Pertemuan Pertama

1096 Kata
Malam itu Citra tak dapat tidur. Matanya seolah tak mau terpejam meski telah dipaksa sekalipun. Ia lalu hanya berbaring telentang, memandang ke arah langit-langit kamar. Seketika memorinya berpusing ke masa awal pertemuannya dengan Rendra dulu. "Mbak!" Seorang pria terdengar berseru ke arahmya. Hal mana membuat Citra spontan berhenti melangkah dan menoleh kr sumber suara. Dilihatnya sesosok pria yang masih mengenakan helm dengan pelindung tangan tampak tergesa menuju ke arahnya. "Saya?" tanya Citra sekedar menastikan apa benar yang dituju oleh pria itu adalah dirinya. Soalnya ia merasa sama sekali belum mengenal sosok asing itu. "Iya. Ini tadi jatuh di depan gedung sana. Punya Mbak, bukan?" Si pria menunjukkan sebuah notes persegi bersampul hitam tebal miliknya. Notes yang sangat penting untuk dibawanya hari itu! Astaga! Gegas diperiksanya tas yang dicangklong, memeriksa ke dalam apakah benar notes itu telah raib dari dalamnya. Benar, tidak ada. "Ya ampun, iya itu punya saya. Makasih banyak, Mas!" ucap Citra tak tahu harus mengucap terima kasih seberapa besar atas jasa pria itu yang betul-betul menyelamatkan dirinya. "Oke, hati-hati, Mbak. Biasakan resleting tasnya dikancingin, ya," ujar pria itu tersenyum kemudian berlalu pergi dari hadapan Citra. "Eh, makasih banyak sekali lagi, ya, Mas. Notes ini penting banget, kalau hilang nggak tahu deh bakal gimana nanti," ujar Citra kembali mengutarakan rasa terima kasihnya. Pria itu lalu nyengir dan memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Dibingkai oleh bibir yang tipis dan alis tebalnya, wajah itu tampak memesona di mata Citra. "Boleh kenalan, Mbak? Atau nggak usah deh kalau Mbak buru-buru." Pria itu berucap ragu karena dilihatnya memang Citra sedang sangat buru-buru. Citra lalu berpikir cepat dan ia mengulurkan kartu nama yang diambil dari saku samping tasnya. "Ini kartu nama saya. Kenalannya nanti aja pas sudah di luar jam kerja, ya. Ini ... hari pertama saya kerja," jawab Citra lalu bergegas melanjutkan perjalanannya menuju lift untuk ke kantornya di lantai empat gedung perkantoran itu. Ia harus buru-buru masuk ke ruangannya sebelum kepala divisi mungkin saja berkeliling dan melihatnya belum hadir di jam masuk kantor. Itulah awal mula pertemuannya dengan seorang Rendra Hinata. Sangat berkesan bagi Citra pribadi, sebab itu adalah moment hari pertama masuk kerja dan diselamatkan hidupnya–oke, cuma notesnya, sih–oleh Renda. Seharian itu Citra tenggelam dalam kesibukan barunya. Perkerjaan yang baru didapatnya setelah lama didamba. Minggu lalu ia baru saja dipanggil interview dan setelah serangkaian tes akhirnya diterima bekerja sebagai salah satu staf akunting. Dan hari Senin itu adalah hari pertama ia menjalani masa training sebagai di perusahaan tersebut. Saking sibuknya observasi kantor dan sistem kerja serta sekaligus berkenalan dengan banyak anggota divisi lainnya, ia jadi sama sekali lupa telah memberikan kartu namanya kepada pria tadi. Itu bahkan kartu nama yang hanya berisi nama dan kontak saat dipakainya sebagai kartu tanda pengenal ketika masih belum memiliki pekerjaan. Sore sepulang kerja, saat ia tengah asyik bercerita tentang hari pertama bekerja di PT Bisco kepada kedua orangtuanya, saat itulah sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. "Halo ...?" sapanya dengan menjeda agar si penelepon memperkenalkan dirinya dahulu. "Sore, Citra." Sebuah suara ramah seorang pria terdengar. Suara yang Citra merasa pernah mendengarnya tetapi lupa entah di mana. "Iya, maaf dengan siapa, ya? Nggak ada kusimpan nomornya?" tanya Citra dengan nada penasaran. "Oh, aku yang tadi nemuin notes hitam ... di depan gedung," ucap si pria mencoba memberikan clue kepada Citra. Spontan Citra teringat kejadian tadi pagi dan segera kegugupan melandanya. Ya ampun, ia ditelepon pria keren sang penyelamatnya tadi! Dalam hati ia bersorak kegirangan. Citra meminta izin kepada orangtuanya untuk menerima telepon di kamarnya saja. Ia lalu buru-buru berlalu ke kamar sambil meneruskan berbincang dengan kenalan barunya. "Aku Rendra, salam kenal, ya, Cit!" ujar pria itu mengawali obrolan. "Ah, iya. Salam kenal juga, Rendra," jawab Citra dengan sedikit salah tingkah. Maklum, ia jarang sekali mengobrol dengan cowok, apalagi baru kenal sekali begitu. "Oh, ya. Makasih lagi, ya, soal notes tadi pagi. Sumpah kalau sampai ilang, aku beneran bakal bingung pas ngejalanin hari pertama aku tadi." Kembali Citra mengucapkan terima kasihnya untuk ke sekian kali. "Ah, nggak apa. Aku tadi udah coba manggilin kamu, sih, pas di depan. Tapi kayaknya kamu lagi tergesa banget sampai sama sekali nggak denger," kata Rendra menjelaskan. "Hehe, iya, aku emang buru-buru banget tadi tuh. Biasa lah, gugup di hari pertama," Citra mencoba bercerita masalahnya. Mereka pun mengobrol lama. Ada sebuah keakraban yang terjalin di antara mereka. Bahkan Citra merasa sikap Rendra sangat bersahabat untuk ukuran orang yang baru berkenalan. Tampaknya ia sosok yang mudah diajak berteman, pikirnya menilai. Dan begitulah, Rendra berkata ia adalah seorang agen asuransi. Dan ia terkadang juga perlu mendatangi kantor Citra setiap beberapa periode tertentu untuk menawarkan jasa dari perusahaannya. Kemudian ia juga bilang akan mampir menemui Citra bila sedang ke sana. Mereka pun berteman semenjak itu. Rendra sering mampir dan mengajak makan sianag bersama atau menjemputnya sepulang kerja meski sama-sama membawa kendaraan sendiri. Kebetulan kantornya pun tak berjarak begitu jauh dari tempat kerja Citra. Yah, tentu dengan maksud nongkrong dulu di angkringan atau cafe sambil mengobrol berdua. Dalam beberapa kesempatan, Rendra bahkan main ke rumah Citra, berbincang-bincang pula dengan Bu Widya. Ah, seperti rutinitas seorang pria bila berkunjung ke rumah kekasihnya. Siapa sangka kalau semua itu bagi Rendra hanyalah hal yang biasa saja dalam pertemanan dengan lawan jenis. Citra yang naif tentu saja menganggap kedekatan seperti itu adalah sesuatu yang berbeda. Apalagi selama ini ia jarang bisa dekat dengan pria sebab sikapnya yang pemalu. Namun, berbeda dengan saat bersama Rendra, Citra seolah bisa berubah menjadi sosok yang ceria dan supel sebab sikap Rendra yang juga mudah bergaul dengan tipe orang seperti apa pun. Kecocokan mereka berdua terlihat sempurna sebagai pasangan, meskipun ternyata itu hanya dalam benak Citra saja. Rupanya Rendra sama sekali tidak menganggapnya sebagai kekasih. Menurutnya mereka berdua hanya sebatas berteman biasa. Padahal, Citra telah banyak sekali menaruh harapan terhadap hubungan mereka. Bahkan, dia seringkali bercerita tentang Rendra dengan segala perhatian dan sikap baiknya kepada kedua orangtua di rumah. Bu Widya saja sampai merasa putri semata wayangnya itu kini telah menemukan belahan hatinya. Wanita separuh baya itu juga hampir yakin kalau mereka berdua akan segera melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Dan kini setelah terungkap semua, Citra kebingungan hendak menceritakan kepada sang mama bagaimana kondisi yang sesungguhnya. Bahwa semua itu hanyalah kenaifannya semata. Bahwa kini kembali ke titik nol, Citra masih hanyalah seorang gadis jomlo tanpa kekasih, apalagi calon suami! Astaga! Sungguh menyedihkan! Semakin memikirkannya, Citra semakin malu oleh kebodohannya selama ini. Ia merasa begitu memalukan menjadi sosok gadis yang merasa dicintai oleh pria yang bahkan tak pernah menganggap dirinya lebih dari seorang teman biasa. Harga dirinya serasa terhempaskan turun sampai ke titik terendahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN