Gadis kecil itu duduk diam di atas kursi plastik di samping sebuah ranjang. Pikirannya terus terngiang tentang apa yang dilihatnya tadi malam. Pandangannya kini tak beralih dari sosok yang terbaring di hadapannya.
“Nami pulang dulu sama Mas Lintang yuk.” Lelaki itu terlihat lelah. Ia terjaga semalaman. Kemejanya berantakan, dan ia menyampirkan jasnya di lengan.
Namira menggeleng. Ia tidak mau pergi dari sini.
Lintang mendesah lelah untuk kesekian kalinya. Namira tetap tidak mau diajak pulang. Adik bungsunya itu masih memakai dress biru Princess Elsa - nya. Lintang terlihat menundukkan dirinya, berlutut di hadapan Namira.
“Nami mandi dulu, ganti baju, makan, lalu Mas anter ke sini lagi. Ya?”
“Nanti kalau Mas Theo sakit lagi gimana?”
“Di sini banyak dokter dan suster yang mengawasi Mas Theo, Sayang.”
“Semalam di rumah juga banyak orang. Nami sudah teriak lama banget. Tapi nggak ada yang dateng.”
Hati Lintang mencelos mendengar perkataan Namira. Kemarin malam suasana di rumah memang begitu ramai. Ditambah semua ruangan di rumah kedap suara. Lintang bisa membayangkan betapa takutnya Nami saat menemukan Theo kemarin. Bahkan Lintang sendiri masih ngeri mengingat kondisi Theo semalam.
“Nami pulang dulu ya. Dokter dan suster akan mengawasi Mas Theo dengan baik di sini.” Lintang memaksakan sebuah senyuman. “Nami harus makan dulu supaya punya tenaga buat jagain Mas Theo. Apa Nami mau, saat Mas Theo bangun nanti justru gantian Nami yang sakit? Mas Theo pasti sedih kalau Nami sakit.”
Nami diam tidak menjawab. Ia mulai sedikit setuju dengan Lintang.
Melihat Namira yang sudah mulai melunak, Lintang segera berdiri dan menggendong si bungsu itu. Lintang lega karena usahanya membawa si kecil ini pulang tidak sia - sia.
Semalam begitu melelahkan saat memaksa orang tuanya untuk pulang dulu. Semuanya bersikeras ingin tetap di sini. Sebagai anak tertua, nalurinya tergerak untuk meredakan situasi kacau yang terjadi. Ia tidak mau semua jadi ikut - ikutan sakit karena memaksakan diri. Semua harus pulang dulu dan istirahat. Supaya bisa menjaga Theo secara bergantian di hari - hari berikutnya.
Lintang bersimpangan dengan Luna di lorong. Luna terlihat sudah lebih segar. Meski pun kedua matanya bengkak dan wajahnya kusut. Tapi ini sudah jauh lebih baik daripada semalam.
Begitu sampai di sini sekitar 30 menit yang lalu, Luna segera menuju ruangan Ifan. Membicarakan perihal kondisi Theo dan tindakan apa yang harus diambil selanjutnya.
“Syukur deh lo udah dateng.” Sapa Lintang.
Luna mengangguk. “Dia tidur tidur ya?” tanyanya begitu melihat Nami yang diam saja dalam gendongan Lintang. Mereka berdua menengok untuk memastikan, rupanya Namira memang tertidur. “Bagus lah dia udah bisa tidur. Pasti semua sangat berat buat dia.”
“Maksa dia buat mau pulang lebih berat, asal lo tahu aja.”
Lintang dan Luna tertawa bersamaan, sedikit hiburan untuk mereka saat ini.
“Gimana kata dokter?”
“Belum ada perubahan.”
Mereka terdiam. Semalam Ifan memberi tahu mereka tentang buruknya kondisi Theo. Bahkan jantung Theo sempat berhenti berdetak selema 20 detik. Namun syukurlah Theo bisa melewati masa kritisnya.
“Lo harus kuat buat Theo. Dan ingat, jangan pernah pendam apa pun sendirian lagi! Lo ngerti kan?”
Luna mengangguk. Ia akan mencoba.
*** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ***
“Pesawat terbang masuk ke gua. Syung …. Aaaaa.”
Namira membuka mulutnya lebar - lebar untuk menerima sesendok penuh nasi yang disuapkan Mama. Dari dulu suapan wanita itu memang tak kira - kira. Tapi Namira sudah terbiasa. Ia justru sangat suka karena makanannya menjadi lebih terasa.
Luna hanya terkikik melihat Mama dan adiknya seperti itu. Ia sendiri sedang sibuk memotong kuku - kuku Theo yang mulai memanjang. Berusaha sehati - hati mungkin supaya tidak melukainya.
Suara keributan terdengar dari arah pintu. Mereka kemudian bersama - sama memandang ke sana.
“Dibilangin aku nggak kangen sama dia.”
“Udah ngaku aja.”
“Kita ini cuman menjenguk. Apa yang salah dari menjenguk?”
Mendengar isi obrolan itu, mereka segera tahu siapa gerangan yang datang. Yaitu keluarga kecil yang ‘harmonis’dengan seseorang bernama Jo sebagai kepalanya. Dan semuanya menjadi jelas ketika mereka sudah masuk ke sini. Dio langsung minta turun dari gendongan Ayahnya begitu melihat Namira. Ia berlari mendekati Namira dengan senyuman ceria.
