Chapter 11

1377 Kata
BOOM! Bruk! Prang! Kretak! Sreeeeeeeeeet! "Aaaaaakkhh!" "Aakh!" "Aaaaa!" Terdengar teriakan kesakitan dari orang-orang. Street Plak Buk! "Aahh!" Aqlam terlempar beberapa meter dari tempat Chana setelah dia berusaha menarik tubuh Chana. Sret Tanpa mempedulikan rasa sakit di tubuhnya dia berdiri. "Uhuk! Uhuk! Bsuuk!" Aqlam terbatuk, tanpa diduga darah segar keluar dari tenggorokannya. Namun dia tak peduli, dia mencari ke segala arah, penglihatannya agak kabur dan terhalang oleh asap. Rasa pusing menghampirinya karena ledakan besar dari granat itu, tubuh Aqlam sakit luar biasa. Tak Tak Tak Aqlam mencari-cari disekelilingnya. "Aaahhh!" "Tolong!" "Mama!" "Aahh suamiku!" Terdengar suara teriakan tolong, jeritan dan tangisan kuat disekitarnya. "Aaaaa!" "Tidak!" "Mama!" "Suamiku!" Jeritan kesakitan dan pilu menyelimuti restoran yang di berbentuk lagi isinya. Aqlam melihat sekelilingnya, kaca restoran itu pecah tak menyisakan apapun. Kursi dan meja makan disitu hancur dan terlempar ke segala arah. Dug Dug Dug Dia melihat disekitarnya. "Darah..." Aqlam melototkan matanya. Dug Dug Dug Detak jantung nya berdetak cepat. Matanya berhenti di sebuah meja yang rusak, di meja itu terdapat pecahan-pecahan kaca yang berserakan. Terlihat seseorang tergeletak berdarah di pecahan-pecahan kaca itu. "Chana..." suara disertai tubuh gemetarnya. °°° "Tidak!" Bruk "Popy!" Hap Ben memeluk tubuh istrinya sedetik setelah Popy histeris. Sret Dia meraih telepon rumah tanpa kabel dan mendekatkannya ke telinga. "Apa yang terjadi?" "Tuan, restoran tempat dimana nona Chana makan meledak karena bom." "Apa?!" Bruk Telepon itu jatuh dari genggamannya. Ben melihat tangannya yang gemetar. °°° "Lari!" Naufal berseru ke belakangnya. "Hah?!" Jonathan menatap bingung ke arah Naufal. Sret Tak Tak Tak Naufal meraih tangan Jonathan dan Marwa. "Pergi dari sini!" seru Naufal. "Jebakan!" Naufal berteriak. "Apa?!" "Lari!" teriak Naufal lagi. Jonatan dan yang lainnya berlari menaiki bukit kecil di sekitar sungai, namun sesuatu terjadi. Sret Mereka berhenti berlari. "Siapa itu?" Jonathan berteriak ke arah seseorang yang tak jauh dari mereka. Orang tersebut memegang sebuah benda seukuran jengkal tangan orang dewasa, warnanya hitam. Sret Naufal memposisikan cahaya senter ke benda itu. Matanya membulat, dia menarik tubuh Jonathan kebelakang. "Pistol!" Sret Sreeeett Plak! Dor Dor Dor Sret Wush "Aaaaakhhhh!" °°° "Hiks! Hiks! Aaa! Aaa!" Laras meraung-raung histeris ketika sampai di rumah sakit. Tak Tak Tak Beberapa orang berlari mendahuluinya sambil menangis histeris. "Aaa! Aqlam! Mana putraku?!" Atika berteriak ketika masuk ke ruang unit gawat darurat. "Anakku!" "Ya Allah anakku!" Atika histeris. Sret Brak "Aaaaakhhhh!" Bruk "Atika!" Hap Nibras menopang tubuh istrinya yang bergetar pingsan. Atika tidak kuat mempertahankan kesadarannya lagi ketika dia melihat tubuh penuh darah dari Chana dan Aqlam. Sret Buk "Aaaahhh! Cicitku Chana! Chana! Chana!" Laras berlutut gemetar, dia tak kuasa menahan goncangan batin dengan tubuh tuanya. Ben tak berkedip ketika melihat tubuh putrinya, putri kesayangannya penuh dengan darah. Tak Tak Tak Dia berjalan cepat ke arah bed rumah sakit, terlihat tenaga medis sibuk berlalu-lalang disitu. "Chana!" Ben terlihat kalap ketika sampai di tempat Chana. "Tuan, nona Chana harus segera di operasi, kepala dan tubuhnya terbentur benda keras akibat dari ledakan granat," seorang dokter berbicara ke arah Ben. "Granat?" Ben melototkan matanya. °°° "Hiks...hiks...hmmm.....mmmm..." Laras tak berhenti menangis. "Emmmmm....hik! Hik! Hikmmmppp!" Atika dan Popy tak kuasa membungkam tangis mereka. Ruang tunggu operasi itu penuh dengan jeritan pilu keluarga Chana dan Aqlam. "Mohon tenang, sedang ada operasi," seorang suster mengingatkan mereka. Nibras menoleh ke arahnya dan mengangguk mengerti. "Kami mengerti." Suster itu mengangguk, lalu pergi ke ruang unit gawat darurat. "Hiks...hiks...mmmm....sssshhrrr!" ingus yang keluar dibiarkan begitu saja oleh Popy. Di depan ruang operasi yang tertutup, berdiri seorang remaja berusia 12 tahun berdiri. Sret Bocah itu berbalik ke arah keluarganya. "Aku ingat wanita itu." Ujar Aqlam dingin, tanpa ekspresi. Sret Keluarga Nabhan dan Basri mendongak melihat ke arah Aqlam yang kepala dan sikunya diperban. "Aku ingat wanita yang menyuruh Chana untuk membuka tutup granat itu," ujar Aqlam datar. Nibras memandang kaku ke arah anak laki-lakinya. "Chana ingin makan steak sapi Kobe, aku pergi menemui pelayan untuk memberitahu prefensinya, namun aku tidak menduga bahwa ada seorang wanita yang mendekat ke arahnya." Ujar Aqlam tanpa berkedip. Ben dan yang lainnya memandang serius ke arah Aqlam. "Huh! Huh! Huh!" deru napas Aqlam membara panas. "Aku ingat ekspresi wajahnya ketika dia menyuruh Chana membuka tutup granat itu," ujar Aqlam. Nibras dan yang lainnya takut menelan Saliva mereka ketika mendengar penuturan dari Aqlam. "Bahagia." "Hmmmpppp!" bahu Popy bergetar hebat. "Hhhmmm! Isshhhmmmppp!" Hap Ben memeluk tubuh istrinya erat. Popy tak bisa berhenti menangis sejak dari rumah. Sejak dia mengetahui bahwa putrinya adalah korban ledakan granat di restoran yang dia singgahi. "Ben! Aaaahhhkkk! Chana!" Popy terisak histeris lagi ketika memeluk suaminya. "Ummmmmm! Mmmmm!" Popy menutup paksa mulutnya sambil terisak kuat. "Akh! Hiks! Hiks! Emmphhh!" Popy menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. "Chana! Hiks! Chana!" Sret Sret Ben mengusap punggung istrinya. "Popy, tenang, putri kita sedang berada di dalam, dia memerlukan doa dari kita semua," ujar Ben menenangkan istrinya. Gleng gleng Popy menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terisak. "Chana kita membutuhkan doa dari ibunya, doamu, dan...doa dariku..." Tes Tes Tes Air mata Ben menetes terus menerus ketika mengingat nama putrinya. "Jangan menangis, Chana sedang dioperasi, nanti akan mengganggu konsentrasi dari dokter." Suara Ben bergetar. Tak Tak Tak Alamsyah berlari cepat ke arah ruang tunggu operasi. "Poko! Ben!" "Huh! Huh! Huh!" Napas Alamsyah memburu tak karuan. Dadanya naik turun cepat. Sret Semua mata memandang ke arahnya. Glek Alamsyah menelan sudah air ludahnya. Dia memandang ke keluarganya dengan wajah pucat pasi. "Naufal dan Marwa hilang di perkemahan." "Apa?!" "Ahhmmpp! Aaakkhh!" Bruk Bruk Bruk Popy berontak histeris di pelukan suaminya. Laras pingsan seketika. Sret Iqbal memegang d**a kirinya. "Sa...kit..." Bruk "Kakek! Nenek!" °°° "Ran," "Hm?" Randra menyahut panggilan istrinya. "Kantung tidur ini bagus, kita akan pulang besok, karena besok hari Sabtu, dan hari Senin akan ke pesta om Agri," Moti tersenyum girang ke arah suaminya. Randra balas tersenyum. "Ya, ini sudah jam enam, kamu tidak boleh terlalu telat makan, ayo." "Ran," "Hm?" Randra memperbaiki kerudung yang dipakai istrinya. "Chana ingin dibawakan tanaman asli dari Yunani, karena kita sudah ada di Delhi, Momok jadi lupa kan bawa tanaman asli Yunani, jadi apakah Origanumnya sudah dibawa kesini?" Moti bertanya penuh harap ke arah Randra. Randra mengangguk sambil tersenyum. "Baru saja sampai, mereka juga sudah membungkusnya agar mudah dibawa di pesawat nanti." Jawab Randra. Moti mengangguk puas. "Chana ingin belajar memasak, Momok baca di buku kalau tanaman origanum itu bisa ditambahkan ke masakan dan menambah cita rasa, jadi Momok juga ingin mencoba membuat masakan yang ditambahkan origanum, nanti Momok