Permainan Takdir

1595 Kata
Jo menidurkan putranya di sofa. Ia mengelus rambut Dio. Alila perlahan duduk di sofa yang berseberangan dengan posisi Jo sekarang. Wajahnya masih sembab karena ia terus menangis di sepanjang perjalanan pulang. "Maafin aku." Alila mengucapkannya lagi. Jo sudah mendengar penjelasan Alila tentang pertemuannya dengan Theo dulu. Hingga mereka semakin akrab dan menjadi seperti sekarang. Alila juga menceritakan tentang pengakuan dosa Theo. Bahwa pada kenyataannya pemuda itu sudah lama menyukainya. "Jujur sebenarnya aku juga udah lama curiga dengan perubahan sikap kamu. Kamu jauh lebih bahagia setelah bertemu dia, kan?" Alila hanya menunduk, tidak berani menjawab. Alila tidak pernah tahu Jo begitu memperhatikannya. Ia tidak tahu bahwa Jo bahkan sampai mengikutinya pergi ke apartemen Theo. Alila merasa malu. "Sebenarnya ini bukan sepenuhnya salah kamu." Kata - kata Jo itu akhirnya membuat Alila mengangkat wajahnya. Ekpresinya menunjukkan begitu banyak pertanyaan. "Mungkin karena aku yang jarang punya waktu buat kalian." Jo tersenyum pada istrinya. Ia bangkit, berpindah duduk di sebelah istrinya. "Jujur waktu itu aku marah banget. Aku bahkan sempat berpikir untuk cerai. Tapi akhirnya aku sadar dengan kesalahanku sendiri." Alila mendengarkan tiap detail perkataan Jo. Perasaannya tak menentu. Ia begitu takut saat Jo berkata ia marah. Lebih takut lagi saat Jo mengatakan ingin cerai. Namun sedikit rasa tenang muncul kala Jo mengucapkan kalimat terakhirnya. Tapi Alila tidak sepenuhnya setuju dengan hal itu. "Nggak. Kamu sibuk untuk kami, kan? Kamu bekerja untuk kami. Tapi aku malah..." Jo membungkam bibir Alila dengan telunjuknya. "Jangan teruskan. Selama ini aku terlalu serakah mengambil begitu banyak pekerjaan. Seharusnya bila aku berada dalam jatah yang sudah diberikan rumah sakit padaku, aku tak akan sesibuk itu. Jadi mungkin ... mulai sekarang aku bisa mengatur ulang jadwalku." Jo mengelus surai panjang Alila dengan sayang. "Dan ... aku terlalu cinta sama kamu. Apapun yang terjadi mungkin aku nggak akan sanggup menceraikan kamu. Tapi aku meminta dengan sangat, tolong jangan khianati aku! Kita harus sama - sama berubah menjadi lebih baik bukan?" Alila mengangguk. "Kamu bersedia untuk mengakhiri hubungan kalian, kan? Apapun hubungan kalian itu. Kamu mau mengakhirinya?" Alila mengangguk lagi. Kali ini dengan air matanya yang kembali terjatuh. Jo segera menghapus air mata itu. "Jangan nangis! Air mata kamu ini terlalu berharga." "Aku minta maaf." "Aku juga minta maaf. Kita mulai lagi semuanya dari awal." Jo kemudian memeluk istrinya dengan erat. Ia sendiri merasa sangat lega sekarang. Mungkin Alila tidak akan serta merta melupakan Theo. Karena Jo tahu hubungan singkat mereka begitu berarti untuk istrinya. Pasti semua butuh waktu, Namun Jo berjanji pada dirinya sendiri, akan membuat Alila lebih bahagia. Jauh lebih bahagia daripada saat ia bersama pemuda bernama Theo itu. Itu lah janji mutlak seorang suami. Semua murid IPS harus rela masuk hari ini. Guru Sosiologi itu berulah lagi. Ia membuat semua murid sosial menjalani remedial. Tak terkecuali. Semuanya. Bahkan murid - murid yang memiliki nilai sempurna juga diharuskan ikut. "Astaga ... padahal gue udah males banget. Bentar lagi libur, kenapa malah remidi begini?" "Lo pikir cuman lo yang males? Semuanya juga males kali." "Gue pengen nggak ikut, tapi takut rapor gue kebakaran. Astaga, nasib anak sekolah." Keluh kesah mereka terdengar di tiap - tiap kelas. Namun rupanya ada banyak murid yang berani bolos juga. Karena sudah terlalu malas meladeni guru teladan yang justru mereka anggap membawa beban. Ceplok ... ceplok ... ceplok .... Mendengar suara itu, seketika semua murid terdiam. Bagai mendengar irama neraka. Ya. Itu adalah suara langkah kaki sang guru. Guru itu sebenarnya super modis dan cantik. Namun di lain sisi juga sangat killer dan hobi memberi tugas yang sulit - sulit. Itu sebabnya sebagian besar murid di sana begitu membencinya. Suara Stileto mahalnya selalu terdengar keras jauh sebelum ia sampai. Menjadi ciri khas kedatangannya yang selalu dianggap sebagai irama Neraka. Ketika suara ketukan sepatunya terdengar, aura membunuhnya mulai terasa. Membuat semua murid terdiam tanpa di suruh. Dan sekarang, Bu Shia sang legenda sudah berdiri di depan kelas. "Theo, Chico ... Ibu butuh bantuan kalian," ucapnya. Theo dan Chico beranjak, menuruti perintah sang guru. Kebetulan Theo sedang menatap Chico, saat anak itu begitu sengit memandangnya. Ternyata beberapa anak dari kelas sebelah juga diminta membantu seperti mereka. Bu Shia meminta mereka melepas sekat - sekat yang memisahkan deretan kelas - kelas IPS. Karena kelas - kelas mereka sebenarnya satu bangunan. Sekat kayu berderet itu biasanya dilepas bila dibutuhkan untuk sebuah acara. Meskipun sekolah mereka sudah punya aula yang megah, namun semua struktur bangunan dipertahankan. Kalau - kalau saja ada acara mendadak yang membutuhkan ruang lebih, maka tempat ini bisa tetap dimanfaatkan sebagai alternatif. Bu Shia meminta semua murid mengatur bangku. Membuat keempat kelas sosial itu bersatu sebagai satu kesatuan. Tampak seperti satu kelas yang banyak sekali muridnya. Jarak tiap bangku dipisahkan cukup jauh, memperkecil kemungkinan menyontek. "Terima kasih untuk semua yang datang. Ibu menghargai kemauan kalian. Dan pastinya akan ada nilai berbeda antara murid yang datang dan tidak." Beberapa dari mereka mengangguk - angguk mengerti. Merasa lega karena tidak datang sia - sia. Mereka tahu Bu Shia memang yang terbaik, dan juga adil dalam penilaian. Ya meskipun memang menyebalkan. Saat ini Bu Shia sedang keluar untuk mengambil soal remedial. Mereka menunggu di kelas dengan berisik. Chico beranjak dari tempatnya, berjalan mendekati bangku Yulia, mengusir seorang anak yang tadinya duduk di sebelahnya. Dan kini ia sudah duduk tenang di sana. Theo melihatnya dari kejauhan. Chico benar - benar sudah berubah. Ia begitu membenci Theo sekarang. Tatapannya selalu penuh dengan kebencian. Theo berusaha tak peduli. Namun rupanya ia tidak bisa. Ia benar - benar ingin menjadi cuek seperti dirinya yang dulu. Ia merasa takut kalau saja Chico mustahil untuk menghapus kebenciannya. Yang kelak akan membuatnya tidak tenang. ~~~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Theo duduk bersandar di sofa apartemen. Genap seminggu setelah sore kelam itu. Genap seminggu ini dirinya tak pernah berhubungan dengan Alila. Semenjak berpisah, Theo tak berhenti menghubungi Alila. Meskipun Alila tak pernah mengangkat telepon ataupun membalas SMS. Perjuangan Theo tak sia - sia, akhirnya teleponnya diangkat menjelang tengah malam. Namun ia harus menerima kenyataan pahit, kala Alila memintanya untuk tak menghubunginya lagi. Meskipun begitu, Theo tetap kembali menghubunginya. Namun nomor Alila dialihkan. Theo terus menghubunginya sampai lelah. Keeseokan harinya Theo pergi ke taman. Ia masih terus ke sana setiap hari. Duduk diam sampai menjelang malam. Namun Alila tak pernah datang. Mungkin memang sudah saatnya diakhiri. Hubungan mereka, juga perasaan mereka. Kehilangan. Theo merasakannya lagi. Hal yang paling ditakuti Theo terulang kembali. Pikirannya kembali pada waktu itu. Kala pertama kali ia melihat Alila. Mobilnya terpaksa berhenti di perempatan karena lampu merah. Saat menunggu, pandangannya menuju arah lain. Ia tak sengaja melihat seorang wanita tengah bercanda dengan seorang anak kecil di dalam bus. Senyumnya begitu hangat. Tanpa sadar Theo ikut bersenyum. Masih 53 detik lagi sebelum lampu kembali hijau. Theo mencoba mengalihkan diri. Apa tidak apa - apa bila Theo mengagumi wanita itu? Bukankah ia sudah berkomitmen untuk tidak memiliki perasaan semacam itu lagi? Yang kelak akan membuatnya merasa bergantung, kemudian ditinggalkan. Lagi pula keadaannya saat ini juga memaksanya untuk tidak memiliki relasi apapun, dengan siapa pun. Teringat bagaimana dulu dirinya mulai jauh dari Mama. Kala itu untuk pertama kalinya Theo merasakan kehilangan. Theo masih terlalu kecil untuk tahu rasa apa yang mengganggunya. Membuatnya kerap murung. Ia sering terlibat perkelahian di sekolah, karena ia tidak bisa menahan emosi. Membentak teman - teman yang mengajaknya bicara, atau bahkan memukul mereka yang dianggapnya terlalu mengganggu. Namun masih ada Luna, kakaknya. Luna begitu menyayangi Theo. Memberinya perhatian sedemikian rupa. Membuat Theo lama - lama kembali seperti semula. Menjadi Theo yang manja. Sampai ia tumbuh besar, Luna adalah tempatnya bergantung. Setelah Luna pergi, dunianya kembali kosong. Apa Theo siap untuk merasakan kehilangan lagi kelak? Mata Theo kembali pada wanita di dalam bus. Dan kini Theo tak bisa mengalihkan pandangannya lagi. Senyuman itu, senyuman yang sama. Seperti milik Mama. Sungguh terlihat identik. Ia membayangkan bocah kecil di samping wanita itu, sebagai cerminan dirinya di masa lalu. Mama dulu juga kerap mengajaknya bercanda seperti itu. Wanita itu seperti Mamanya, juga sekaligus seperti Luna kakaknya. Perlahan bus yang menumpangi wanita itu bergerak maju, Theo tidak rela wanita itu menjauh. Suara klakson mobil - mobil di belakang memperkeruh susana. Theo mulai menginjak gas dan mengikuti ke manapun bus itu pergi. Rupanya pesona wanita itu berhasil membuat Theo mengesampingkan rasa takut kehilangannya. Bahkan semenjak Luna pergi, Theo seperti mengabaikan kehidupan sosialnya. Ia cuek pada semua orang. Mungkin itu juga alasannya tak ingin menganggap Chico sebagai teman. Meskipun kadang Theo juga kasihan pada Chico. Bukannya ia jahat, sekali lagi, ia hanya tak ingin bergantung pada siapapun lagi. Dan wanita itu berhasil meruntuhkan pertahanan kokoh Theo. Theo setiap hari rajin mengikuti wanita itu ke taman. Tersenyum sendiri kala melihatnya tersenyum. Bahkan ia iri kala wanita itu memeluk bocah kecil yang selalu bersamanya. Theo hanya mengamati dari kejauhan. Ya. Tak pernah terbesit di pikirannya untuk berinteraksi dengannya. Kembali pada Theo saat ini. Ia mengalihkan pandangannya keluar jendela. Di luar amat terang. Kontras dengan apartemennya yang gelap. Theo pun sepertinya tak berniat menyalakan lampu. Karena suasana gelap seperti ini, lebih membuatnya nyaman. Ya. Awalnya ia hanya mengamati Tante Ali-nya dari jauh, tanpa sedikitpun niat menganggu. Apalagi ia yakin bocah kecil yang selalu bersamanya adalah putranya. Namun takdir berkata lain. Takdir mempertemukan mereka, dan membuat hubungan mereka begitu dekat. Theo mulai bergantung padanya. Seperti ia bergantung Mama dan Luna dulu. Takdir dengan mudah membuat pemurung sepertinya bahagia dalam sekejap. Namun di saat bersamaan, dengan kejamnya, takdir juga membuat Theo mengalami kehilangan sekali lagi. Theo memandangi ponselnya. Mencari nama Alila di daftar kontak. Ia kemudian terdiam, menimbang apakah ia harus menghubunginya atau tidak. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN