya sesama dokter. Mereka berencana mengikuti kegiatan amal melakukan pemeriksaan kesehatan gratis di sebuah panti jompo. *** Nada baru bangun tidur saat orang tuanya sampai. Sekilas Nada memperhatikan Dita yang tengah menatapnya.  "Apa ini tidak terlalu siang untuk jam bangun seorang perempuan?" sindir Johan. "Dari kemarin ada insiden yang tidak menyenangkan, Pa. Makanya aku kurang tidur." bela Nada. "Apa ada hal buruk yang terjadi saat kami pergi?" tanya Santi khawatir. "Tidak ada, Ma. Hanya insiden kecil yang tidak perlu di khawatirkan." jawab Nada. "Mama seperti tidak mengenal Nada saja. Nada itu penakut. Wajar jika dia tidak bisa tidur saat rumah sepi. Sepertinya Nada juga tidak bisa minta tolong pada kakak. Nada orangnya sangat gengsi." ujar Dita. Nada mendengus pelan. "Sepertinya kau lebih mengenalku daripada aku sendiri. Bagus sekali." "Sudahlah, kalian baru bertemu setelah berpisah beberapa hari. Harusnya kalian saling berpelukan sembari melepas rindu."  Johan segera menengahi saat melihat ketegangan di wajah kedua putrinya. "Seolah-olah papa pernah melihat kondisi seperti itu terjadi di dalam rumah ini." gerutu Nada. "Ah mama punya oleh-oleh untukmu." Santi ikut mencairkan suasana yang sudah terlanjur panas. Melihat sikap Santi yang sangat peduli pada Nada, Dita tampak kesal dan meninggalkan mereka ke kamarnya. Johan ingin mengejar, tapi Santi segera menghalanginya. "Biarkan saja. Dita keatas bukan karena marah atau tersinggung, Pa. Mama yakin Dita pasti lelah." ujar Santi. Johan menatap Nada lekat. Nada tau Johan marah dan kecewa dengan sikapnya. Ini bukan kali pertama Nada dan Dita berdebat. Semua orang tau kalau Nada dan Dita tidak pernah akur. "Oh iya, ini oleh-oleh untukmu Nada." ujar Santi sambil menyerahkan sesuatu. "Terimakasih, Ma."  Nada mengambil kotak yang Santi berikan dan langsung naik ke lantai atas. Santi dan Johan hanya bisa menghela napas untuk tingkah keras kepala kedua putri mereka. *** Senin yang membosankan. Nada memarkir sepeda motor dan berjalan santai menuju kelas. Tak berapa lama Panji datang mengikuti langkah Nada. "Apa kalian semakin dekat setelah kencan hari Sabtu kemarin?" tanya Panji. "Memangnya apa yang kau harapkan? Denias tidak akan menyadari apapun walau kami mengikuti setiap kencan yang sengaja kau atur. Denias bukan laki-laki yang peka." jawab Nada. "Tapi setidaknya kalian terlihat seperti pasangan yang sedang kencan." ujar Panji. "Tidak ada yang perlu dibanggakan untuk hal itu, Panji. Lain kali kau tidak perlu mengatur agar kami mengikuti kencan kalian. Perasaanku pada Denias, biarlah seperti ini tanpa harus dipaksakan."  Nada tersenyum hangat. Tanpa sadar tangan Panji terulur untuk mengelus rambut Nada. Panji tau, sulit bagi Nada menjalani perasaan cinta seorang diri. Parahnya, laki-laki yang Nada cintai, justru tidak peka sama sekali. Tanpa mereka ketahui, apa yang tengah mereka bicarakan, didengar jelas oleh Dita yang sejak tadi berjalan di belakang mereka. Seketika wajah Dita berubah senang. To be continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN