2. Berita Heboh

944 Kata
"Ummi, kenapa?" tanya pria dewasa yang tidak lain adalah Abah Haji Sulaiman yang merupakan ayah dari Syamil. Ia baru saja pulang dari mengisi majlis ta'lim dan mendapat laporan dari Rukmini dan Nela, bahwa istrinya jatuh pingsan setelah menelepon Syamil. Abah Haji mengusap rambut sang Istri perlaham, sambil menanti cerita yang akan keluRmar dari bibir istrinya. "Bah, besok kita harus ke Bandung. Syamil, Bah, t-tadi Ummi telepon karena rindu, tapi yang angkat perempuan dan perempuan itu bilang, Syamil lagi sakit dan baru aja tidur habis dikerik. Anak kita bukan kuliah di sana, Bah, tapi malah pacaran. Ayo, kita jemput, Bah!" Bu Umi merengek pada suaminya. Bahkan air matanya sudah turun dengan sangat deras karena terus membayangkan hal buruk yang akan terjadi pada putra bungsunya yang solih. "Ummi berarti belum percaya dengan Syamil. Anak lelaki kita tidak mungkin seperti itu. Bisa saja wanita yang di telepon itu adalah teman sesama anak kos yang mungkin memang tengah merawat Syamil. Gak papa, Mi. Abah yakin, kalau Syamil bisa menjaga diri dan kehormatan orang tua. Kalau Ummi terus berprasangka, nanti malah anaknya benar-benar berbuat nekat loh. Sudah, besok pagi lagi kita telepon ya. Sekarang Ummi istirahat, Abah mau mandi dulu." Pria dewasa itu bangun dari duduknya dan langsung berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ia pun sama cemasnya dengan sang Istri, tetapi rasa percaya dan yakinnya pada Syamil lebih besar daripada pikiran buruk yang baru saja istrinya sampaikan. Biarlah besok ia menelepon Syamil lebih dulu untuk menanyakan kabar. Hani sudah tiga kali mengganti kompres Syamil. Bahkan ia sempat membelikan bubur ayam tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Agar Syamil bertenaga dan bisa minum obat. Namun, Syamil hanya makan tiga sendok saja, karena ia merasa mual. "Kamu kayaknya payah banget deh, Syamil," kata Hani sambil memeriksa kening pemuda itu yang semakin panas saja. Ini sudah pukul setengah sebelas malam dan Syamil belum ada perubahan sama sekali. Ia ingin meninggalkan Syamil di kamar, tetapi tidak tega. "Ya, gimana saya gak payah, itu rok yang Mbak Hani pakai, terangkat ke atas. Tentu saja saya semakin sakit kepala dan demam," jawab Syamil tanpa membuka matanya. Hani tertawa pendek, lalu membetulkan rok yang tersingkap. "Kamu mau ke dokter gak?" tanya Hani lagi. "Gak mau, Mbak. Saya mau tidur saja, tapi kalau Mbak Hani masih di sini, saya pasti gak bisa tidur. Ini lagian sudah malam, pulang deh, Mbak. Besok juga saya sembuh." Kali ini, Syamil membuka matanya untuk melihat Hani yang sudah bangun dari duduknya. "Iya sudah, aku pulang ya. Kabari saja kalau kamu butuh bantuan. Ponsel kamu lowbatt banget, jadinya aku charger. Oh, iya, itu aku bawa teko dari rumah, isinya air teh panas. Jangan lupa diminum ya biar kamu keringetan." "Makasih, Mbak Hani." "Sama-sama." Hani tersenyum. Lalu mengusap rambut Syamil seperti seorang kakak tengah mengusap rambut adik lelakinya. Pemuda itu hanya bisa pasrah, karena kalau ia larang jangan sentuh, maka Hani akan bertanya kenapa, mengapa, dan itu artinya wanita hamil di dalam kamarnya ini tidak pulang-pulang. Lebih baik ia pasrah saja terhadap perlakuan Hani padanya. Begitu suara pintu ditutup, Syamil bernapas lega. Pemuda itu membuka matanya perlahan. Lalu meraba handuk basah kompres yang masih ada di keningnya. Jika sejak tadi yang melakukannya ada Hani, maka kali ini ia harus bisa mengompresnya sendiri. Ia paksakan menutup mata agar besok sudah lebih sehat. Pukul lima subuh, Hani sudah keluar dari rumahnya. Ia melakukan rutinitas pagi sebelum matahari terbit yaitu jalan pagi selama satu jam, dari jam lima pagi sampai jam enam. Ia harus rutin melakukan olah raga agar bayinya juga sehat di dalam perutnya. Sepanjang jalan, Hani diperhatikan para tetangga yang mayoritas mahasiswa dan mahasiswi karena ia jalan pagi dengan hot pants dan juga baju besar. Pahanya terekspos menantang, sehingga membuatnya menjadi pusat perhatian. Pulang dari jalan pagi, Hani mampir ke pedagang yang menjual sayuran matang. Ia membeli sop baso dan juga tempe goreng. Ia sengaja membeli lebih untuk ia berikan juga pada Syamil. Tok! Tok! "Syamil, kamu udah sembuh?" tanya Hani begitu ia bisa mendorong pintu kamar Syamil. Pemuda itu rupanya tengah berbaring lemas di ranjang, dengan memakai sarung. Pasti Syamil baru saja salat subuh. Batin Hani. "Mbak, kamu jangan masuk dulu! Coba sebutkan, saat ini kamu pakai kostum apa?" tanya Syamil yang masih saja memejamkan matanya. "Hot pants kuning dan baju besar," jawab Hani bingung. "Berarti kamu pulang dan ganti baju, Mbak, setelah itu baru ke sini juga terserah. Tidak juga gak papa." "Oke, berati aku ganti kostum ya." Hani pun langsung pergi dari kamar Syamil untuk mengganti pakaiannya. Setelah ia yakin rapi, Hani kembali ke kosan untuk menjenguk Syamil. "Syamil, kalau begini gak papa?" Hani melebarkan senyumnya pada Syamil. "Mbak, maksud saya ya bukan pakai mukena juga." Syamil merasa ia akan segera terkena penyakit komplikasi jika terlalu lama berteman dengan Hani. Bayangkan saja, atasnya memang Hani memakai mukena, tetapi ia tetap saja menggunakan hot pants di balik mukenanya itu. "Ish, kamu ribet deh. Padahal pahaku udah gak keliatan kan? Emang masih salah? Udah, ah, orang aku cuma mau ngantar ini, biar kamu sarapan. Oh, iya, semalam sebelum HP kamu lowbatt banget, ibu kamu telepon nanya kamu. Ya udah, aku bilang baru saja tidur, habis aku kerik." "Apa? Ummi saya telepon?" Syamil yang tadinya lemas mendadak bersemangat, lebih tepatnya terkejut. Hani mengangguk. Tanpa disuruh, Hani sudah membuka makanan yang ia bawa untuk Syamil. Hani juga membawakan teh baru dalam tumbler untuk pemuda itu. "Terus, Mbak bilang apa sama orang tua saya?" tanya Syamil panik. "Baru saya mau bilang teman, ibu kamu malah nebak, pacar Syamil ya? Ya udah, aku bilang aja iya. Biar orang tua kamu tenang kalau kamu punya pacar saat merantau." Hani tersenyum, mengulurkan piring berisi makanan untuk Syamil. "Apanya yang tenang? Aduh, habis deh hidup gue!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN