Bab 11. Resmi Mendaftar

1553 Kata
Sementara itu di luar rumah Wina, Ian terus melirik rumah berlantai dua itu. Ia penasaran dengan apa yang dilakukan Wina di dalam sana. Ia sudah membaca pesan dari King, tetapi King tidak ingin ia membalasnya. Padahal, ia ingin menanyakan Wina. Ia menggeleng. Mungkin itu akan terasa aneh bagi anak 7 tahun. Ian membuang napas panjang. Ia tahu ada pria dewasa di dalam rumah itu. Dan hal itulah yang sedang dipantau oleh Ian. Ia tahu Roki bukan suami Wina, tetapi mereka bertunangan. Mungkin, Roki akan menginap di rumah ini. Mungkin, Roki akan tidur dengan Wina malam ini. "Apa yang kamu pikirkan, Yan?" Ian memukul setir mobilnya sendiri. "Wina bukan anak kecil." Namun, karena Ian sangat penasaran dengan kehidupan Wina, akhirnya ia menunggu hingga beberapa jam berlalu. Ia akhirnya merasa lega ketika melihat sebuah mobil meluncur keluar. Senyum miring menghiasi wajah Ian kemudian. Ia yakin, Roki tidak bermalam di rumah ini. "Sekarang, aku bisa pulang dengan tenang," gumam Ian seraya melajukan mobilnya. *** King baru baru saja membuka matanya setelah ia berpura-pura tidur selama hampir satu jam. Ia harus memastikan Wina sudah benar-benar tidur untuk menjalankan aksinya. Pertama, King menurunkan kakinya dari ranjang. Ia menoleh pada ibunya yang tidur begitu lelap. "Maaf, Ma. Tapi, aku harus melakukan ini." King membatin seraya menarik laci nakas dengan sangat hati-hati. Ia berharap tak ada suara yang ditimbulkan oleh gerakan laci itu. Tangan kecil King menarik keluar formulir pendaftaran sekolahnya lalu ia juga mengeluarkan tinta cap yang sebelumnya juga ia ambil dari kamar Wina. King bergerak dengan sangat hati-hati karena ia tak ingin ketahuan. Ia membuka kotak tinta lalu mengambil tangan ibunya perlahan. Ia meletakkan ibu jari ibunya di sana lalu membubuhkan cap jempol di surat pendaftaran. Selesai. King nyengir sendiri karena usahanya berhasil. Namun, ia tak ingin senang sekarang. Ia menyimpan semuanya kembali ke laci. Lalu, ia berjingkat-jingkat ke kamar ibunya lagi. Ia mengambil kapas dan micellar water. Setelah membasahi kapas itu ia membawanya ke kamar. Ia membersihkan ibu jari Wina agar ibunya itu tidak terkejut ketika bangun tidur besok. "King, kamu nggak tidur?" tanya Wina tepat ketika King berdiri di dekat tempat sampah kecil di sebelah meja belajar. King menoleh terkejut. Ia baru saja membuang kapasnya. "Ah ... aku tadi pipis." "Kamu harus tidur. Ayo," kata Wina. Ia menepuk bantal King dua kali. "Berbaring lagi." King mengangguk. Ia lalu membaringkan dirinya di sebelah sang ibu. Ia merasakan lengan Wina membelai rambutnya dan ia tersenyum. Wina mungkin akan marah—sangat marah, tetapi King tidak ingin kalah dari ibunya. Ia merasa Ian adalah pria baik dan ia tak ingin dipisahkan dari ayah kandungnya lagi. Keesokan harinya. King terbangun dengan benak penuh rencana. Ia harus keluar dari rumah ini dan bertemu dengan Ian di gang belakang rumah. Namun, ia belum menemukan rencana yang tepat untuk melakukannya. Ini masih cukup pagi dan ia yakin Wina sedang berkutat di dapur dengan sarapan mereka. Jika ia meminta izin untuk berjalan-jalan, belum tentu ia akan mendapatkan izin. Ia tak akan dibiarkan berkeliaran sendiri saja setelah kecelakaan kemarin. King mendesahkan napas panjang seraya melirik Amber—kura-kura kecil miliknya yang tinggal di akuarium di atas meja belajarnya. "Mungkin, aku harus nakal sedikit." King berdiri lantas mengeluarkan Amber. Ia membiarkan Amber berjalan di lantai kamarnya. "Jangan sembunyi terlalu jauh," ujar King pada Amber. Lantas, anak itu segera keluar dari kamarnya dengan lembaran formulir di balik jaket. "Ma! Aku butuh bantuan Mama!" Wina yang sedang mengaduk sup pun langsung mematikan kompor. Ia membalik badan, panik, mengira King sakit lagi. "Ada apa? Apa kamu merasa pusing?" "Nggak. Tapi ... Amber keluar dari akuarium dan jalan-jalan di bawah kolong tempat tidur aku. Aku nggak bisa ambil dia, Ma. Kepala aku sakit kalau buat nunduk-nunduk." King tidak beralasan, ia memang belum sembuh total. "Astaga. Kenapa kura-kura kecil itu bisa keluar?" Wina berdecak dengan heran. King hanya mengangkat bahuku. "Aku mau Amber ditemukan, Ma. Kasihan." "Oke. Kamu tunggu aja di sini." Wina melepaskan apronnya lalu menepuk bahu King. "Jangan kemana-mana!" "Ya. Aku mau minum s**u," tukas King seraya membuka kulkas. King menoleh pada ibunya. Ia melirik jam dan sadar ia sudah kehabisan waktu. Ia takut Ian sudah datang dan pergi karena ia tak kunjung muncul. Jadi, ia pun segera keluar dari pintu belakang rumah. Ia membuka gerbang lalu mempercepat langkah memutari gang. Tak jauh dari King, Ian sedang mengedarkan matanya dari dalam mobil. Sudah lewat sepuluh menit, tetapi King tak datang juga. Ia sudah menunggu sejak pukul 05.00 dan kini ia agak cemas. Apakah King tidak berhasil mengisi formulir itu? Apakah Wina tahu ia meminta King bersekolah di tempatnya? Apakah akan semakin susah untuk menemui King? Namun, kecemasan Ian sirna ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobilnya. Ia segera menurunkan kaca mobil. King terlihat memamerkan berkas yang ia tunggu-tunggu. "Aku berhasil!" King mengacungkan lembaran formulir pada Ian. Ian tertawa pelan. Ia menerima kertas itu lalu membuka pintu mobil. Ditatapnya bocah kecil yang selalu membuat ia takjub itu. "Kamu ... benar-benar bisa melakukan ini?" King mengangguk sementara Ian memeriksa lembaran formulir tersebut. Ia terpukau. Ia lantas mengusap puncak kepala King dengan lembut. "Hebat! Seragam kamu akan segera dikirimkan. Kamu bisa mulai sekolah bulan depan." "Yes!" King mengangkat kepalan tangannya di depan d**a. Ian tersenyum. Wajah King sudah sangat segar, tetapi masih ada perban yang menempel di kepalanya. "King, apa kamu udah nggak sakit lagi? Kamu baik-baik aja?" "Ya. Aku udah jauh lebih baik, Om." King mengusap kepalanya yang ditatap oleh Ian sejak tadi. "Kadang ... aku pusing, tapi ini bukan masalah. Ah, aku harus pulang. Mama mungkin udah turun lagi." "Jadi, kamu kabur?" tanya Ian terkejut. "Hanya keluar sebentar," jawab King. Ian tak bisa melihat apa perbedaannya, tetapi ia kemudian tertawa. "Kamu harus berhati-hati. Jangan sampai kamu berlari terlalu kencang atau menyeberang tanpa melihat. Oke?" "Ehm, aku mengerti," tukas King. Ia masih punya banyak pertanyaan untuk Ian. Ia sangat penasaran dengan pria itu. "Om ngapain aja seharian?" "Om?" Ian menyandarkan tangannya di badan mobil. "Om kerja dan ... yah, kadang-kadang Om menghabiskan waktu di rumah." Kedua mata King membola. Ia jadi ingat ucapan ibunya bahwa Ian memiliki keluarga sendiri. "Apa Om punya istri?" Ian tersenyum tipis. "Istri Om sudah lama meninggal dunia. Dan Om nggak pernah menikah lagi." King mengangguk kemudian tersenyum. Tampaknya ada banyak hal yang tidak diketahui Wina tentang Ian. "Aku turut sedih atas kepergian istri Om. Sekarang ... aku harus pulang." "Ya. Om seneng bisa melihat kamu. Jangan bandel sama mama kamu. Makan yang banyak dan lekas sehat," kata Ian. Sama seperti King, ia sangat ingin bicara mengenai banyak hal. Namun, waktunya terbatas. "Om juga harus pergi. Tapi, kita akan ketemu lagi. Janji." King mengangguk. Ia lalu melambaikan tangannya. Tak lama, ia pun berlari menuju rumah dan beruntung, ketika ia masuk dapur Wina belum turun. Ia mengambil s**u dari kulkas dan menuangkannya di gelas. "King, Mama udah nemuin Amber. Dia ngumpet di dekat lemari kamu," ujar Wina seraya mengusap bahu King. King mendongak dan tersenyum pada Wina. "Thank you, Mama. Aku baru minum s**u. Sekarang, bisa kita sarapan?" *** Beberapa hari berlalu, Wina dan King baru saja selesai makan siang. Wina melipat kedua tangannya di depan d**a karena ia agak kesal dengan King. "Besok pagi, kita ke sekolah baru kamu. Mama tahu nggak mudah jadi murid pindahan, kamu akan bergabung dengan mereka di semester dua." King mengerucutkan bibirnya. Ia hampir protes pada ibunya dan memberikan penolakan lagi. Ia selalu beralasan bahwa ia masih kurang sehat untuk bepergian, tetapi kini alasan itu sudah tidak cocok lagi karena ia memang sudah sembuh. Dan tiba-tiba terdengar bunyi bel di depan. "Kita bicara lagi setelah Mama liat siapa yang datang. Oke?" Wina tak menunggu King mengangguk karena bel di depan kembali berdentang. Ia segera membuka pintu lalu menemukan seorang kurir berdiri dengan paket besar di tangannya. "Paket untuk King Asher," ujar si kurir. Wina mengerutkan keningnya. "Ya, saya ibunya. Apa ini udah dibayar?" "Ya. Tinggal tanda tangan aja," jawab si kurir. Wina berdecak pelan. Ia menandatangani surat penerimaan paket lalu mengambil kotak besar itu. Ia sudah kesal dengan King dan rasanya sekarang rasa kesalnya sudah meningkat. "King! Apa yang kamu beli kali ini? Video game? Karakter figur?" tanya Wina dengan tangan kanan berkacak pinggang. "Bukan. Itu pasti seragam sekolah aku," jawab King seraya berdiri. "Apa?" Wina membelalak kaget. Ia baru mencermati kotak yang ia bawa. Tulang belulang Wina seolah lenyap dari tubuhnya. "Apa yang udah kamu lakukan, King?" Wina membaca nama pengirim. Sekolah Dasar Permata Hati. Tidak, tidak! Wina meletakkan kotak itu di atas meja makan. Kini, kedua tangannya berada di pinggang. "Bilang sama Mama. Apa yang udah kamu lakukan?" seru Wina. "Aku mau sekolah di sana. Jadi, aku cuma ngirim formulir pendaftaran itu. Dan aku ... aku pakai cap jempol Mama. Maaf, tapi aku udah diterima di sana," kata King seraya berdiri. Ia menggeser kotak itu lalu membukanya. Wina menggeleng pelan. Ia tahu, King sering melakukan hal-hal di luar nalar. Namun, kali ini ia tak bisa menerimanya. "Kamu melakukan itu tanpa izin Mama. Itu artinya, kamu nggak akan pernah sekolah di sana!" "Aku cuma mau sekolah di sana. Aku pasti aman di sana. Ada papa aku di sekolah itu!" gertak King tak mau kalah. Rahang Wina mengeras seketika. Jadi, itu alasan King. Ia jadi menduga—dan dugaannya benar—bahwa Ian ada di balik semua ini. "Hanya karena dia papa kamu, bukan berarti dia bisa melindungi kamu, King. Jangan berharap sama pak Ian. Mama mohon."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN