“Sebenarnya aku ... aku pulang ke rumah. Iya, pulang ke rumah!” ulang Safana, kelewat bersemangat. Dia bahkan mengangkat tangan, guna membuat Kamania, Megan dan Mara percaya. “Kalau nggak percaya, si-silakan telpon adekkku. Dia yang bantu tegasin tadi malam aku tidur di mana. Serius! Sumpah! Nggak bohong!”
“Kalau nggak bohong harusnya nggak usah nge-gas.” Mara menjawab kalem. dengan kedua tangan terlipat di dadaa. Omongannya juga mendapat anggukan persetujuan dari Kamania dan Megan. “Ini pertama kalinya lho kamu nggak pulang. Kupikir tadi ... Safa kami sudah dewasa. Sudah berani keluar bareng cowok, sampai nginap di luar lagi.”
Sontak wajah Safana memerah, bukan malu karena dituduh demikian, tapi marah karena mengingat kejahatan Riko. Tidak disangka dia dibawa ke tempat terlarang. Kalau saja Safana tahu dari awal, sumpah mati dia tidak akan mau menginjakkan kaki di sana. Emang kurang ajar! Mentang-mentang Safana terlihat gampangan, Riko jadi sesukanya sama dia.
“Fa, kamu pakai parfum apa? Ini beda dari yang kamu pakai biasanya.”
“Pa-parfum?” ulang Safana terbata. Dia langsung memutar ingatan, kemudian muncul gambaran apartemen tuan muda a.k.a Wishaka. Ya Allah ya Robb, tadi malam Safana tidur di sana. Entah apa yang dia lakukan, intinya Safana lupa. Tau-tau paginya dia dimarahi Wishaka, lalu membersihkan kekacauan yang tersisa. Tidak mungkin bukan kalau Safana yang mabuk jadi ... maung? “O-oh, ini punya adekku. ‘K-kan tidur di rumah ibu.”
“Kali ini lolos ya, Fa. Kalau tidak, saya adukan ke Tuan Raja. Pertemanan kamu dengan Nyonya Kama tidak akan berlaku kalau kamu nakal lagi.” Megan menatap selintas pada Kamania, kemudian mengangguk sopan. “Ingat tujuan kuliah buat apa? Harusnya bisa mengendalikan diri. Belajar yang giat, jadi teman yang baik buat nyonya. Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan.”
Safana langsung turun dari sofa, bersimpuh di depan mereka bertiga. Kedua tangannya menangkup di depan d**a, dengan mata memejam lalu membuka. “Maafin aku. Janji lain kali nggak akan ulangi lagi. Aku serius mau kerja. Terima kasih pada Nyonya Kama untuk semuanya.”
Megan mengangguk sekali, sementara Kamania dan Mara menggeleng-geleng. Jujur, sebenarnya mereka santai saja, tapi karena ada Megan, mau tidak mau mereka mengikuti alur yang ada. Terang saja mereka sudah berteman akrab. Panggilan ‘saya’-pun sudah tanggal, berganti jadi ‘aku’. Kalau di luar, Safana bebas memanggil Kamania tanpa embel-embel nyonya. Di rumah baru pakai, karena aturan Megan sangat ketat.
“Sudah cukup interogasinya. Kembali ke kegiatan masing-masing. Nyonya juga. Tuan tadi minta siap-siap, karena guru les menyanyi akan datang 30 menit lagi.” Saat Megan bangkit, tatapan mereka otomatis mengikuti. “Safa bersih-bersih badan dulu di kamar, lalu ganti dengan seragam kerja. 30 menit cukup, kan?”
“Cukup! Siap, Megan!”
Dengan berlalunya Megan dari ruang tamu, mereka bertiga kompak menghela napas lega. Kekehan ringan tidak bisa disembunyikan lagi. Terlebih Kamania, dia benar-benar merasa geli dengan situasi tadi. “Megan seperti ibu yang memergoki anaknya baru pulang setelah semalaman keluar. Tapi untungnya Megan nggak marah-marah ke Safa. Hanya memperingati.”
“Iya, Nyonya. Aku cukup lega untuk yang terakhir.”
“Dengerin, tuh! Sudah janji juga, jadi harus ditepati. Aku nggak mau tahu ya, Fa. Pokoknya kalau sudah jadi anak kuliahan, kamu harus batasin diri dari pergaulan. Memilah mana yang baik dan mana yang enggak. Jangan lupa tanggung jawab untuk mengawasi Nyonya. Kalau sampai kamu lalai, itu kepala langsung ditebas tuan.”
“Amit-amit ya Allah, amit-amit.” Safana langsung mengetok kepalan tangannya ke kepala, juga lantai, kemudian mendongak untuk menatap protes pada Mara. “Doain itu yang baik-baik, biar aku-nya juga baik. Kalau sampai aku kehilangan kepala, kamu yang bakal kuhantui duluan.”
“Sudah-sudah, aman, kok. Kama nggak akan bilang ke Mas Aja,” ujar Kamania menengahi. Dia tersenyum tipis, dengan kedua tangan bertaut. “Tapi, yang Mara bilang nggak ada salahnya. Safa boleh tugasnya jagain Kama di luar, tapi jangan lupa kalau kita ini teman. Jadi, jangan sungkan kalau mau minta bantuan. Nanti Kama usahain bantu.”
“Ah, sayang Nyonya banget!” Seketika tangan Safana terentang, bersiap untuk memeluk Kamania, namun terhalang toyoran Mara. “Mending ke kamar, terus mandi! Ini kalau kamu peluk lalu tuan nyium parfum cowok di badan nyonya, pasti cemburunya berabad-abad. Perang dunia dua bakal terjadi, Fa.”
“Eh, enggak, kok. Enggak pa-pa,” sangkal Kamania malu.
Safana dan Mara langsung mengerling, kemudian kompak merayu Kamania, “Cieee ... pipi Nyonya merah-merah.” Lalu keduanya tertawa saat melihat Kamania menyembunyikan wajah di balik kedua telapak tangan. Di sini letak keseruan hubungan pertemanan mereka. Kamania istri dari pemilik mansion, tapi bisa jadi sahabat yang baik. Yang tidak akan marah kalau mereka goda atau jahili, yang tidak akan sungkan memberi bantuan misal mereka butuh. Intinya, Kamania adalah nyonya idaman untuk semua pelayan di dunia.
***
Saat jam bersih-bersih berakhir, Safana banyak-banyak mengembuskan napas. Merasa lega, karena akhirnya bisa duduk juga. Kakinya sudah pegal akibat kebanyakan berdiri. Kepalanya juga berat, karena sedari tadi fungsinya hanya mendongak, menunduk, toleh kanan dan kiri. Andai dia orang kaya, mungkin tidak akan secapek ini dia bekerja.
Ah, berandai-andai memang tidak akan ada habisnya.
“Fa, aku ke toilet dulu.”
“Iya, tapi balik ke sini lagi, ya. Biar makan siang bareng.”
“Oke.”
Setelah kepergian Mara, Safana otomatis merebahkan diri di sofa. Kemudian tangan kanannya merogoh kantong, mengambil ponsel yang sudah lama dia matikan. Ngomong-ngomong, Safana jadi tidak suka Riko lagi. Ilfeel begitu saja saat tahu tujuannya mendekati untuk mengorek info tentang Kamania. Busukk sekali niat Riko pada Safana.
Langsung dia memblokir nomor Riko setelah ponsel menyala. Harus diingat, Safana tipe yang mudah membenci misal orang itu sudah berbuat jahat padanya. Gini-gini Safana punya pendirian bagus. Tidak terlalu dibutakan ketertarikan pada seseorang. Di awal memang dia naif, karena baru pertama kali didekati cowok. Jadi, gamblang begitu saja menerima. Sekarang setelah tahu gimana sikap Riko, dia jadi gedek sendiri. Ingin sekali Safana tabok kepalanya, supaya lega dan puas.
Karena merasa tidak punya kegiatan lagi, Safana scroll-scroll i********:. Memberi love pada postingan yang berbau drama Korea, makanan, atau artis-artis kesukaannya. Merasa bosan, dia kemudian keluar lalu iseng membuka galeri. Tubuh Safana otomatis bangun saat melihat foto-foto yang janggal. Eh, sejak kapan dia mengambil semua ini?
Jarinya langsung bergerak menekan salah satu foto dan betapa Safana menganga lebar, karena di sana ada penampakan Wishaka yang bertelanjang dadaa. Maksudnya blur, tapi Safana sangat mengenali kalau ini sosok Wishaka.
“Mati aku!” teriaknya heboh, lalu membungkam bibir dengan telapak tangan. “Astaga ya Allah ya Robb, apa ini?” Rasanya Safana ingin menangis, karena tidak hanya satu foto saja yang dia ambil. Berbagai macam pose penolakan Wishaka, berhasil ditangkapnya dengan cara tidak jelas. Semuanya sama, menunjukkan kalau laki-laki itu half naked. “Ini gimana kalau tuan muda tahu? Aku bisa digantung di tiang listrik tujuh hari tujuh malam ...”
Lalu dengan tangan gemetar Safana menghapus foto-foto tersebut. Dia janji, tidak satupun meninggalkan bukti, supaya Wishaka tidak menuntutnya lagi. Terjebak dengan laki-laki itu saja sudah bencana besar, apalagi sampai lancang memotretnya dalam keadaan tidak berpakaian. Memang badannya bagus, kotak-kotak, tapi Safana masih waras untuk tidak melibatkan diri pada kekacauan.
“Kenapa, Fa? Heboh benar perasaan.”
Dramatis Safana menoleh pada Mara. Matanya benar-benar berkaca, dengan ekspresi sedih luar biasa. “Aku salah, Ra. Benar-benar nakal sampai kehilangan akal. Aku nggak mau lagi kayak gitu. Semoga enggak lagi, supaya aku aman dan berumur panjang. Ra, tegur aku ya misal aneh-aneh lagi.”
“Kenapa, sih?”
