Theo dan Chico berjalan beriringan. Seakan ada yang memerintah, setiap pasang mata mencuri pandang. Ada yang terang - terangan mengungkapkan kekaguman ada yang sok membenci namun memuja dalam hati, ada pula yang hanya melihat sekilas.
Senyuman Chico mengembang begitu mereka sampai kantin. Yulia terlihat duduk di salah satu bangku, dengan dua orang temannya. Chico membiarkan Theo mengantre makan siang duluan. Sementara ia malah sok akrab mengganggu acara makan Yulia dan teman - temannya.
Chico menggeser kursi agar bisa duduk berhadapan dengan Yulia. Yulia tersenyum padanya, kemudian meneruskan makan siang. Berbeda dengan dua temannya yang saling menyenggol satu sama lain, mereka akhirnya kompak meninggalkan Chico dan Yulia berdua saja.
"Kalian mau ke mana?" Yulia berusaha menahan mereka.
Teman - temannya hanya tertawa seraya melambaikan tangan.
"Dasar mereka itu!" Yulia nampak jengkel.
Chico mengamati setiap pergerakan Yulia dengan terus tersenyum. "Menunya apa hari ini?"
"Lihat sendiri ini!" Yulia memajukan nampan makanannya. Chico bukannya melihat nampan itu, justru terus memperhatikan setiap pergerakan Yulia. Jujur saja pertanyaannya tadi hanyalah basa basi belaka.
"Lo nggak antre? Cepetan sana! Sebelum bel masuk bunyi."
"Nanti aja."
Yulia meletakkan sendoknya di meja. Ia sudah selesai makan. "Gue lihat tadi lo ke sini sama Theo."
Seketika senyuman Chico menghilang. Yulia mulai memperlihatkan ketertarikannya dengan Theo lagi.
"Ke mana dia?" lanjutnya.
Chico kemudian menunjukkan keberadaan Theo dengan mengarahkan wajahnya pada tempat berdiri Theo saat ini. Yulia mengikuti arah yang ditunjukkan Chico. Seketika wajah gadis itu berbinar. Melihat Theo yang terlihat mencolok berdiri di tengah antrean panjang.
"Gue ragu apa dia bener - bener manusia. Banyak cowok - cowok keren, tapi dia beda banget!" Yulia sibuk mengagumi Theo sedemikian rupa.
Chico meremas kain celananya dengan kasar.
"Nanti dia duduk di sini, kan? Kenalin gue ke dia, ya!" Yulia mengeluarkan wajah memohon.
Sungguh ia terlihat begitu cantik sekaligus imut dengan sikapnya itu. Sayangnya wajah itu ia tunjukkan bukan untuk Chico, melainkan untuk Theo.
Theo sudah mendapatkan jatah makan siangnya. Ia sedang mencari tempat duduk. Semua bangku terlihat penuh. Chico memutuskan untuk melambaikan tangannya pada Theo. Karena tinggi badannya yang di atas rata - rata, Theo bisa dengan mudah menemukan Chico.
Theo segera berjalan ke sana. Jika saja ada tempat kosong lain, Theo akan memilih duduk di sana. Daripada harus bersama dengan Chico si mulut besar.
Chico menggeserkan bangku untuk Theo. Tepatnya di sebelah Chico sendiri. Chico tidak rela jika Theo malah memilih menggeser tempat duduk sendiri di samping Yulia.
Theo agak canggung untuk mulai makan. Ia tidak mengenal siapa gadis di hadapan Chico. Gadis itu sudah selesai makan, namun tidak segera pergi dari sana. Dan sekarang gadis itu tengah memandanginya terus - terusan tanpa berkedip.
Sementara Chico yang belum dapat jatah makan siangnya, tapi sepertinya ia tidak ada niat untuk mulai antre. Meskipun tak mengerti apa yang terjadi di sini, tapi Theo bisa merasakan aura - aura panas.
"Theo, ini Yulia. Dan Yulia, ini Theo." Meskipun dengan hati tak rela, Chico akhirnya mengabulkan permintaan Yulia. Ia mengenalkan Yulia pada Theo. Sama artinya ia tengah bunuh diri. Atau sedang menggali kuburannya sendiri. Hatinya sakit.
Yulia terlihat antusias mengulurkan tangannya pada Theo. Berbeda dengan Theo yang hanya menjabatnya sekilas. Theo akhirnya tahu bahwa ini dia si Yulia yang setiap hari dibicarakan oleh Chico.
Tapi ... Theo merasa ada yang tidak beres. Kenapa Yulia malah sepertinya tertarik padanya? Ah ... Theo mengerti. Jadi inilah alasan kenapa muka Chico murung begitu. Ternyata Yulia yang dipujanya justru tertarik pada Theo.
Theo membuka tisu yang membungkus sendok, dan mulai makan. Membiarkan Yulia senyum - senyum menatapnya. Dan membiarkan Chico yang terbakar api cemburu.
~~~~~ I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Dalam sebuah kamar yang cukup luas, seorang lelaki terlihat sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia baru saja pulang dari rumah sakit tempatnya bekerja. Ia adalah seorang dokter.
Bisa dikatakan hidupnya selama ini sangatlah sempurna. Berasal dari keluarga yang berkecukupan, punya otak cerdas, dan penampilan luarnya pun keren. Ditambah lagi ia sudah punya istri yang cantik dan anak yang super lucu.
Jo, nama lelaki itu.
Jo terheran - heran melihat istrinya yang tak seperti biasanya. Alila duduk di pinggiran ranjang dengan membawa ponsel. Biasanya ponsel itu jarang sekali dipegangnya. Lebih sering menganggur di atas meja. Dan senyuman istrinya juga terlihat berbeda.
"Kelihatannya happy banget," celetuk Jo.
"Aku?" Alila terlihat kebingungan. Apakah ekspresinya terlalu kentara? Ia pun berusaha mengelak. "Biasa aja."
Jo menyampirkan handuknya di kursi. Ia kemudian duduk di samping istrinya. Berusaha mengintip ada apa di ponsel Alila. Namun sayang, layarnya sudah telanjur menghitam.
"Ya udah, aku mau lihat Dio sebentar ya!" Jo menyerah dan memilih untuk melepas rindu dengan putranya.
"Awas kalau sampai dia bangun!" ancam Alila.
"Iya - iya." Jo segera beranjak dan keluar dari kamar utama.
Anak mereka Dio memang sudah diajari untuk tidur sendiri. Ya ... meskipun harus selalu ditidurkan dulu, baru ditinggal.
Jo pelan - pelan sekali membuka pintu, lalu menutupnya lagi. Berjalan mengendap, takut menimbulkan suara. Ia naik ke atas ranjang, berbaring bersama putranya itu. Kasur king size ini terlihat begitu besar dibandingkan dengan tubuh putranya yang kecil.
Jo mau tak mau tersenyum sendiri menatap Dio. Anak ini begitu lucu. Perpaduan sempurna antara dirinya dan Alila. Lihatlah mulutnya yang sedikit terbuka itu. Menambah kadar keimutannya. Jo mengecup kening anaknya. Kemudian memeluknya.
Meskipun serumah, namun mereka cukup jarang berinteraksi. Jo seringkali menyesali hal itu. Di balik segala kesempurnaan yang dimilikinya, hanya satu hal ini yang membuatnya kerap kesal. Dirinya terlalu sibuk. Sehingga jarang punya waktu dengan keluarga kecilnya.
~~~~~ I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Chico merasa pesimis. Sekaligus optimis. Meski Chico harus jujur bahwa rasa pesimisnya lebih besar. Pesimis karena ia bisa melihat dengan jelas bahwa Yulia tak tertarik padanya, dan justru tertarik pada Theo. Optimis karena meskipun nanti ia ditolak, setidaknya Yulia sudah tahu tentang perasaannya.
Jika beruntung, Yulia akan memikirkannya bukan? Perlu dicatat, jika beruntung.
Chico menyembunyikan sebuket mawar merah di belakang punggungnya. Stadion basket milik sekolah ini terlihat sepi. Chico berdiri di tengah lapangan. Menunggu Yulia dengan penuh harapan. Ia berusaha membuat wajahnya terlihat santai dan ceria. Ia tak ingin Yulia justru melihatnya gugup nanti.