“Dio mau makan juga? Aaaa.”
Mendapat suapan mendadak, Dio kelabakan. Mulutnya langsung penuh. Suapan super. Ia sampai sulit mengunyah, dan akhirnya ditertawai Namira. Namira kemudian menjelaskan bahwa Mama memang punya jurus suapan yang dasyat. Dio hanya mengangguk membenarkan sambil terus berusaha mengunyah nasinya.
“Udah kelihatan jelas kalo kamu kangen, masih nggak mau ngaku?” Jo melanjutkan protesnya ketika Alila berjalan mendekati Theo, meminta pemotong kuku yang dibawa Luna, kemudian meneruskan memotong kuku Theo.
“Jangan lebay! Apa nggak boleh aku motongin kuku anak - ku sendiri. Aku udah bilang kan, Theo ini anak aku mulai sekarang.”
“Jangan ngaku - ngaku kamu! Ntar kamu bisa dituntut sama Mama - nya.”
“Siapa bilang? Apa Tante bakal nuntut Ali?” Alila segera bertanya pada Mama di sana. Dan wanita itu ikut mengompori dengan menggelengkan kepalanya antusias.
Alila tersenyum menang.
Jo yang lagi - lagi kalah memutar otaknya, mencari jurus lain. “Kalau gitu, potongin kuku aku juga habis ini.” Tampang Jo saat ini benar - benar lawak, membuat semua orang tertawa.
“Daddy jelek banget!”
Seruan Dio memperkeruh suasana.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Suara itu semakin jelas, ketika tawa renyah semua orang di sana mulai memudar. Seorang lelaki tinggi kurus memasuki ruangan itu dengan langkah gontai.
Melihat siapa yang datang, Mama adalah orang yang pertama bereaksi. Ia segera meletakkan piring nasi yang dibawanya. Ia kemudian bangkit, memberanikan diri melangkahkan kakinya mendekati sosok itu. Begitu ia sampai di hadapan lelaki itu, ia segera berlutut. Membuat semua orang di sana kaget.
“Mama!” Luna hendak menghentikan sang Mama, namun suaranya tak diindahkan. Mama justru memulai pembicaraan sendiri dengan orang itu. Lelaki itu, mantan suaminya. Ayah kandung Luna dan Theo yang akhirnya datang.
“Ini semua salah aku. Aku nggak bisa jagain mereka dengan baik.” Mama mulai menangis. Seakan luka hatinya kembali terbuka. Ia kembali teringat dengan kesalahan - kesalahannya.
Alila dan Jo segera menuntun Luna, Namira dan Dio untuk keluar dari sana. Mengerti bahwa dua orang dewasa itu perlu waktu untuk bicara.
“Kamu pasti nyesel udah percayain mereka ke aku kan?”
Lelaki itu melirik Theo di sana. Susah payah ia menahan tangisnya di sepanjang perjalanan menuju kemari. Pertahanannya akhirnya runtuh. Mantan istrinya menangis dan berlutut seperti itu di hadapannya. Dan anaknya di sana belum sadaran diri.
Ia bergerak memegangi lengan mantan istrinya, memintanya untuk berdiri. Mereka saling berhadapan sekarang.
“Jika ada orang yang harus disalahkan, maka itu adalah aku. Aku udah egois pergi ke Singapura gitu aja. Padahal kamu sudah punya keluarga baru. Dan alasanku pergi tak hanya semata - mata bekerja, tapi juga untuk memulihkan hatiku sendiri setelah bercerai dengan kamu. Karena aku terlalu egois.”
“Tapi aku di sini bersama mereka, dan mereka bahkan kesulitan ngasih tahu tentang Theo. Padahal itu sudah lama sekali. Karena… karena aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri.”
Lelaki itu bergerak maju, merengkuh wanita di hadapannya, mendekapnya dengan erat. “Jika dulu aku nggak bangkrut ,….”
“Nggak. Itu bukan salah kamu. Kita sudah berusaha mempertahankan semuanya bukan? Jika dulu orang tua aku nggak memaksa kita untuk bercerai, kita bisa memulai segalanya dari awal bersama.”
Papa melepaskan pelukannya. Kemudian ia menggeleng. “Aku udah bilang berkali - kali bukan. Meskipun mereka nggak memaksa kita, kita akan tetap bercerai. Karena aku tahu kamu nggak bisa hidup dalam kehidupan seperti itu. Meskipun bibir kamu berkata tidak apa - apa di luar, tapi aku tahu kamu pasti sangat menderita.”
Manusia bisa berusaha dan berdo’a. Namun terkadang mereka lupa, bahwa selain dua hal itu, ada satu hal lain yang tak kalah penting. Hal lain itu dinamakan berserah. Bahwa segala hal dalam kehidupan, sudah menjadi kehendak Tuhan. Kebangkrutan, perceraian, dan penyakit Theo, semuanya sudah tertulis. Dan tidak ada yang bisa disalahkan. Namun satu pertanyaan baru muncul di benak mereka. Apakah kehendak Tuhan harus begitu kejam?
*** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ***
-- T B C --