“Enggak pa-pa.” Akan jadi masalah besar kalau Safana sampai memberitahu. Karena ini menyangkut keluarga kerajaan, maksudnya keluarga terhormat Adyatama. Akan jadi masalah besar, kalau salah satu pelayan nekat membuat tuan muda keluarga itu kesusahan. Mungkin Safana akan dipecat dan dikutuk jomlo tujuh turunan. Ih, amit-amit kepala botak! “Ra, ayo kita makan saja ...”
“Nggak jelas kamu, Fa.”
“Iya, aku nggak jelas. Tapi, aku masih lapar.” Dia bangkit setelah mengusap mata dengan punggung tangan, tapi baru beberapa langkah Safana berjalan, punggungnya tiba-tiba menegak dan ekspresinya berubah horor. “Ra, aku kayaknya udah gila!”
“Iya, gilaa karena teriak tiba-tiba,” omel Mara sambil mengusap-usap dadanya. “Kenapa sih? Ngeselin banget kamu!”
Alih-alih menjawab, Safana justru mengacak-acak rambutnya heboh. Bukan tanpa alasan dia lakukan, sebab dia tiba-tiba teringat sesuatu. Ya Allah, Safana janji akan menjauhi alkohol sejauh-jauhnya. Jangankan punya niat memegang, melihatnya-pun tidak akan sudi. Terlalu banyak kejutan yang Safana dapat, efek dari ketidaktahuannya tentang minuman haram tersebut.
“Tuan Muda kasihan banget, kalah sama sepupu sendiri padahal mukanya nggak jelek. Malah ganteng banget. Kalau Tuan Raja 100 poin, maka tuan muda 99,9 poin. Padahal banyak cewek-cewek di luar sana, tapi kenapa suka sama satu orang yang sama?” Safana terkekeh, kemudian cegukan. Berdirinya sempoyongan, tapi masih betah menunjuk-nunjuk Wishaka. “Di kampus banyak yang cantik. Tuan Muda mau saya bantu kenalin salah satunya? Saya ... dikuliahin gratis, lhoooooo ...”
“Berhenti bicara! Buat dirimu sadar, lalu pergi dari sini. Saya tidak sudi mengantar dan menginjakkan kaki di mansion Rajata!”
“Pasti karena Nyonya Kama ehehe ... dia cantik ya, Tuan Muda. Kalau saya laki-laki, saya juga menyukainya. Saingan Tuan Raja bukan cuma Tuan Muda saja, tapi saya juga ehehehehe ...”
“Hei, hei stop! Kamu mengacak-acak barang saya!”
“Tenang, saya pelayan kebersihan. Semua ini pasti–” Kemudian tangannya memperagakan, terentang selebar-lebarnya, “–saya sulap jadi rapi lagi. Debu sedikit saja, Tuan Muda, sedikiiiiiiiiiiiit saja langsung saya sapu bersih.”
“Saya tidak bertanya. Jangan sentuh vas itu, jangan–ya Tuhan kamu memecahkannya!”
“Pecah, ya? Hehehehe maaf saya tidak sengaja.”
“Diam di sana! Hei, kepala batu! Kakimu bisa terluka! Hei–” Kemudian Safana oleng karena Wishaka mendorongnya ke belakang. Pandangan Safana berputar-putar, untungnya dia bertemu tembok jadi bisa berpegangan. “Tuan Muda jahat. Saya pusing tau. Mau muntah gara-gara didorong.”
“Itu efek alkohol, jangan menyalahkan saya! Menjauh dari sini, kakimu bisa berdarah!”
Saat Safana berusaha berdiri tegak, dia menatap Wishaka dengan mata menyipit. “Jangan bentak-bentak saya. Tuan Muda memang tuan muda, tapi secara spesifik Anda bukan ... bukan ... ah, mau muntah. Aduh nggak enak banget–”
“Kamar mandi di sudut ruangan! Cepat lari ke sana! Cepat–” Terlambat, Safana sudah mengeluarkan isi perutnya di lantai. Wishaka yang melihat itu, langsung mengepalkan kedua tangan, kemudian menggeram marah, “Saya gilaa karena membawa macan betina ke apartemen!”
Saat Wishaka berjalan jengkel menuju Safana, puncak epik mereka malam itu adalah, Safana kembali muntah di pakaian Wishaka. Laki-laki itu nyaris membanting Safana, tapi mengingat dia perempuan, niatnya padam begitu saja. “Berterimakasihlah pada gendermu, karena kalau tidak, sudah kupatah jadi empat bagian semua tulang di tubuhmu.”
Bulu kuduk Safana langsung berdiri. Dia mengusap tengkuk keras, kemudian luruh begitu saja ke lantai. “Ya Allah ampuni aku. Ibu, Rian, Randu, dan Randi, maafin Kakak kalau Kakak ada salah. Maafin Kakak kalau belum jadi anak sekaligus sulung yang baik. Maafin untuk semua-muanya. Kakak pikir, umur kakak nggak akan panjang lagi ...”
“Iya, nggak akan panjang, karena cepat atau lambat, kamu akan mati dalam keadaan sinting!” cibir Mara jengkel, karena ketidakjelasan Safana.
***