Bubur Hambar

1049 Kata
Theo cemberut terus semenjak Alila datang dengan Jo. Theo kesal karena hari ini Tante Ali - nya terlambat datang. Theo sebenarnya melihat mata sembab Alila. Ia penasaran kenapa Alila menangis. Tapi ia tak mau bertanya. Takut salah bicara. Siapa tahu Alila menangis karena baru bertengkar dengan Jo. Terlalu lancang bila Theo terang - terangan bertanya tentang urusan keluarga mereka. Meski bagaimana pun, Theo tetap tahu batasan. Apalagi setelah segenap kebaikan yang dilakukan oleh Alila dan keluarga, yang bahkan lebih peduli padanya dibandingkan keluarganya sendiri. "Lo makan dengan baik hari ini," komentar Jo ketika melihat mangkuk bubur Theo sudah kosong. "Iya lah. Gue pikir kalian nggak bakal dateng, kan jadi nggak ada yang maksa gue makan," jawabnya. Theo sengaja berkata demikian supaya dua orang itu tahu bahwa ia sedang ngambek. "Jangan ngambek gitu! Tadi kami ada urusan sebentar," jelas Alila. Seperti biasa wanita itu selalu bicara dengan lemah lembut, juga selalu menyertakan senyumnya yang begitu menawan. Theo tersenyum karena kali ini Tante Ali - nya yang bicara. Membuat Jo merasa ingin muntah melihatnya. Alila dan Jo sengaja merahasiakan agenda mereka menemui Mama hari ini. Mereka hanya takut Theo kepikiran dan akhirnya stres lagi. Sehingga berisiko bagi kondisinya. "Kata Ali lo pengen bikin coffee shop buat Papa lo?" tanya Jo tiba - tiba. Sebuah pertanyaan yang tak pernah Theo duga akan keluar dari mulut seorang Jo. "Apa? Jadi kalian sering ngomongin gue saat berduaan aja. Wow, Gue tersanjung lho!" Theo malah menjawabnya dengan candaan. Dan ia sukses dapat hadiah cubitan dari Alila. "Kalo lo serius, ntar gue bantuin cari lokasinya." Jo menambahkan. Ia rupanya sudah kebal dengan sifat tengil Theo. Theo sejujurnya merasa kaget dengan tawaran Jo. Ya ... ia tahu Jo memang orang baik. Ia mengakuinya. Hanya saja Theo tak menyangka bahwa Jo sebaik ini. Bahkan kepada dirinya yang seharusnya Jo benci. Seakan kebaikannya mengantarkan sang istri ke sini setiap hari untuk menemani Theo belum cukup. Ia kembali menawari Theo sebuah kebaikan lain. Benar kata orang bahwa orang yang baik akan mendapat jodoh yang baik pula. Theo sudah menyaksikannya sendiri sekarang. Jo adalah orang yang pantas untuk Alila. Kini Theo merasa begitu kecil. Siapa dirinya yang berani - beraninya muncul di tengah mereka? Memang Theo tidak boleh lagi memupuk perasaannya untuk Alila. Ia bukan orang jahat yang tega merusak kebahagiaan orang lain. Meskipun ia harus mengorbankan perasaannya sendiri. "Sebenernya bukan coffee shop, kedai kopi kecil - kecilan aja. Duit gue belum sebanyak itu buat bikin coffee shop." Jo mengangguk mengerti. Ia sudah mendengar dari Ali tentang usaha Theo mencari uang sendiri demi papanya. Itulah yang membuat Jo akhirnya menawarkan diri untuk membantu. Jo ingat kata - kata Alila di dalam mobil tadi. "Awalnya aku nggak ngerti kenapa dia seperti buru - buru banget. Bahkan dia bilang ke mekanik pembuat mesin kopinya, buat menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin. Dan sekarang aku udah ngerti, dia pasti takut ... nggak sempet mewujudkan mimpinya." Jo pun mengerti hal itu. Sebagai dokter ia tahu sudah berada di mana kondisi Theo saat ini. Wajar bila anak itu takut. *** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa *** Theo mengajari Dio menulis siang itu. Perdebatan kecil mereka mewarnai suasana belajar. Dio kesal karena cara mengajar Theo yang terlalu terburu - buru. Beda sekali dengan mommy - nya atau Bu Guru di sekolah. "Pelan - pelan dong, aku belum bisa nulis secepat itu!" protes Dio. Dio yang menulis dengan posisi tengkurap di ranjang Theo, terlihat lucu sekali cemberut seperti itu. Dan ia terlihat 100 kali lipat lebih lucu, saat Theo menguncir bibir cemberutnya. "Aish ... lepasin! Tanganmu asin!" Dio membersihkan bekas kunciran Theo. "Selamat siang!" "Dio!" "Nami!" Theo menengok keluar. Mama dan juga Namira ada di sana. Lihat lah Dio yang saat ini berdiri girang di atas ranjang, saking senangnya bertemu Namira. Alila tiba - tiba muncul dari luar. Mempersilakan Mama duduk. Alila tadi berada di luar untuk menjemur kaos kaki Dio yang basah karena main air di sekolahnya. Ia terkejut sekali saat melihat Mama yang tiba - tiba sudah berada di ambang pintu kamar. Makanya ia buru - buru kembali. "Ya ampun, Sayang ...." Mama segera memeluk Theo begitu masuk. Kemudian mengelus punggung anaknya itu. "Mas Theo sakit apa sampai begini?" Pertanyaan itu dari Namira. "Sakit hati!" jawab Theo asal. Adiknya itu hanya menggeleng maklum dengan jawaban Theo. Selanjutnya Namira dan Dio berbondong keluar dari kamar ini, dan berlari - larian di luar. Alila segera membereskan buku dan alat tulis Dio dari ranjang Theo. "Maaf berantakan!" Alila jadi kikuk sendiri. "Terima kasih udah bantu jagain Theo ya, Ali!" ucap Mama tulus. "Itu bukan apa - apa, Tante," jawabnya. Kemudian ia keluar dari sana. Alasannya ingin mengawasi Dio dan Namira. Tapi sebenarnya ia memberi ruang privasi bagi ibu dan anak itu untuk bicara. Mama duduk di kursi plastik di samping ranjang Theo. "Mau Mama kupasin apel?" Theo menggeleng. "Belum boleh makan itu." "Kenapa ditaruh sini kalau kamu belum boleh makan?" "Itu dibawain sama temen. Ditaruh situ biar dia gampang makannya tiap kali ke sini." Theo membicarakan Chico dan Yulia. Mama mengangguk mengerti. "Terus kamu makan apa dong, Mas?" "Bubur." Mama terlihat prihatin mendengar jawaban Theo. "Kamu pasti makan nggak teratur kan. Makanya maag kamu kambuh terus." Theo hanya tersenyum. Mama memang sekedar tahu ia sakit maag. Mungkin karena penyakit itu sudah bawaan dari lahir. Theo sering sakit dari dulu karena maag - nya kambuh. Makanya tanpa bertanya, Mama langsung bisa menyimpulkan sendiri. "Ini jatah makan siang kamu?" tanya Mama melihat bubur di nakas. Theo mengangguk. "Kenapa belum dimakan?" "Belum laper, Ma." "Nungguin kamu laper tuh sama kayak nunggu induk ayam melahirkan kucing tahu nggak?" Theo tertawa keras mendengar candaan Mama. Di balik figur priyainya, sebenarnya wanita itu memang memiliki sisi lawak tersembunyi. "Mau Mama suapin?" "Nanti kalau dilihat Nami gimana?" Theo berusaha menolak. "Dia kan lagi main di luar." "Nanti kalau tiba - tiba masuk? Dia bisa ngejekin aku seumur hidup." "Halah ... udah makan aja. Aaa ..." Mama menyuapkan satu sendok penuh bubur pada putranya. Theo mau tak mau akhirnya membuka mulut. Menerima suapan itu. Mungkin memang tak apa, sekali - sekali disuapi seperti ini oleh Mama. Meskipun sepertinya Theo sudah terlalu tua untuk itu. Walaupun ini sedikit konyol, tapi Theo suka. Theo senang sekali hingga bubur yang hambar itu, terasa manis.  *** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa *** -- T B C --
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN