Bagi Safana yang belum banyak mengenal pria, diajak makan begini sesuatu yang wow banget. Ia jadi merasa, masa muda yang terlewat karena sibuk bekerja, kembali menyapa di usia 24 tahunnya. “Diminum, Mbak. Gue yang traktir, jadi nggak usah sungkan.”
“Eh, iya ...” Safana tersenyum, kemudian meraih gelas jus. Di mata sang nona yang kini jadi nyonya, Safana si ceriwis dan aktif. Rekan sesama pelayan juga berpendapat demikian. Bahkan ada harinya saja ia absen membuat orang lain geleng-geleng kepala. Tapi, sekarang, ia tidak ada bedanya dari Kukang Jawa, alias pemalu. “Riko, mmm ... terima kasih banyak, ya?”
“Santai aja kali.” Tawa Riko mengudara, bahkan mencolek ringan dagu Safana. Membuat sang empu kaget sekaligus merona-rona. “Eh, kita udah tukeran nomor belum, sih? Sumpah, Mbak, kemarin-kemarin gue cuma liatin lo doang. Belum nyamperin. Sekarang baru gerak. Ternyata nggak sesusah yang gue bayangin. Lo itu friendly banget.”
“Bentar lagi kamu bakal nyesel bilang gitu. Soalnya aku banyak omong, Riko. Aduh, kok, tiba-tiba aku ngerasa gugup, ya? Apa karena pertama kali diajak cowok ngomong berdua? Biasanya paling ngomong ke majikan atau ke adek-adekku, selain itu, nggak ada lagi.”
“Majikan?” Sebelah alis Riko terangkat, tapi ia tidak ambil pusing. “Siniin hape lo, Mbak. Entar gue tulisin nomor gue di sana, soalnya kita bakal sering berhubungan. Nggak pa-pa ‘kan, ya?”
“Eh, iya, nggak pa-pa.” Buru-buru Safana mengambil ponsel di tas, kemudian ngasih ke Riko. “Nggak banyak nomor teman yang aku simpan. Bingung juga deketin mereka gimana. Lagipula aku ngerasa agak sungkan. Jadi yang paling tua di kelas itu bikin nggak percaya diri.”
“Apa masalahnya? Usia cuma angka. Malah muka lo baby face, Mbak. Sama sekali nggak kayak 24-an. Ingat nggak mereka kaget waktu hari pertama lo kenalin diri di depan? Itu karena mereka nggak nyangka umur lo segitu. Gue juga nggak nyangka.”
“Kamu bisa aja, Ko. Entar aku salah tingkah dipuji gitu.”
Sudut bibir Riko terangkat tipis. Ia menyesap minuman sebentar, kemudian fokus memasukkan nomornya di ponsel Safana. Setelah disimpan, baru ia kembalikan. “Rumah lo di mana, Mbak? Sekalian gue antar lo pulang nanti.”
“Nggak usah! Aku biasanya naik gojek, kok.”
“Oke. Gue ngerti kita terhitung baru kenal. Maaf kalau selancang ini.”
“Eh, bukan gitu. Rumahku ada, cuma jauh dari sini. Lagipula biasanya enggak pulang ke sana, tapi pulangnya ke tempat kerja.”
“Oh.” Riko menatap sambil mengangguk-anggukan kepala. Ia basahi bibir bawah, lalu bertanya lagi, “Anak dari jurusan musik itu ... temen lo, Mbak? Gue sering liat lo bareng dia.”
“Iya. Deket banget malah.”
“Oh, bagus-bagus.”
“Ya?”
“Enggak, maksud gue bagus deh lo punya temen. Kita masih baru banget nih kuliah. Kalau nggak deket sama yang lain susah juga. Meski lo berdua beda jurusan, tapi senang aja gitu lo punya temen yang bisa diajak ke kantin bareng. Kelihatannya juga lo berdua udah kenal lama. Akrab aja gitu di mata gue.”
“Iya, udah dari lama kenalnya. Dia alasan aku kuliah, Ko. Kami juga tinggal bareng. Ah, pokoknya sayang banget aku sama dia. Usiaku ini lebih tua dari dia, tapi dia lebih kalem dan dewasa dari aku.”
“Berarti kalian satu kerjaan. Hm ... cewek mandiri. Lagipula kelihatan dari wajahnya, tipe yang mudah banget disukai.”
Safana menggigit bibir, kalau nggak begini ia bisa kebablasan menjelaskan sang nyonya. “Pokoknya gitu deh. Eh, waduh, aku baru sadar udah lama banget kita ngobrol. Nanti aku dicariin, lagipula toleransi waktu dari pulang kuliah cuma tiga jam.” Bergegas ia beres-beres, kemudian bangkit. “Aku minta maaf banget, Ko, tapi aku pulang duluan nggak pa-pa, kan? Soalnya harus kerja juga.”
“Silakan, Mbak. Justru gue yang nggak enak karena ambil waktu lo.”
“Aku senang, kok. Terima kasih ya udah ajakin ke sini.” Tatapan Safana mengedar ke sekeliling Cafe, mengulum senyum sambil diam-diam menyiapkan bahan untuk diceritakan ke teman sesama pelayan. “Kamu hati-hati pulangnya, Ko.”
“Mbak juga. Nanti gue hubungin lagi. Gue lega lo mau diajak ngobrol, terus ngasih nomor.”
“Oke!” Terakhir ia mengacungkan jempol, kemudian beranjak pergi. Dipegangnya tali tas erat, sementara tangan yang lain mulai mendorong pintu. Sebelum menuju trotoar, sekali lagi Safana menengok kemudian melambai pada Riko.
Jadi begini, ya, rasanya diajak cowok ke Cafe sepulang ngampus? Bahkan ngobrol ringan sampai saling simpan nomor. Riko Rafandra memang lebih muda, tapi Safana tidak bisa mencegah hatinya untuk tidak jingkrak-jingkrak kesenengan pas didekati. Lagipula Riko ganteng, ada dimples di kedua pipi saat dia senyum. Manis banget.
Tanpa sadar Safana menangkup pipi. Ia melamun memikirkan nanti, kira-kira apa bahan obrolan mereka di chat? Ah, Safana tidak bisa menebak! Ia selalu berlagak ahli dalam hubungan, tapi nol persen dalam pengalaman.
Oke, oke, nanti gantian. Ia yang nanya nyonya, sekalian minta tips gimana hadapin cowok. Soalnya nyonya sudah menikah, otomatis berlangkah-langkah lebih maju.
***
“Kamu lagi kasmaran, Fa?”
Safana yang joget-joget, langsung menoleh. “Enggak, kok. Ngaco, ah!”
“Dih, mentang-mentang dikuliahin sekarang jadi banyak rahasia. Aku mendadak kehilangan Safa yang gilaa kayak biasanya.” Bibir Mara mencebik, dengan tangan memegang kemoceng, membersihkan debu di bingkai lukisan. “Mungkin efek ketemu teman baru kali, ya. Mana masih muda-muda, jiwa muda mereka tertular ke kamu juga.”
“Jangan gitu, ih! Mara nyebelin banget! Kalau nyonya atau Megan dengar, entar aku dicap sombong. Padahal enggak sama sekali.” Perlahan tapi pasti, Safana menepuk-nepuk dua tangannya, lalu bergeser ke arah Mara. “Aku ‘kan lima hari yang lalu pernah cerita ke kalian, diajak cowok minum di Cafe depan kampus. Nah, itu aku senang banget, ngerasa kayak remaja lagi. Ngerasa kalau aku masih cocok buat cinta-cintaan di samping pekerjaan.”
“Yang mikir nggak cocok siapa, sih? Safa, kamu bukan nenek-nenek. 24 bukan 42. Berlebihan banget, deh.”
“Iya, aku tau. Tapi paham nggak, sih? Aku sebenarnya khawatir nggak bisa ngimbangin mereka-mereka yang emang melewati momen dengan sepantasnya, bukan kayak aku yang selesai SMA langsung ngebet nyari kerjaan. Jadi, aku kayak selangkah lebih tertinggal dari mereka, padahal usiaku lebih tua.”
“Denger aku!” Mara meletakkan kemoceng, kemudian menoleh. Ia memegangi bahu Safana, memberi pengertian. “Belum lama, Fa. Usiamu cuma lima atau enam tahun lebih unggul dari mereka, soal fisik dan kemampuan bicara, nggak jauh beda, kok. Lagipula enggak pa-pa kali. Nggak ada istilah terlambat buat ngerasain cinta. Lo heboh banget, deh. Perasaan tuan dulu nggak pernah dekat sama perempuan di usia hampir 30-an, biasa aja.”
Safana nyengir. “Kan aku beda sama tuan. Aku mudah panikan aja gitu.”
“Lebay!”
Sekarang Safana lega. Ia cubit pipi Mara, kemudian memeluk erat. “Makasih banget, saudara senasib sepenanggunganku. Lega udah ngeluarin uneg-uneg. Malah sekarang makin senang, soalnya aku bakal enggak nahan-nahan diri lagi di depan Riko.”
“Kamu belum kasih tau aku kenapa tadi senyum sambil joget-joget.”
“Ah!” Ditepuknya kening pelan, lalu menarik diri. “Iya, Ra, aku lupa ngasih tau! Aku diajak Riko jalan nanti malam!”
“Semudah itu kalian dekat?”
“Iya! Lagipula selama lima hari, kita chat-an terus. Di kampus juga, bahkan Riko bareng kami ke kantin.” Safana sesaat celingak-celinguk, kemudian berbisik, “Sama nyonya juga. Jangan beritahu tuan, ya. Soalnya nyonya nggak keberatan sama Riko. Dia cepat akrab karena Riko ramah.”
“Fa, aku nggak mau kena masalah.”
“Enggak lagi nanti, cuma kemarin aja, Ra. Please jangan aduin aku.”
Mara menyipitkan mata, beberapa saat kemudian ia mengembuskan napas. “Cuma kali ini. Lain kali enggak boleh lagi. Ingat kamu bisa kuliah gara-gara siapa? Ingat tujuan kuliah selain belajar buat apa?”
“Oke, Mara, aku ingat! Makasih banyak, teman yang seperti kakak buatku!”
Safana kembali memeluk Mara. Sayang banget ia sama orang-orang yang ada di rumah besar ini, sebab mereka tidak ada bedanya dari keluarga.
***
Wishaka memijat pundak sebelum menarik pintu mobil. Penat menyiksa karena terlalu lama duduk di ruangannya. Sekarang jam menunjukkan pukul delapan. Rasanya belum ada keinginan pulang ke apartemen. Sebab tidak ada yang menunggu, selain sepi dan kekosongan menyambut.
Belakangan Shaka sadar, sejak perasaan tidak terbalas ia jadi perasa. Mudah iri, mudah meratap, bahkan mudah jenuh. Hidup seperti orang suci di usia 25 tahun, mendadak jadi membosankan. Ia butuh hal baru, namun belum tahu berupa apa.
Dering ponsel menghentikan pergerakan memasang sabuk pengaman. Nama Dhana mengisi layar, membuat Shaka segera mengangkatnya. “Iya, Dhan?”
“Ke sini, Ka. anak-anak pada ngumpul.”
Shaka menyalakan speaker kemudian meletakkan di dashboard. Selesai dengan sabuk pengaman, ia menstarter mobil. Perlahan ia keluar dari area parkir, sempat menyapa satpam sesaat lalu menaikkan kaca mobil.
“Kirim lokasinya, gue langsung ke sana.”
“Gitu, dong. Mumpung masih sendiri, Ka.”
Dengkusan pelan Shaka berikan. Ia fokus menyetir, sampai sambungan telepon terputus beberapa saat kemudian. Saat lampu merah, Shaka mengambil ponselnya, mengecek pesan yang baru masuk dari Dhana. Untuk kedua kalinya ia mendengkus. Dari dulu sampai sekarang, selera mereka selalu sama. Nongkrong di Bar ditemani alkohol.
Kalau biasanya Shaka menolak, maka sekarang ia tertarik. Sudah lama ia tidak mencicipi minuman haram itu. Untuk sekadar coba-coba ia sudah biasa, asal tidak sering lalu menimbulkan kecanduan. Begini-begini, Shaka pemerhati kesehatan. Kalau memang suntuk dan jenuh, ia memang butuh pelampiasan.
17 menit kemudian ia tiba di tempat tujuan. Usai memarkir mobil, Shaka keluar sambil merapikan jas. Penampilannya formal dan kentara sekali baru dari kantor. Ia langsung masuk Bar tiga lantai, di mana masih selalu padat oleh pengunjung.
Dhana bilang di lantai satu. Benar saja, Shaka langsung menemukan mereka dalam sekali tatap. Mereka juga melambaikan tangan, isyarat untuk mendekat.
Di sana ada Sadhana, Hadi dan Jordan. Mereka teman SMA, meski sempat tidak berhubungan begitu Shaka melanjutkan studi di luar negeri, tapi mereka kembali akrab karena dipertemukan oleh bisnis.
“Yo, bintang acara sudah tiba.” Dhana bangkit, mengajak salaman ala-ala pria, begitu jua yang lain. “Lemes amat tuh muka. Kayak belum pelepasan bertahun-tahun.”
Shaka memicingkan mata, merasa ter-ejek sekaligus malu. “Nggak usah aneh-aneh, Dhan.”
“Santai, Bro. Ini minuman buat lo. Seperti biasa.”
Ia belum menerima, karena belum menempati kursinya. Saat akan duduk, secara samar Shaka mendengar seseorang bicara, “Ini apa, Ko? Kok, rasanya aneh, ya? Tenggorokanku panas banget, tapi minumannya nggak anget.”
“Nanti enak, kok, Mbak. Yuk lanjut ceritain temen cewek lo. Tadi baru sampai dia ambil jurusan musik karena suaranya bagus, hobinya nyanyi. Setelah itu apa lagi?”
Merasa mengenal suara perempuannya, Shaka langsung menoleh. Ia melihat punggung, yang saat diamati, Shaka merasa familiar. Semacam pernah kenal bentuk tubuh dan mengingat betul warna rambutnya, tapi lupa di mana.
“Iya, gitu deh. Pas pertama ketemu, aku sama yang lain langsung temenin dia. Soalnya kelihatan sedih dan takut. Dia awalnya nggak ngom–eh, aku mau muntah! Sebentar, Ko, mau ke toilet dulu.”
“Bro, lo nggak minu–” Shaka mengangkat tangan meminta diam, karena ia masih mengamati.
“Ada-ada aja kelakuan lo, Mbak. Cepetan, gue nunggu!”
“Iya, Ko.” Pemilik tubuh familiar itu berdiri, kemudian oleng sampai kursinya jatuh. “Duh, kok berputar-putar, ya? Ini aku kenapa? Riko, aku ngerasa pusing banget.”
Saat berbalik, detik itu juga tatapan mereka bertemu. Shaka diam karena pertanyaan benaknya terjawab. Perempuan itu, pelayan Rajata. Tapi, kenapa dia ada di sini?
“Sumpah lo malu-maluin, Mbak! Tau gitu gue nggak bawa lo ke sini.” Cowok yang bersamanya bangkit, mendekati kemudian akan membantu. “Kalau nggak butuh informasi temen lo, gue juga nggak mau sok dekat. Nyusahin aja!”
“Ngomong apa, Ko? Suaranya nggak jel–” Shaka tidak bisa diam menyaksikan lagi. Ia berdiri, menarik pinggang Safana ke arahnya. “Biar dia sama saya. Kamu boleh pergi.”
“Lo siapa? Jangan ikut cam–”
“Pergi sekarang! Dia urusan saya.”
Wajahnya terlihat jengkel, tapi beranjak detik itu juga. Tinggal Shaka memegangi Safana, yang kini berceloteh-celoteh.
“Semuanya oke, Ka? Perempuan ini siapa?”
“Bro, lo kenal–”
Shaka menyela, “Sorry, gue cabut duluan. Lain kali gue yang traktir kalian.” Kemudian mengangguk sekali pada teman-temannya, Shaka menggendong Safana ala bridal. Ya, sekarang ia ingat namanya. Safana Harumi.
Mereka keluar dari Bar. Safana terus ngomong, karena mabuk, “Kok melayang? Eh, wangi banget. Kayak wangi ... tuan muda.” Matanya yang memejam perlahan membuka, menatap Shaka. “Lho, eh, tuan muda? Hehehe mimpi apa ini? Apa aku masih kasihan sama dia, jadi sampai kebawa mimpi? Hehehe ... masa, sih?”
Shaka mendengkus mendengarnya.
“Mantan gebetanku sekarang istri abangku. Hehehe kasihan tuan muda. Hehehe ...”
Kali ini, Shaka mengumpat. Pada wanita. Untuk pertama kalinya.
***