dan Chana akan memasak bersama." Ujar Moti gembira. Randra mengangguk senang. "Baik, aku yang akan menilai masakan kalian." "Oke," Moti mengedipkan sebelah matanya ke arah suaminya sambil cengengesan. "Um...kantung tidur untuk Naufal sudah siap, jaket bulu couple untuk om Agri dan tante Lia juga sudah siap, ah...tempat sampah unik ini juga sudah siap untuk tante Lia, hadiah buat Dimas, Dewi, Maharani dan Asmirani, Anna, Hafiz, Azam, Marwa, Harun sudah siap," Moti menunjuk ke arah barang-barang yang telah dia siapkan untuk cucu-cucunya. Moti dan Randra telah berada di Delhi selama tiga hari, Moti ingin mengunjungi beberapa tempat yang tidak sempat dia kunjungi, seperti kuil teratai dan Akshardham, kuil Hindu yang indah di India. "Selanjutnya...origanum milik Chana ada dibawah...ok. semuanya beres." Ujar Moti girang. Randra tersenyum geli ke arah istrinya. Moti sangat antusias ketika ingin pulang ke rumah, dia akan membeli oleh-oleh dari tempatnya berkunjung. Kehidupan damai mereka sangat memuaskan. Tok Tok Tok Terdengar ketukan pintu hotel kamar mereka. Randra yang ingin mengangkat Moti ke kursi rodanya berhenti. "Ada orang datang, Ran buka dulu pintunya," ujar Moti. Dia kembali menghitung barang yang akan dia bawa ke Jakarta besok pagi. Randra mengangguk. Dia berbalik dan berjalan ke arah pintu. Ceklek Ketika Randra membuka pintu, terlihat seorang bodyguardnya dengan wajah yang terlihat kaku. "Rian, ada apa?" tanya Randra. Rian, nama dari bodyguard itu menundukkan kepalanya ke arah Randra sebagai tanda hormat, lalu setelah itu dia maju dan berbisik ke telinga majikannya. Setelah bisikan dari Rian, wajah Randra berubah dingin tanpa ekspresi, tubuhnya menegang. Sret Rian kembali berdiri tegak didepan tuannya. Randra melihat serius ke arahnya. "Kapan itu terjadi?" suara Randra bergetar. "Di Kobe Restoran waktu ledakan itu terjadi sekitar jam tujuh lewat lima menit malam, sedangkan di perkemahan tuan muda Naufal, kabarnya terjadi sekitar jam yang sama dengan waktu ledakan di restoran." Jawab Rian. Sret Randra menatap nyalang ke arah dinding koridor hotel, dia mengepalkan kuat kedua kepalan tangannya. Sret Randra menoleh ke arah Moti yang sedang serius sambil mengambil kantung tidur serbaguna untuk cucunya Naufal, dia tersenyum. "Naufal pasti akan suka jika Momok bawa ini, dia kan suka sekali kemping, hehehe..." Moti terkekeh riang. Sret Glik Randra mengeratkan kuat rahangnya, terlihat urat Vena yang timbul akibat kepalan kuat tangannya. Entah apa yang akan dia katakan kepada istrinya. "Ssshhh...huuh..." Randra berusaha menangkan emosinya. Dia menutup mata dan menghirup udara. Lalu menghembuskan udara. Lalu dia membuka matanya. "Terjadi lagi di keluargaku..." suara Randra bergetar. Dia melirik ke arah Rian. "Siapkan penerbangan malam ini ke Jakarta dengan jet pribadi," "Baik, tuan." Rian mengangguk dan melaksanan perintah Randra. Sepeninggal Rian, Randra memandang lama ke arah Moti yang sedang bahagia. Setelah merasa bahwa amarahnya dapat terkontrol untuk saat ini, Randra berjalan mendekat ke arah istrinya. Tak Tak Tak Sret Randra duduk di ranjang hotel, dia menyentuh kedua bahu Moti dengan kedua tangannya. Sret Moti dihadapkan didepan Randra. "Um?" Moti memandang bingung ke arah suaminya. "Moti..." panggil Randra pelan dan lembut ke arah istrinya. Batin dan pikiran Randra sedang berperang. Dia tidak ingin memberitahukan kabar ini kepada istrinya, sebab dia tahu kondisi tubuh istrinya jika mendengar kabar ini. Chana terluka parah sedangkan Naufal menghilang entah kemana. Ayah dan ibunya stroke. "Ada apa?" Moti memandang wajah suaminya. "Kita akan pulang ke Jakarta malam ini." °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN