1. Hot, Rebel, & Player
Berani sumpah, Gajendra Luki Paramartha sangat lah menyayangi keluarganya. Baik itu kedua orang tuanya, maupun Hara, adik perempuan satu-satunya. Demi melindungi keluarganya, Jendra rela melakukan apapun. Jika ada yang berani menyakiti mereka atau melakukan sesuatu yang buruk pada mereka, Jendra lah yang akan pasang badan pertama kali untuk melawan. Jika menyangkut keluarganya, Jendra tidak akan takut pada siapa pun.
Namun, terlepas dari rasa sayang yang dia miliki terhadap keluarganya, dari dulu Jendra paling tidak suka jika hidupnya diatur. Bagi Jendra, rasa sayang terhadap keluarga dan jalan hidupnya adalah dua hal yang berbeda. Apa yang ia pilih sebagai jalan hidupnya, itu urusan Jendra sendiri dan tidak ada satu orang pun yang berhak ikut campur, termasuk anggota keluarganya.
Dengan prinsip itu yang sudah dipegangnya sedari dulu, Jendra pun jadi anggota keluarga Paramartha pertama yang tidak menjadi dokter. Berbeda dengan seluruh anggota keluarganya yang menjadi dokter atau berkarir di dunia medis, Jendra justru melenceng jauh dengan berkarir sebagai seorang chef.
Jendra memang suka sekali memasak sedari dia masih kecil. Tidak seperti teman laki-lakinya yang menganggap memasak hanya untuk perempuan, Jendra justru menganggap kalau memasak itu merupakan kemampuan dasar untuk bertahan hidup yang seharusnya bisa dilakukan oleh semua orang, tanpa pandang jenis kelamin. Menurut Jendra, stigma tentang memasak yang hanya dikhususkan untuk perempuan itu konyol. Ketika masih SD, ia bahkan pernah bertengkar dengan teman sekelasnya karena ia diejek banci setelah memberitahu mereka jika hobinya adalah memasak dan ia bercita-cita menjadi seorang chef di restoran berpredikat michelin. Lewat pertengkaran itu, Jendra membuktikan jika hobi memasak tidak menjadikannya sebagai banci.
Hobi memasak Jendra itu disalurkannya dengan membantu asisten rumah tangganya memasak sejak ia masih SD. Karena sering di dapur bersama mereka, Jendra jadi bisa memasak berbagai macam menu, yang tidak semua anak SD bisa membuatnya. Jendra pun jadi sering memasak untuk keluarganya. Bahkan Jendra rasa ia lebih sering berada di dapur daripada ibunya yang selalu sibuk karena pekerjaannya sebagai dokter.
Beranjak remaja, Jendra sadar jika ia sama sekali tidak berniat untuk meneruskan karir sebagai dokter seperti keluarganya. Walau sedari kecil sudah diarahkan ke sana, Jendra tetap merasa takdir dan passion-nya bukan lah untuk menjadi dokter. Ia juga merasa otaknya tidak akan mampu untuk ke sana. Berbeda dengan adiknya yang terlahir genius dan suka belajar, Jendra justru kebalikannya.
Jendra paling benci belajar. Nilainya dalam pelajaran eskak di sekolah pun tidak pernah memuaskan. Jendra hanya jago di bidang olahraga dan kesenian saja di sekolahnya. Karena itu, ia jadi sering dibanding-bandingkan dengan Hara yang memang pintar dari sananya dan selalu mendapat peringkat pertama. Membuatnya dianggap tertinggal dari Hara, di saat dirinya berstatus sebagai kakak.
Hanya satu keahlian yang Jendra punya dan Hara tidak punya, yaitu kemampuannya dalam memasak. He's the best cooker in his family, while her sister was the worst. Akan tetapi, bagi keluarganya hal itu bukan lah apa-apa. Memiliki kemampuan memasak yang baik sama sekali tidak sebanding dengan nilai straight A yang selalu didapat Hara setiap tahunnya.
Jendra dan kecintaannya terhadap memasak serta kebenciannya terhadap belajar membuatnya selalu jadi bahan omelan orang tuanya. Bahkan, Jendra sempat dianggap tidak akan punya masa depan karena nilainya semasa sekolah terlalu hancur dan ia hanya ingin bersenang-senang dengan temannya tanpa pernah peduli dengan persiapannya untuk kuliah kedokteran.
Orang tua Jendra sempat mengamuk begitu tahu diam-diam Jendra tidak mendaftarkan dirinya di fakultas kedokteran pada kampus ternama yang sudah mereka pilih. Tanpa sepengetahuan mereka, Jendra justru mendaftarkan diri di Le Cordon Bleu yang merupakan salah satu sekolah kuliner terbaik di dunia.
Secara mengejutkan, Jendra diterima di sana.
Tapi, tidak peduli mau sebagus apa Le Cordon Bleu di mata dunia, orang tua Jendra tetap tidak merasa senang sama sekali. Jendra, anak sulung laki-laki mereka, yang digadang-gadang akan menjadi penerus ayahnya di rumah sakit, justru berbelok jauh dari haluan dan memilih berkarir jadi tukang masak. Jendra pun dianggap mempermalukan nama keluarga, tapi Jendra sama sekali tidak peduli, bahkan di saat ia dicap sebagai anak yang rebel. Toh, ini hidupnya dan ia sendiri yang akan menjalani. Jadi, Jendra berhak menentukan jalan hidupnya sendiri dan tidak akan membiarkan ada orang lain yang mengatur hidupnya.
Dan lihat lah bagaimana dirinya sekarang.
Jendra berhasil membuktikan kalau ia bisa sukses tanpa harus jadi dokter. Setelah lulus dari Le Cordon Bleu, cukup lama ia menetap di luar negeri dan berkarir di sana. Jendra pun berhasil menjadi chef utama di sebuah restoran berpredikat michelin, seperti yang pernah dimimpikannya waktu kecil.
Jendra baru kembali ke Indonesia setelah mendapat tawaran jadi juri tamu di sebuah acara kompetisi memasak yang bernama Cooking Master. Namanya mulai dikenal lewat kompetisi tersebut hingga ia jadi juri tetap di kompetisi memasak tersebut. Seantero Indonesia pun jadi tahu dengannya sebagai Chef Jendra yang ganteng tapi galak, dan selalu berkomentar pedas.
Karena sikap rebel-nya yang berani menentang aturan keluarga, Jendra sukses mendapatkan apa yang dia mau di hidupnya. Pekerjaan impian, ketenaran, semua yang dia mau, Jendra berhasil mendapatkannya.
Berkat prinsip yang selalu dipegangnya, Jendra jadi memiliki hidup yang menyenangkan. Untuk itu, ia akan selalu memegang prinsip tersebut dan selamanya tidak akan membiarkan siapapun mengatur hidupnya yang sudah sempurna.
***
"Baru lagi?"
Kepala Jendra terangguk menjawab pertanyaan yang baru saja diajukan oleh sang ibu padanya. Ada cengiran lebar di wajah Jendra, seolah menunjukkan bahwa jawaban yang diberikannya adalah wajar dan membahagiakan. Padahal, ibunya sama sekali tidak mengharapkan jawaban itu dari sang anak sulung.
Ambar Paramartha menghela napas, lalu memijat pelipisnya sendiri. Ia merasa pening karena lagi-lagi, Jendra membawa perempuan baru di acara kumpul keluarga mereka. Entah ini sudah perempuan ke berapa yang dikenalkan Jendra pada keluarga mereka. Dan tidak ada satu pun dari semua perempuan itu menjalin hubungan serius dengan putra sulungnya. Termasuk yang satu ini.
Keluarga mereka sedang berada di lapangan golf sekarang. Setiap bulan memang ada kumpul keluarga rutin bagi mereka, entah itu sekedar makan bersama, atau main golf seperti sekarang ini. Jendra dan Ambar tengah menepi di pinggir lapangan, sementara perempuan yang dibawa Jendra berada di lapangan bersama Hara, dan Baskoro Paramartha. Sibuk mengobrol sambil mengusahakan bola golf mereka memasuki lubang.
"Yang kali ini juga nggak serius, kan? Just a fling?" Ambar kembali bertanya.
Dan lagi-lagi, Jendra menganggukkan kepala.
Helaan napas Ambar pun kembali terdengar dan terasa lebih berat. Ia lelah sendiri memikirkan putranya yang tidak pernah mau memiliki hubungan serius.
Jendra memang selalu dikelilingi oleh wanita, ia tidak pernah lepas dari suatu hubungan. Hanya saja, hubungan-hubungan yang Jendra jalani tidak pernah ada yang serius. Paling lama hanya bertahan sebulan. Alasannya selalu sama, Jendra benci hubungan berkomitmen. Yang membuat Ambar dan suaminya sempat stress, Jendra juga pernah bilang kalau ia tidak akan mau menikah. Jendra hanya mau bermain-main, dan tentu saja itu bukan lah sesuatu yang seharusnya dilakukan.
"Dia baik kok, Ma. Anaknya smart, S1 dan S2 lulusan Stanford. Dia juga nggak berasal dari kalangan entertain. Dan sekarang kerja sebagai konsultan bisnis di Rangkai Bumi, terus punya clothing line sendiri. Mama pasti nyambung kalau ngobrol sama dia."
Dia yang dijelaskan oleh Jendra adalah Berliana Clairine, perempuan yang dibawanya ke acara kumpul keluarga hari ini. Jendra baru saja mengenal Berlin minggu lalu, dikenalkan oleh salah satu temannya. Dia baik dan cantik, sehingga Jendra tertarik. Dan berhubung Berlin tidak menolak diajak ke sini, jadi di sini lah mereka sekarang.
Ambar menggelengkan kepala menanggapi penjelasan Jendra tadi. "Walau dia cantik, baik, dan pintar, Mama nggak mau mencoba mengakrabkan diri sama dia. Buat apa juga, kan? Ujung-ujungnya dia nggak akan jadi menantu Mama, dan bulan depan kamu pasti bawa perempuan yang lain lagi."
"Ayolah, Ma....Mama kan udah tau kalau aku nggak mau berkomitmen dan punya hubungan yang serius."
"Mau sampai kapan begitu?"
"Nggak tau? Selamanya...mungkin?"
Oh, sungguh Ambar tidak senang mendengar itu.
"Jendra...kamu nggak serius kan?"
Tapi, Jendra sendiri serius. Sebagai ibunya, Ambar pasti bisa langsung mengerti itu hanya dengan melihat ekspresi di wajah putranya.
"Aku kan udah bilang sendiri ke Mama sama Papa. Sampai sekarang, pernikahan nggak pernah ada dalam daftar prioritas hidup aku. Dan aku juga nggak suka harus menjalani hubungan berkomitmen. I just wanna have fun!"
"Kamu sadar nggak kalau Mama sama Papa udah nggak muda lagi?"
Oh, man....tidak dengan pembicaraan ini lagi. Jendra mengeluh dalam hati.
"Jendra, selama ini kami sudah ngebebasin dan menuruti semua mau kamu. Kita biarin kamu sekolah kuliner dibanding kedokteran walaupun keluarga besar nggak ada yang setuju, kami biarin kamu jadi chef seperti yang kamu mau! Seharusnya, kamu juga dijodohkan tapi kami nggak ngelakuin itu karena tau, kamu nggak akan mau." Ambar menggelengkan kepala dan menatap Jendra dengan sorot mata lelah. "Sekarang kami biarin kamu milih pasangan kamu sendiri, Jendra. Kami mau liat kamu serius sama satu orang, menikah, dan bangun keluarga kamu sendiri. Stop habisin waktu kamu dengan main-main terus begini. Sebagai orang tua, kami cuma mau kamu menikah dengan siapa pun pilihan kamu. Susah banget emangnya?"
"Mama...I love you. I really do." Jendra mendekat untuk memberikan satu kecupan di pipi Ambar. "Tapi, tetap aja itu nggak akan ngerubah prinsip aku. Ini hidup aku, oke? Lagipula, apa yang udah aku punya sekarang, itu bukan karena Mama dan Papa kasih izin aku untuk ngelakuin itu. Aku berusaha keras untuk ini dan mencapai semuanya karena usahaku sendiri. Jadi...enggak, Mama, aku nggak mau nikah. Setidaknya sampai lima atau sepuluh tahun lagi."
Percakapan ini hanya membuat kepala Ambar pening. Jendra sungguh keras kepala dan tidak akan peduli dengan pendapat orang lain jika itu tidak sesuai dengan keinginannya. Ia selalu bisa memperjuangkan apa yang dia mau dan tidak akan pernah mau mengalah.
Lagi-lagi, justru orang tuanya yang mengalah.
"Kami sudah tua, Jendra. Sudah punya semua yang kami inginkan, kecuali menantu dan cucu. Sekarang, cuma itu yang kami mau." Hanya itu yang mampu dikeluhkan lagi oleh Ambar.
"Masih ada Hara. Aku yakin dia pasti nikah dan punya anak nanti," jawab Jendra kalem.
Ambar menggelengkan kepala. "Kamu tau sendiri apa yang terjadi sama adik kamu. Dia masih belum healing sepenuhnya dari perpisahan dengan Remon."
Jendra hanya mengangkat bahu. Itu bukan urusannya. Mau Hara belum healing atau tidak bisa menjalin hubungan dengan seseorang dalam waktu dekat, bukan berarti Jendra harus bertanggung jawab dengan menikah duluan dan membina keluarga seperti yang diinginkan oleh keluarganya.
Gajendra Luki Paramartha masih mencintai kehidupannya yang sekarang. Terkenal dengan julukan hot, rebel, and player karena ia tampan, berani mematahkan aturan yang ditujukan pada dirinya, serta pintar menaklukkan hati perempuan mana pun. Hidupnya yang seperti ini benar-benar menyenangkan dan Jendra sangat menyukainya!
Jendra memberikan satu kecupan lagi di pipi sang ibu yang satunya. Lantas, ia tersenyum manis. "Aku balik ke Berlin dulu ya, Ma," ujarnya. "Oh iya, Mama juga tenang aja. Bulan depan aku nggak akan bawa perempuan mana pun di acara kumpul keluarga kita karena kayaknya aku nggak bisa dateng juga. Aku bakal sibuk karena season terbaru Cooking Master udah mulai."
Ambar tidak menjawab dan hanya memerhatikan hingga sang putra berjalan menjauhinya dan menghampiri perempuan bernama Berlin itu. Tanpa segan, Jendra merangkul pinggang Berlin dan mengecup puncak kepala perempuan itu di depan keluarganya.
Melihat mereka membuat Ambar harus membuang pikiran kalau mereka terlihat cocok bersanding berdua. Pikiran itu hanya akan membuatnya kecewa karena Ambar tahu, hubungan Jendra dan perempuan itu tidak akan bertahan lebih dari satu bulan.
Ketika dirinya melengos, Ambar hanya bisa berdoa, semoga Jendra bisa menemukan seseorang yang bisa membuatnya jatuh cinta dan ingin berkomitmen. Serta, membuat putra sulungnya itu lepas dari titelnya sebagai seseorang yang hot, rebel, and player.