Syamil tiba di Jakarta sebelum azan magrib. Pemuda itu sempat melaksanakan salat berjamaah di masjid besar yang ada di lingkungan pesantren milik orang tuanya. Tentu saja abahnya yang mengimami. Saudara dari kampung juga nampak di masjid, melaksanakan salat bersama.
"Bah," sapa Syamil pada abahnya setelah pria dewasa itu selesai memimpin zikir dan doa. Syamil mencium punggung tangan Abah Haji Sulaiman dengan penuh takjub.
"Kamu sendirian?" tanya Abah Haji pada putranya.
"Nggak, Bah, rame gini gimana dibilang sendiri? Ini saya sama Abah." Syamil mendadak bingung, sembari menunjuk jamaah yang lain, sedangkan Abah Haji malah tertawa. Sejak kapan anaknya bisa kocak seperti sekarang?
"Maksudnya kamu dari Bandung sendirian?" tanya Abah Haji lagi saat mereka berdua hendak keluar masjid.
"Ya kalau sendirian, sopirnya gak mau bawa Syamil, Bah. Pasti ada penumpang lain di bus. Jadi saya rame-rame dari Bandung." Jawaban Syamil membuat Abah Haji tidak kuasa untuk tidak terbahak. Bahkan pria dewasa itu mengacak-acak rambut setengah basah anaknya dengan gemas dan Syamil malah semakin bingung.
Abah Haji memeriksa kening Syamil dengan punggung tangannya. Lalu bergantian, punggung tangan itu ia letakkan di kepalanya sendiri. Normal, suhu putranya normal, tetapi kenapa seperti baru keluar dari oven saja rasanya, bikin emosi.
"Syamil sehat, Bah. Udah ah, yuk, Syamil udah kangen ummi dan Teh Laila." Pemuda itu berlari agar segera sampai di rumah. Abah Haji tertawa sambil menggelengkan kepala. Hatinya senang melihat bungsunya nampak sehat dan gemuk, padahal tengah jauh dari orang tua dan ngekos. Tunggu, bukan bungsu, karena ia masih ingin punya bayi dari Nela. Setelah Laila menikah, di bulan berikutnya, maka ia yang akan menikahi Laila. Tepatnya poligami pada wanita yang selalu membuatnya berdebar itu. Untunglah istrinya sudah memberi izin sehingga tidak perlu heboh sampai viral ke jagad maya.
"Assalamu'alaikum." Abah Haji masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaykumussalam." Kebetulan sekali Nela tengah berada di ruang tamu sedang menyapu. Wanita itu mencuri pandang dengan wajah malu-malu pada majikannya yang baru pulang dari masjid. Setiap pria dewasa itu pulang dari beribadah di masjid, maka semakin tampan dan berwibawa aura wajahnya.
"Jangan terlalu capek ya, Nela. Kamu baru sembuh kan?" tegur Abah Haji pada calon istri mudanya.
"Iya, Pak, ini gak capek kok. Cuma nyapu aja." Nela tersenyum sangat manis. Abah Haji mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya. Nela pun melanjutkan pekerjaanya, sebelum semakin banyak sanak-saudara yang berkumpul malam ini di rumah majikannya. Lelahnya seharian ini sudah hilang karena baru saja disapa oleh Abah Haji. Rasanya kayak penulis yang dolar menulisnya baru saja cair, ha ha ha...
Abah Haji membuka pintu kamar. Ia ingin bergabung bersama Syamil dan juga sang Istri. Karena anak lelakinya itu pasti kini tengah diberi wejangan oleh umminya.
"Loh, Syamil mana?" tanya Abah Haji begitu ia membuka lebar pintu kamar.
"Lah, emang ada Syamil? Gak ada, Bah. Anak kita belum sampai." Abah Haji mendadak merinding.
"Ada, Mi, tadi bareng Abah di masjid, solat magrib, terus anak kita itu lari duluan pulang, katanya udah kangen Ummi."
"Tapi gak ada siapa-siapa ke sini, Bah. Kalau Syamil udah tiba, pasti Ummi yang pertama kali ia temui. Memangnya siapa lagi. Abah salah kali. Waktu Abah ngobrol sama Syamil, anaknya napak gak?" tanya Bu Umi polos membuat Abah Haji semakin merinding. Ia memang biasa merukiyah orang, tetapi mengalami hal gaib seperti ini tentu saja ini pengalaman pertama baginya.
"Abah gak lihat dia napak atau nggak, soalnya dia pakai sepatu."
"Nah, gak salah lagi, Abah itu didekati makhluk gaib yang menyerupai Syamil. Hayo, tadi salat magribnya khusyuk gak? Apa lagi mikirin mau buru-buru nyusulin Laila jadi pengantin?"
Abah Haji merona digoda oleh sang Istri.
"Ya nggak, Mi, Abah khusyuk salatnya. Ya ampun, berarti Abah tadi bicara dengan jin?" Bu Umi mengangguk yakin.
"Jin muslim mah gak papa, Bah." Abah Haji semakin pucat saja. Pria dewasa itu tiba-tiba merasa perutnya mulas gara-gara prediksi sang Istri yang begitu horor.
"Waktu bicara giginya hitam gak?" tanya Bu Umi lagi pada suaminya.
"Nggak, Mi, putih."
"Oh berarti itu jinnya rajin perawatan ke dokter gigi." Bu Umi tertawa, tetapi tidak dengan Abah Haji. Pria itu masih setengah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh istrinya. Ia yakin sekali bicara dengan putranya. Namun, saat itu juga bulu tangan dan kakinya berdiri tegak. Apakah ini ada hubungannya dengan cara Syamil menjawab pertanyaannya tadi? Rada bloon bin oon. Benar, Syamil bukanlah tipe anak yang komedi, pasti jin yang membuatnya komedi seperti ini.
"Udah, Bah, jangan khawatir. Sekarang Abah mending berwudhu agar rasa cemas Abah hilang." Abah Haji menuruti perintah istrinya. Pria dewasa itu bangun dari duduknya, lalu segera bergegas masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.
Cklek
"Assalamu'alaikum, Ummi, ya Allah, Syamil kangen." Pemuda bernama Syamil itu tiba dengan wajah gembira dan suara yang amat renyah.
"Siapa kamu? Jangan ganggu saya!" Bu Umi berteriak kaget saat melihat sosok menyerupai Syamil masuk ke dalam kamarnya.
"Lah, sama anak lupa," komentar Syamil sambil menahan tawa.
"Bohong! Kamu pasti jin yang menyerupai anak saya. Pergi, jangan ganggu saya! Bah, Abah, cepat, Bah! Jinnya ada di sini, Bah!" Tentu saja pintu kamar mandi terbuka dengan suara brak, karena pria dewasa itu terburu-buru begitu mendengar panggilan keras sang Istri.
"Wahai, Jin, saya minta tolong, jangan ganggu saya dan istri saya. Apalagi anak-anak saya. Syamil anak baik dan sedang menuju ke sini, kenapa harus berpura-pura jadi Syamil, Jin?" Abah Haji memohon dengan menangkup kedua telapak tangannya di d**a.
Syamil terbahak keras hingga ia berjongkok. Bu Umi semakin yakin dan ketakutan, karena bukan hanya wajah jin itu saja yang menyerupai Syamil, tetapi tawanya juga. Abah Haji pun mengambil sikap dengan bersiap-siap mengaji.
Allahu laa ilaa ha illa hujan hayuk qoyyum...
Pria dewasa itu membaca Ayat Qursi sebanyak tiga kali. Surah Al-Fatihah tiga kali, surah Al-Ikhlas tiga kali, surah Al-Falaq tiga kali, dan surat An-naas tiga kali juga. Namun seseorang yang mereka yakini adalah jin tidak juga menampakkan reaksi panas. Malah jin itu tertawa semakin keras hingga meneteskan air mata.
"Bah, gak mempan! Jinnya kuat banget, Bah. Coba minta bantuan sama yang lain. Biar jin ini diusir dari rumah kita," kata Bu Umi pada suaminya.
"Ya Allah, Bah, Ummi, ini anak kalian, Syamil. Yang ada tompel di pantatnya. Nih, kaki saya aja napak. Gimana bisa dituduh jin? Ha ha ha... ya Allah, orang tua gue kenapa begini? Ha ha ha....
" J-jadi benar kamu Syamil?" tanya Bu Umi ragu. Tentu saja Syamil langsung mengangguk dan berjalan mendekati Bu Umi, lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan khidmat. Syamil juga mencium pipi kanan dan kiri umminya dengan penuh sayang. Barulah Syamil memeluk tubuh hangat wanita yang telah melahirkannya dengan begitu erat . Ketegangan wajah Bu Umi belum benar-benar terurai. Napasnya pun putus-putus saat dipeluk oleh Syamil.
"K-kalau kamu manusia, k-kenapa tangan dan tubuh k-kamu d-dingin?" Bu Umi mendadak pucat. Sungguh mengerikan jika ia benar-benar berpelukan dengan jin yang menyerupai Syamil.
"K-kita bukan mahrom, Jin," kata Bu Umi lagi sambil tergagap.
"Astaghfirullah, Mi, Bah, ini Syamil, masa anak sendiri dibilang jin sih. Tadi Syamil salat di masjid sama Abah'kan, tapi karena Syamil lagi mules, mau BAB, Syamil lari duluan ke rumah. Jadi ini tangam Syamil habis cebok, Mi."
Brak!
"Jorok!" Bu Umi mendorong putranya sampai jatuh ke atas karpet.
"Ya udah, kalau gak percaya, Syamil mau balik lagi aja ke Bandung dan pacaran sama ibu-ibu!"
"Jangaan!" Pekik Bu Haji Ummi dan suaminya bersamaan.