“... Kemudian aku pulang karena hujan sudah berhenti."
Rio marah dan menudingku dengan telunjuknya. "Kau bohong! Kau tidak lihat sampai akhir. Kau tidak lihat mereka bangkit lagi, lalu mulai bekerja sama untuk memukulku. Mereka mengeroyok diriku."
Aku menatapnya tanpa gentar sedikit pun. "Rio sepertinya mengira tidak ada saksi yang melihatnya, makanya memanfaatkan situasi itu untuk memfitnah ketiga senior. Dikarenakan khawatir kepala sekolah akan mendapat laporan tindakan buruknya, dia memilih menuntut ketiga senior lebih dulu sebelum dirinya dituntut. Juga dilihat dari jumlahnya, semua orang akan berpikir dialah korbannya, maka dengan mudah dia memutarbalikkan fakta."
"Dasar sialan! Siapa kau, hah? Katanya kau mau memberi foto itu kepadaku! Aku bahkan menguras tabungan untuk itu." Rio teriak amat murka, bahkan sudah berdiri dan menudingku. Jika bukan di dalam rapat, mungkin dia akan langsung menghajarku saat ini.
Dimas tertawa puas. "Kau tahu tentang bukti foto ini? Bukannya menyerahkan kepada ketua OSIS, kau malah mau menghancurkannya? Wah... sekarang ceritanya sudah jelas, kan?"
Aku berdiri tenang, melirik Rio sekilas. "Lihat saja emosinya yang tidak teratur itu. Ditinjau dari riwayat sekolahnya semasa SMP, dia memang sering membuat masalah, maka tidak heran kalau dia merasa berkuasa karena ayahnya ada di sini. Menurutku, dialah yang bersalah."
Rio berniat protes lagi, tapi Ero memaksanya duduk, lalu dia sendiri berdiri. "Saya akan mewakili teman saya yang emosian ini. Ada yang ingin saya tanyakan kepada saksi." Ero menatapku sekarang. "Kenapa kau baru mengatakannya sekarang? Bukankah pengumuman pencarian saksi sudah dilakukan sejak minggu lalu?"
"Aku baru melapor sekarang karena mengkhawatirkan kondisiku yang bisa saja terancam oleh Rio. Kau tahu sendiri reputasi buruk Rio. Setelah bertemu Zulmi dan dia meyakinkanku, baru aku mau bersaksi."
"Oke, angggaplah benar kau takut, makanya baru melapor sekarang. Lalu, apa benar kau saksi yang sesungguhnya atau kau hanya saksi palsu yang disewa ketiga senior? Kau bisa saja mendapat bukti itu dari orang lain, lalu memanfaatkannya untuk mendapat bayaran dari ketiga senior. Kita semua tahu ketiganya tidak akan mudah bebas tanpa adanya keterangan dari saksi."
"Apa maksudmu dengan saksi palsu? Aku melihat sendiri kejadian itu. Semua foto itu aku yang potret. Kalau meragukanku, artinya kau meragukan Zulmi juga."
Ero tersenyum, matanya melihat langsung iris gelapku, seolah menusuk. "Berarti kau berbohong mengenai akhir cerita."
Aku mengepalkan tangan dan mengalihkan pandangan selama beberapa detik. "Kau tidak lihat semua bukti itu? Di sana terlihat jelas kalau Rio lebih banyak melakukan pemukulan daripada Dimas dan kedua temannya."
"Tapi kau tidak memotret saat Rio pergi. Rio bisa saja benar, kalau ketiga senior bangkit lagi dan mulai melakukan serangan balik, sementara kau sudah pergi sebelum menyaksikan itu."
Aku semakin kesal menghadapi si otak m***m itu. "Kau tidak lihat kondisi ketiganya yang sudah tidak berdaya? Apa menurutmu mereka bisa bangkit lagi?"
Ero mengusap dagunya. "Fisik Dimas dan Rio tidak terlalu jauh berbeda. Aku tahu melawan orang berjumlah banyak akan menyulitkan si penyerang. Kalau seperti katamu, ketiga senior babak belur dan kalah, lalu tumbang begitu saja... rasanya tidak masuk akal. Kecuali, mereka sengaja mengalah untuk menjebak Rio."
Dimas berdiri dengan wajah kesal. "Apa maksudmu menjebak Rio? Kami tidak melawan karena tidak ingin membuatnya cedera. Dua temanku badannya kecil dan kurus, tidak terlalu berguna kalau untuk berkelahi."
Ero menatap Dimas sekarang. "Badan kecil dan kurus tidak melulu tak pandai berkelahi. Kalian menang dari segi jumlah, kalau ingin mengeroyok, bukankah akan sangat mudah menjatuhkan Rio?"
Sebelum Dimas membalas perkataan Ero, Alif bicara. "Cukup! Kita sudah punya saksi dengan bukti konkretnya berupa foto. Sudah jelas, Rio memfitnah ketiga senior."
Rio berdiri lagi. "Itu salah! Aku mengatakan yang sebenarnya. Mereka memang menghajarku sampai seperti ini."
Alif menatapnya tajam. "Apa kau punya bukti dan saksi yang mendukung pernyataanmu? Jangan gunakan hasil keterangan dokter karena kau bisa saja mendapat luka itu dari orang lain. Atau kau mau kami melakukan penyelidikan ulang? Kalau begitu, kau harus bersiap dengan segala hukuman yang akan diberikan, termasuk dikeluarkan dari sekolah."
Rio ketakutan, mulutnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar. Dia kembali duduk dalam diam. Ero menghela napas, menatapku sekilas, lalu melihat Zul.
Alif tersenyum samar, sedikit menaikkan bingkai kacamatanya. "Baiklah. Kasus ini kunyatakan selesai. Tuntutan Rio kepada Dimas dan teman-temannya tidak bisa diteruskan."
Sekarang Dimas yang berdiri. "Tidak bisa berakhir begini. Nama baik kami sudah tercemar dan dia bebas begitu saja? Ini tidak adil!"
"Apa yang kau inginkan? Menuntutnya balik?" tanya Alif.
Dimas menyeringai. "Tidak. Aku ingin dia dikeluarkan dari tim inti sepak bola."
Rio menggebrak meja. "Jangan kelewatan! Itu tidak ada hubungannya dengan perbuatanku. Aku tetap dibutuhkan dalam tim."
"Tim tidak membutuhkan orang egois sepertimu!" balas Dimas dengan sengit.
Guru BK mengetuk palu. "Cukup berdebatnya. Besok pagi, Ibu ingin surat pengunduran diri Rio dari tim inti sepak bola SMA Pertiwi sudah ada di meja Ibu. Keputusan ini Ibu ambil bukan hanya karena kasus ini, tetapi juga beberapa laporan sebelumnya yang mengatakan Rio bertindak sesukanya ketika latihan. Jangan karena ayahmu adalah kepala sekolah, maka kamu berhak mengikuti latihan sesuka hati. Semua siswa tunduk pada aturan yang berlaku, tidak peduli latar belakang keluarganya."
Rio teriak murka saat mendatangiku. Dia menerjang, lalu mencekikku dengan tangan kanannya hanya dalam waktu beberapa detik sebelum guru BK selesai bicara, bahkan aku belum sempat mencerna dengan baik situas di depan mata. "Ini semua gara-gara kesaksian palsumu. Kau dibayar berapa sama mereka, hah?" teriak Rio yang berusaha melepas maskerku, walau sambil kesusahan karena masih ingin mencekikku. Saat aku berusaha menepis tangannya, dia fokus mencekikku sekuat tenaga, menindih kakiku pula.
Leherku tercekik. Oksigen rasanya lenyap bersama kegelapan yang mulai memenuhi pandangan. Entah siapa yang kemudian datang dan coba menarik Rio. Ketika udara kembali dapat kuhirup, hanya batuk yang kemudian aku lakukan.
Guru BK buka suara lagi. "Rio Wiryateja, dengan ini kamu mendapat surat peringatan dan diskors selama seminggu."
Setelah beberapa detik, akhirnya Rio melepas cekikannya di leherku. Ternyata Zul dan Dimas yang menarik Rio, sementara Alif memegangi tanganku. Isnani si sekretaris juga membantuku duduk di kursi. Kemudian terlihat Ero yang menatapku dengan penuh kekecewaan. Dia lantas menarik Rio ke luar ruangan.
Aku terduduk sambil terbatuk. Alif mendekatiku, bertanya, "Kau mau kuambilkan air?
Aku menggeleng. Saat melihat Zul masuk kembali ke ruangan, aku segera menarik tangannya, berbisik, "Sebaiknya kita segera pergi sebelum Rio mencari tahu tentangku."