Theo melirik tajam Chico di sampingnya. Lagi-lagi mulut besar Chico membuat telinganya panas. Ia terus membicarakan Yulia sepanjang hari. Yulia inilah, Yulia itulah. Intinya Chico curhat betapa besar rasa kagumnya pada gadis itu. Bicaranya lancar sekali, saking lancarnya Theo sampai muak.
Mereka bahkan tidak dekat—Theo tidak dekat dengan siapapun. Namun Chico selalu menempel padanya, sehingga orang-orang menganggap mereka berteman. Theo tak sudi dianggap seperti itu. Hanya saja ia merasa tak terlalu penting menanggapi anggapan-anggapan orang tentang dirinya. Itu bukan urusannya.
Theo si dingin, Theo yang irit bicara, dan Theo yang misterius. Berteman dengan Chico si tiang listrik, bermulut besar, dan terlalu ekstrovert.
Kata mereka Theo dan Chico adalah sepasang sahabat yang saling melengkapi. Di mana Theo selalu merasa ingin muntah setiap kali mendengar pendapat-pendapat itu.
"Dia tadi bicara padaku lho. Senyumnya ... Ya Tuhan ...." Chico mengatakannya lagi.
Sialnya ia baru menyadari bahwa kini Theo tengah mendelik tajam. Ia menelan ludah. Kalau sudah begini, mau tak mau ia harus diam. Pasti Theo bersikap seperti itu karena ia sudah terlalu cerewet. Chico akhirnya menunjukkan deretan gigi rapinya, tanda mengajak damai.
Theo melanjutkan langkahnya. Namun baru beberapa langkah ia berhenti. "Jangan ngikutin gue!" hardiknya pada Chico.
Selanjutnya ia benar-benar pergi. Meninggalkan Chico yang kini mencebik. "Dasar manusia aneh! Masih untung gue mau temenan sama dia!" dengkusnya sebelum akhirnya berbalik arah melewati koridor lain.
***
Theo sampai di sebuah taman yang dibangun oleh pemerintah, khusus sebagai tempat bermain anak-anak. Sudah cukup lama sejak Theo rutin berkunjung ke sini sepulang sekolah. Padahal sudah jelas tertera di depan sana, bahwa taman ini khusus untuk anak-anak. Setidaknya bila Theo ingin masuk, ia harus membawa adiknya si Namira. Tapi nyatanya ia selalu datang sendiri.
Ia berjalan lurus menuju destinasinya.
Sampai di depan area bermain, ia berhenti. Di sana berdiri seorang wanita anggun yang mungil. Ia berdiri di bawah tangga perosotan. Tersenyum menatap buah hatinya bermain dengan gembira bersama anak-anak lain. Bergantian naik tangga, lalu meluncur dengan wajah kelewat senang.
Dua bulan? Ah.. tidak. Sudah hampir tiga bulan. Ya, sudah tiga bulan ini Theo seperti orang gila. Ia merasa begitu bergantung pada wanita itu. Rasanya seperti terkena guna-guna. Meskipun sebenarnya Theo juga tidak tahu seperti apa rasanya duguna-gunai.
Pernah sekali Theo mencoba untuk tidak ke sini. Hanya untuk memastikan bahwa ia bisa hidup tanpa harus pergi ke sini setiap hari. Dan rupanya memang tidak.
Tengah malam ia tak bisa tidur, ia berlari menuju taman ini. Tentu saat itu di sini sudah kosong—tak ada orang. Dan pastinya suasana sangat gelap nan hening. Hanya terdengar suara jangkrik dan burung hantu di atas pohon.
Namun anehnya Theo langsung merasa tenang begitu sampai. Rasa gelisahnya sepanjang hari itu langsung menghilang. Padahal tak ada sosok wanitanya di sana, tapi setidaknya dengan berada di sini, di tempat di mana wanita itu biasa berpijak, sudah cukup untuk membuat Theo merasa tenang.
Lamunan Theo akhirnya berakhir saat Wanita itu terlihat melangkah menjauh dari anaknya. Theo tahu ia pergi ke mana. Pasti bocah nakal itu minta dibelikan es krim lagi. Biasanya sih begitu.
Theo melihat sesuatu terjatuh dari tasnya. Sebenarnya tas itu memang sudah terbuka sedari tadi. Theo mengutuk dirinya karena sejauh ini belum pernah berani mengajaknya ngobrol, alhasil ia juga tak berani memberitahunya bahwa ritsleting tas itu tidak tertutup dengan baik. Theo beranjak menghampiri tempat terjatuhnya benda itu. Sebuah dompet.
***
Alila tersenyum pada penjual es krim. Ia membawa es krim di tangan kiri, dan tangan kanannya sibuk mencari dompet di dalam tas. Sampai ia menyadari bahwa dompetnya tak ada. Rautnya berubah panik.
"Sepertinya dompet saya jatuh. Biar saya cari dulu." Alila mengembalikan es krim itu pada penjualnya.
"Nggak usah, Nyonya. Anda, kan, langganan kami. Bawa aja, bayar nanti."
"Ah ... terima kasih."
Theo menghentikan langkahnya ketika sampai di depan kedai es krim. Ia lega wanitanya masih di sana. Tapi tidak! Sepertinya ia akan segera pergi. Theo melangkah cepat. Ia sebenarnya ragu. Tapi ia mengumpulkan keberanian.
Punggung mungil wanita itu berada tepat di hadapannya.Tangan Theo sudah terulur sempurna, beserta dompet berwarna pink pastel yang dibawanya.
"P-permisi!" Ucapan Theo hampir tak terdengar saking lirihnya.
Tentu saja wanita itu sama sekali tak menghentikan langkahnya. Theo mengutuk dirinya sendiri. Kenapa suaranya pelan sekali?
"Nona ... ini dompet Anda!" seru Theo akhirnya.
Seketika wanita itu berhenti. Ia berbalik. Seperti adegan slow motion dalam film. Theo bisa melihat caranya berbalik, rambut panjangnya terkibas pelan. Dan kini Theo bisa melihat wajahnya yang begitu ayu.
Theo berani bersumpah. Jantungnya berdegup sangat cepat. Bahkan saat ia berlari tadi, degupnya tak secepat ini.
Wanita itu tersenyum, Theo menelan ludah. Jantung Theo serasa akan lepas kala wanita itu berjalan mendekat.
"Ya Tuhan ... benar ini dompet saya. Terima kasih, ya!" Ia mengambil dompet itu dari telapak tangan Theo yang kokoh.
Wanita itu begitu mungil. Ia hanya setinggi bahu Theo. Untuk pertama kalinya, mereka bercengkerama. Dan rasanya seakan membuat Theo mabuk darat, laut ,dan udara sekaligus. Seperti ada banyak kupu-kupu yang sedang terbang dalam perutnya. Geli namun menyenangkan.
***
Mereka bertiga tengah duduk bersama di sebuah bangku panjang. Alila, Dio, dan Theo. Sesekali Theo melirik Tante Ali-nya di sela aktivitas memakan Es Krim. Tante Ali? Terdengar menggelikan dan sok akrab.
Theo akhirnya tahu namanya. Alila. Nama yang indah seperti orangnya. Dan di dalam hati Theo memanggil Alila dengan sebutan Tante Ali. Namun pada kenyataannya ia hanya memanggil Alila dengan sebutan Nona.
"Dio, bilang terima kasih sama Kak Theo!" Alila bercengkerama dengan putranya. Ia sibuk memegangi es krim yang tengah dimakan oleh Dio.
Theo merengut sebal melihatnya. Cemburu? Mungkin. Theo pun lanjut memakan es krimnya sendiri. Es krim ini sangat berharga. Pemberian pertama dari Tante Ali-nya. Theo bersumpah dalam hati, ia tak akan membuang stik es krimnya nanti.
"Dio ... Kak Theo tadi yang nemuin dompet kita, lho. Kita harus berterima kasih padanya. Bilang apa?" Alila terus membujuk Dio untuk mau berterima kasih.
Tapi anaknya itu hanya menatap tajam pada Theo. Tanpa Alila ketahui, Theo pun tengah menatap tajam pada Dio saat ini.
Selama ini selain memperhatikan ibunya, Theo juga memerhatikan anak itu. Mau tidak mau harus memperhatikan, karena anak itu selalu berada di dekat Alila. Dio, yang kata Tante Ali usianya baru lima tahun. Dia tergolong anak yang aktif bergerak, namun irit sekali bicara.
Dan lihatlah tatapannya itu. Ia seperti sangat tak rela dengan kenyataan bahwa ibunya juga membelikan es krim untuk orang lain. Tepatnya pada siswa SMA bernama Theo itu.
"Theo, ngomong-ngomong apa yang kamu lakuin di sini, hum? Apa kamu lagi nganter adikmu main?"
Seketika Theo tersedak. Ia terbatuk beberapa kali. Alila menepuk punggung Theo.
Theo kaget setengah mati, ia hanya tak pernah mengira bahwa pertanyaan seperti ini akan muncul secara sangat tiba-tiba. Ya Tuhan! Apa iya ia harus menjawab bahwa tiap hari ia memang ke sini untuk menguntit tante Ali?
Tapi itu terlalu jujur dan gila. Tante Ali pasti akan takut padanya nanti. Theo pun memutuskan untuk berbohong.
"I-iya, Nona. Adikku Namira suka sekali main di sini."
"Wah, adik kamu perempuan. Pasti dia cantik banget ya. Kakaknya aja ganteng gini!"
Theo serasa terbang ke langit. Soal ia ganteng memang sudah menjadi rahasia umum. Tak perlu ditanyakan ataupun dibahas lagi. Tapi karena ia mendengar kata ganteng itu dari bibir Tante Ali, rasanya 1000 kali lipat berbeda. Terasa seperti meminum es cendol alpukat di siang bolong. Begitu menyegarkan hati dan pikiran.
"Ngomong-ngomong di mana Namira sekarang? Astaga ... kamu ninggalin dia sendirian dari tadi?"
Satu pertanyaan lagi dari Tante Ali yang menghancurkan fantasi Theo tentang es cendol. Theo gemas ingin memukul kepala bodohnya. Satu pertanyaan tak terduga lagi. Terpaksa ia berbohong untuk kedua kalinya.
"Tadi aku ke sini bertiga, dengan Nami dan dengan salah satu kakakku, Kian. Jadi Nona tenang aja, Nami lagi sama Mas Kian sekarang." Theo memamerkan cengirannya.
Mungkin hanya Alila satu-satunya orang yang pernah melihat Theo berkelakuan bodoh seperti itu. Karena di mata semua orang yang pernah mengenalnya, Theo adalah pangeran es yang irit sekali bicara. Dan ia juga adalah seorang perfectionist yang jarang sekali menunjukkan kekurangannya pada orang lain.
"Ah ... syukur, deh, kalau gitu. Mbak pikir kamu ninggalin dia sendiri. Tahu gitu tadi Mbak beli lebih banyak es krim. Seharusnya kamu bilang kalau kamu ke sini dengan saudara-saudaramu."
Theo hanya menjawab dengan senyuman. Berharap Tuhan mengampuninya karena sudah berbohong pada orang sebaik Alila.
Lihatlah, Alila menyebut dirinya sendiri dengan kata acuan Mbak, padahal sudah jelas-jelas Theo memanggilnya dengan sebutan Nona. Itu artinya Tante Ali akan lebih nyaman kalau dipanggil Mbak daripada Nona. Tapi Theo masih tetap memanggilnya Nona.
Ini baru Nona, bagaimana jika Theo benar-benar memanggilnya Tante Ali kelak? Mungkin saja ia keceplosan dan memanggilnya begitu. Bisa-bisa Alila akan berubah memanggil dirinya sendiri dengan kata acuan Bulek. Kan tidak lucu.
Tiba-tiba ponsel Alila berdering. Theo memperhatikan detil cara Alila membuka tas, kemudian mengambil ponselnya, dan mengangkat telepon masuk itu. Semua terlihat begitu indah. Theo benar-benar sudah gila.
"Theo, sepertinya Mbak dan Dio harus pulang duluan. Suami Mbak udah jemput di depan."
Sebuah skak mat.
Suami?
Ya Tuhan, kenapa selama ini Theo selalu berpikir bahwa Alila itu adalah seorang janda? Theo mengakui bahwa pikirannya terkesan jahat. Tapi Theo memang menyangka seperti itu. Kenyataannya Alila adalah wanita bersuami, yang memiliki anak lelaki super lucu. Penggambaran yang cukup bagi sebuah keluarga kecil yang bahagia.
"Bye, Theo!" Alila menepuk pundak Theo beberapa kali. Cukup untuk menenangkan ketegangan di hati Theo. Theo berusaha tersenyum meskipun sulit.
Alila terlihat menggoyangkan tangan Dio untuk melambaikan tangannya pada Theo, meskipun anak itu terlihat ogah-ogahan. Theo pun dengan sangat terpaksa ikut tersenyum dan melambai balik pada Dio.
Theo sebenarnya belum ikhlas melepas Tante Ali. Setidaknya mereka harus bertukar nomor ponsel terlebih dulu sebelum berpisah kan? Tapi Theo menyadari bahwa hal itu terlalu lancang dilakukan pada sebuah pertemuan pertama. Apalagi wanita itu jauh lebih dewasa darinya. Dan juga sudah ... bersuami. Dan memiliki anak.
***