Part 1- Kita Bertemu Lagi

1395 Kata
Tidak semua hal yang kita inginkan di dunia ini bisa kita dapatkan. Terkadang Tuhan membuat skenario kehidupan lain yang mungkin tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Bukan karena Tuhan tak suka dengan keinginan kita, melainkan Dia punya skenario lain di hidup kita yang lebih baik. Ada kalanya berpikir positif jika apa yang telah Tuhan gariskan adalah yang terbaik untuk kehidupanmu. Terkadang, meninggalkan dan melepaskan seseorang yang dicintai jauh lebih baik dibanding membiarkannya berada di dalam hidup kita. Bukan karena kita tidak menginginkannya tetapi karena kita tidak bisa bersamanya. Karena jika bersamanya hanya akan membuat orang itu terluka suatu saat nanti. Itulah yang Alga alami selama ini. Ketika ia mencintai Elsya lalu dirinya sadar jika kehadirannya hanya akan menyakiti gadis itu suatu saat, ia memilih untuk mundur dan membiarkan Elsya pergi. Ia ingin gadis itu bahagia. Pada dasarnya, meski terdengar munafik... setiap orang yang memiliki cinta memang ingin orang yang dicintai bahagia. Walau bukan bersamanya. Hari-hari berikutnya tanpa Elsya sudah menjadi kebiasaan bagi Alga. Pria yang sudah berumur delapan belas tahun itu hanya menekuni pekerjaannya di sebuah studio foto sembari terus belajar mempersiapkan diri sebelum masuk kuliah. Banyak hal yang berubah bagi hidup Alga tapi hanya satu hal yang tetap sama... yaitu rasa sepi. Alga tak menyalahkan siapapun, apalagi orang tua kandungnya yang telah tiada. Meski mereka telah melahirkannya dan membuatnya terombang-ambing di kehidupan yang kejam ini, ia tetap tak bisa membenci mereka. Mungkin memang jalan kehidupannya harus seperti ini. Ia hanya berusaha menerima hidupnya dengan ikhlas tanpa menuntut lebih, menjalani hidup layaknya air yang mengalir. Satu yang Alga pikirkan saat ini adalah, ia harus menggapai cita-citanya dan hidup dengan baik di atas kakinya sendiri. “Lo harus bahagia, Els. Jika tidak, gue akan merasa bersalah seumur hidup gue. Jangan bikin gue menyesal dengan sikap gue saat itu, Els. Ini yang terbaik untuk kita. Orang yang lahir dari penjahat kayak gue nggak pantas bersama gadis sebaik lo.” Alga menatap satu-satunya foto Elsya yang ia miliki ketika ia, Elsya dan Brian melakukan foto box di salah satu mall. Hanya itu kenangan yang Alga miliki soal persahabatan mereka bertiga. “Al. Ada yang nyariin lo,” ucap Rio—salah satu rekan kerja Alga yang umurnya hanya berbeda dua tahun itu. Sehingga ia sering menjadi teman bicara Alga dan mereka cukup akrab. “Siapa?” Alga merasa tak punya janji dengan siapapun. Toh ia memang tak punya teman lagi. Rio mengedikkan bahunya. “Lo lihat aja sendiri. Dia kayaknya pelanggan di sini juga sih.” Penasaran, Alga pun segera menemui orang yang Rio maksud. Ternyata seorang pria paruh baya dengan penampilan rapih. Pria itu tersenyum ramah pada Alga dan menyalami Alga dengan semangat. “Ada apa ya mencari saya?” tanya Alga dengan wajah bingung. “Kau yang kami cari selama ini.” Pria itu memperhatikan Alga dari atas ke bawah, cukup membuat Alga tak nyaman. “Tubuhmu ideal, kau juga tinggi dan tampan. Bagaimana kalau kau menjadi model di agensi kami? Kebetulan kami sedang mencari model baru dan belum menemukan yang pas selain dirimu saat ini.” “Apa? Model?” Pria itu mengangguk. “Sebelumnya perkenalkan, saya adalah Matius... asisten dari pemilik agensi itu. Memang tidak terlalu besar tapi kami bisa membuatmu terkenal.” Alga tersenyum tipis. Ia dengan sopan menggeleng. “Maaf, saya tidak berminat, Pak.” “Tidak hanya terkenal, kau bisa menghasilkan banyak uang dengan menjadi model di agensi kami. Yang jelas, kami tak segan membayar mahal untuk para model kami,” ucap Matius dengan suara yang meyakinkan. Mendengar soal bayaran yang mahal, membuat Alga berpikir keras. Ia merasa ini adalah kesempatan yang baik untuknya. Jika hanya mengandalkan gaji di studio foto, tentunya tak akan cukup untuk membiayai kuliahnya. “Jika kau berminat, besok saya akan membawakan kontrak untukmu. Kau bisa membacanya dengan baik jika meragukan kami.” Matius tersenyum lebar, berharap jika Alga mau menerima tawarannya. Ia sudah cukup lama memperhatikan Alga yang bekerja di tempat ini dan baginya Alga sangatlah pas untuk model di agensinya. “Bagaimana?” Alga pun mengangguk, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan besar yang datang padanya. “Saya mau.” “Terima kasih banyak, Alga. Besok saya akan kembali ke sini. Senang sekali bisa bekerja sama denganmu.” Matius menyalami Alga lagi bahkan sampai memeluknya, membuat Alga cukup kikuk. “Baik, pak.” .................. Elsya