"Fra."
Baru selangkah Afra meninggalkan ruangan dosen, nama nya sudah di panggil lagi.
"Iya Pak, ada apa lagi?"
Bukannya Afra tidak ingin menanggapi dosen yang memanggilnya, tetapi rasa sakit itu selalu datang ketika tatapan mereka bertemu.
"Kamu masih marah sama saya?" tanya Yuda masih menatap lawan bicaranya yang hanya menundukan pandangan.
"Ngga, saya ngga marah kok sama Bapak," jawab Afra seraya memainkan tangannya gugup. Pasalnya getaran itu masih sama dan selalu ada di hatinya ketika bersama orang dihadapannya.
"Tatap mata orang itu jika kamu sedang berbicara dengannya," ujar Yuda dengan tegas.
Akhir nya Afra mengangkat kepalanya, dan memandang orang yang ada dihadapannya.
"Masih mau berjuang sama saya?"
Deg
Sebenar nya ini pertanyaan yang Afra tunggu-tunggu selama 3 tahun, tetapi pria di hadapannya baru mengucapkan ketika diri nya sudah mulai lelah dengan rasa yang diperjuangkan sendiri.
"Permisi Pak, saya masih mau bimbingan dengan pak Vino," ujar Afra tidak mau berlanjut dengan perbincangan ini.
"Jangan dekat dengan Vino lagi, nanti saya akan bicara dengan dekan kampus supaya kamu menjadi Mahasisiwi bimbingan saya."
Afra menyunggingkan senyum miringnya sangat tipis, "Apa hak anda mengatur saya. Saya mohon jangan ganggu saya lagi," Afra langsung berbalik badan meninggalkan ruangan yang banyak cerita tentang dirinya yang berjuang sendirian dengan ketulusan hatinya.
Baru dia ingin menarik engsel pintu, sang dosen berucap kembali, "Sekarang giliran saya yang memperjuangkan kamu."
Air mata Afra sebenarnya sudah di ujung mata, sekali kedip saja air matanya akan mengalir deras. Tidak mau mengis di dalam sini, Afra langsung melarikan dirinya menemui para sahabatnya di perpustakaan.
Tunggu, sekarang waktu nya saya yang memperjuangkan mu. Saya masih tau, kamu mencintai saya dengan tulus, gumam Yuda dengan memegang dadanya memahan rasa sakit ketika orang yang dulu memperjuangkannya ingin mengakhiri begitu saja ketika dia berbalik ingin berjuang bersama.