Yulia datang. Ia masuk dan menghampiri Chico di sana. Kini mereka berdiri berhadapan. Jarak mereka cukup dekat.
"Lo sendirian?"
Pertanyaan Yulia itu sedikit menggoyahkan Chico. Entah mengapa Chico menganggap bahwa Yulia mengharapkan ada orang lain bersamanya. Dan orang lain itu adalah Theo.
"Seperti yang lo lihat. Hanya kita berdua di sini," jawab Chico. Ia berusaha terus tersenyum. Menyingkirkan pikiran pesimisnya sejauh mungkin.
Tapi Yulia malah tertawa. "Lalu ngapain lo ngajakin gue ke sini? Mau main petak umpet?"
Chico menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kenapa Yulia harus bertanya seperti itu? Apakah Yulia benar-benar tak peka? Atau ia hanya pura - pura tak peka saja? Berusaha membuat Chico menyerah dengan halus, agar ia tak terlalu sakit hati.
Tapi tidak, Chico tak akan menyerah. Hanya pria lemah yang menyerah mendapatkan pujaan hatinya, Cuma karena diabaikan atau ketidak pekaan. Justru seharusnya itu memicu Chico untuk lebih berusaha lagi bukan? Seperti yang sedang ia lakukan saat ini.
"Yulia ... s - sebenarnya." Perlahan Chico mengeluarkan bunga itu dari balik punggungnya.
Mata Yulia membulat menatap bunga itu. Dan kemudian pandangan Yulia beralih dari bunga itu ke Chico. "Chico ...."
"Gue suka sama lo." Kalimat itu mengalir dengan lancar dari mulut Chico. Namun Chico belum berani menatap Yulia. Ia masih terus menunduk.
Chico merendahkan posisinya. Kini ia berlutut di hadapan Yulia. Layaknya pangeran yang hendak melamar tuan putri di negeri dongeng.
"Lo nggak harus jawab sekarang. Lo bisa pikirin dulu." Chico mendekatkan mawar itu pada Yulia. "Ini buat lo."
Yulia ingin sekali menerima bunga pemberian Chico. Agar Chico tahu bahwa ia menghargai usaha Chico ini. Tapi tidak. Bila Yulia menerimanya, sama artinya dengan memberi Chico harapan palsu.
Yulia tidak ingin melakukannya sehingga membuat Chico semakin tersakiti nanti. Ini di luar dugaannya. Ia tak pernah tahu bahwa Chico menyimpan rasa untuknya.
"Chico ... maaf." Yulia menggenggam jemari Chico. Namun tidak untuk mengambil bunga itu, melainkan untuk menurunkan jemari pemiliknya.
Mata Chico membulat. Ia terkejut dengan sikap yang diambil Yulia ini. Dan bukankah tadi Yulia sempat mengucapkan kata maaf? Karenanya, ia merasa ditolak sebelum Yulia menjawabnya dengan lengkap.
"Gue nggak minta lo jawab sekarang. Tolong pikirin dulu!" Chico berusaha membujuk Yulia.
Yulia menggeleng. "Maaf. Tapi selama ini gue cuman nganggep lo temen."
"Apa nggak bisa lo pikirin dulu? Terserah lo sampai kapan. Seminggu? Dua minggu?"
Yulia menunduk. Ia sama sekali tak ingin menyakiti Chico. Namun ia juga tak bisa membohongi perasaannya sendiri. "Gue bener - bener minta maaf. Tapi gue suka sama orang lain."
DEG. Chico tahu. Chico tahu kau menyukai orang lain, Yulia! Tapi jika kau mengatakannya secara langsung seperti ini, akan berbeda ceritanya. Chico meremas buket bunga di tangannya.
"Theo, kan? Orang itu Theo, kan?"
Yulia terkejut. "G - gimana lo bisa ...."
"Apa lo nggak bisa lihat gue dikit aja?"
Chico melempar buket bunganya. Kelopak mawar tercecer di lantai hijau stadion ini. Yulia hanya bisa menatap Chico dengan takut. Sungguh ia tidak menyangka bahwa Chico bisa menatapnya dengan penuh amarah seperti sekarang ini.
~~~~~ I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
-- T B C --