menatap langit yang berwarna biru muda cerah dengan awan putih yang tampak cantik. Selama beberapa hari ini ia suka sekali menatap langit, membuat hatinya tenang. Walau setelahnya banyak hal yang kembali ia pikirkan. Terutama soal perubahan sikap Alga hingga pria itu bisa mengatakan hal semenyakitkan itu padanya. Kata-kata yang tidak akan pernah bisa Elsya lupakan seumur hidupnya. Sayangnya meski pria itu telah mengatakan hal yang menyakitkan, ia tidak pernah bisa membencinya. Justru ia semakin bertanya-tanya dengan apa yang terjadi. Seringkali Elsya berkaca pada dirinya sendiri, apa ia memiliki kesalahan yang tak ia sadari? Atau ada hal lain yang mendadak mengubah sikap Alga padanya. Ia masih tak mengerti hingga saat ini, setelah berminggu-minggu berlalu pasca kelulusannya. Gadis itu tak pernah bertemu lagi dengan Alga sekalipun. Terakhir ia hanya bertemu Alga di taman belakang sekolah mereka dan memberikan pin bunga mawar biru yang dibuatnya pada pria itu. wajah sendu Alga yang sampai saat ini tak bisa ia lupakan dan selalu ia rindukan. “Lo dimana sih, Al? Gue kangen sama lo. Meski hanya bersahabat, gue nggak masalah asal masih bisa lihat lo seperti biasa. Nggak usah perduliin perasaan gue.” Elsya menutupi wajahnya dan kembali terisak. Nyatanya perasaan pada Alga masih terasa nyata dan tak pernah berkurang sedikit pun meski kini ia telah memiliki hubungan spesial dengan Aksa. Tapi namanya hati, mana bisa dipaksa? ................... Setelah menjalani OSPEK selama tiga hari penuh di kampus, keesokan harinya Elsya bisa menjalani kuliahnya seperti mahasiswi pada umumnya. Tanpa atribut aneh atau teriakan para senior yang memekakkan telinga. Nyatanya OSPEK di masa kuliah jauh lebih buruk untuk kesehatan jantung dibanding MOS saat SMA yang sepertinya tidak seberapa itu. Untunglah jantung Elsya sampai saat ini masih baik-baik saja. Di hari pertama kuliah, ada kuliah perdana yang berisi berbagai sambutan dari para petinggi kampus dan bazar yang sengaja dibuat untuk menyambut para mahasiswa mahasiswi baru di kampus mereka. Universitas Tri Buana Tulisan besar yang menjadi ikon terbaik di kampus itu menyambut kedatangan para mahasiswa baru yang tengah membawa harapan mereka untuk mencapai mimpi di kampus bernuansa biru muda ini. Termasuk Elsya yang sampai tidak bisa tidur karena tak sabar untuk memulai dirinya sebagai mahasiswi kampus. Tak ada lagi seragam putih abu-abu yang menjadi identitasnya, hanya ada dress berwarna biru muda kesukaannya dan tas berwarna peach yang akan menjadi favoritnya. “Wah! Ternyata cewek-cewek kampus tuh modis-modis semua ya. Cantik semua. Nggak keliatan culun kayak pas masih pake seragam putih abu-abu,” ucap Elsya yang terkagum-kagum pada mahasiswi seangkatannya yang memiliki fashion yang bagus. Tidak seperti dirinya yang serba simpel. Mengenakan make up saja ia belum bisa. Padahal ia mahasiswi fashion design yang seharusnya bisa menjadi calon pilar fashion di masa depan. “Gue jadi minder.” “Fokus neng, fokus!” Brian yang berjalan di belakang Elsya menepuk pundak sepupunya itu. “Masa lo terpesona sama cewek sih? Normal kan lo?” cerocosnya membuat kepala Elsya mendadak pusing. “Lo ngapain sih di sini? Gedung kampus lo kan di sebrang sana.” Elsya memonyongkan bibirnya ke arah gedung berwarna biru muda dengan huruf B kapital di bagian puncak gedung. Itu adalah gedung jurusan bisnis seperti jurusan yang Brian inginkan. Katanya dia ingin melanjutkan perusahaan orang tuanya. Tadinya Brian pun memaksa Elsya untuk ikut ke jurusan bisnis, mengingat keluarga besar mereka memang mengabdikan diri pada dunia bisnis. Sayangnya Elsya bersikeras ingin menjadi designer. “Katanya mahasiswi fashion design cantik-cantik. Ternyata bener ya.” Pria itu asik memperhatikan para gadis di sekitarnya. “Dasar jelalatan lo!” Elsya menggeleng kesal dan meninggalkan sepupunya itu. Lebih baik ia pura-pura nggak kenal dengan Brian daripada ketahuan memiliki sepupu yang mata keranjang begitu. Saking kesalnya, ia sampai tidak memperhatikan jalan. Tubuhnya terasa menabrak punggung seseorang hingga membuat tulang hidungnya terasa sakit. “Aw!” Ia memegangi hidungnya, memastikan jika masih ada di tempatnya dengan aman. Seseorang yang punggungnya baru saja ditabrak oleh Elsya pun menoleh. Pria berkemeja navy itu mengernyitkan keningnya saat melihat seorang gadis yang tengah memegangi hidungnya sendiri dengan wajah kesakitan. “Lo nggak... “ Seketika dunia terasa berhenti saat gadis itu mengangkat wajahnya dan menatapnya. “Alga?” “Elsya?”      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN