Hukuman (bagian 1)

2805 Kata
"Aarghhh, manusia satu itu emang nyebelin banget! " Entah sudah berapa kali Aarumi mengerutu kesal akan hukuman yang Delshad berikan. Afiffah yang melihat itu, hanya menggeleng pelan, memutuskan kembali ke sekertariatan AFM setelah memastikan Aarumi tidak kabur dan tentunya baik-baik saja. "Kak, bantuin dong .... Aarumi janji gak bakal buat onar lagi," pinta Aarumi, sungguh-sungguh. Afiffah refleks tersenyum, baru kali ini adiknya benar-benar menyesali perbuatannya. "Gak boleh." Tiba-tiba Delshad menyahut, menghentikan Afiffah yang baru saja ingin menjawab hal yang sama. Aarumi berdecak kesal melihat Delshad dengan wajah sok ramahnya itu, menyapa Afiffah. "Kakak Setuju dengan Delshad. Kamu emang harus dihukum dan jangan harap Kakak bantu kamu," tambah Afiffah makin membuat Aarumi mengerutu kesal. Hukuman yang Delshad berikan sama sekali tidak melibatkan tenaga sedikit pun, tidak ada drama menyikat kamar mandi, nyapu, ngepel ruangan sekretariat atau nyapu teras plus lapangan kampus di siang hari terik, tapi jika bisa memilih, Aarumi akan lebih memilih semua hukuman itu, ketimbang satu hukuman yang sekarang Delshad berikan. "Kak, ini gak mudah loh, bisa-bisa pecah kepala Aarumi," keluh Aarumi berlebihan, Delshad yang mendengar itu tidak mampu menyembunyikan tawanya. Aarumi langsung menghunus tatapan kesal pada Delshad. "Itu gak sulit Aarumi. Kamu cuma belum terbiasa, makanya sekarang saya—" "Apanya yang gak sulit?" sela Aarumi tidak terima. "Baca jurnal, artikel, berita, cerpen sebanyak 20 lebih, dengan tulisan sepanjang ini, situ bilang gak susah? " Delshad tersenyum lembut, tapi terlihat menyebalkan di mata Aarumi. "Ala bisa karena terbiasa. Coba aja baca dulu satu, lama-lama suka kok ...." "Ah, bacot !" sentak Aarumi sudah kepalang kesal. "Aarumi! " sergah Afiffah. "Kakak gak pernah yang ngajarin kamu ngomong gitu. Kalo sekali lagi kakak denger kamu ngomong gitu, kak tambahin hukuman kamu! " Secepat kilat Aarumi langsung mengantup mulutnya. Hukuman dari Delshad saja sudah semerepotkan ini, dia tidak berniat menambahnya lagi. Tumpukan di hadapannya saja sudah menumpuk bagai gunung menyebalkan, menghalangkan matanya dari melihat dunia dari jendela. Aarumi mulai menarik satu lembar dari tumpukan di hadapannya, sebuah berita. Mata Aarumi dengan malas mulai membaca judul berita tersebut "Guru Dadakan, Sekolah Online." Siapa yang peduli—batin Aarumi. Saat ini sistem belajar-mengajar di sekolah dialihkan menjadi belajar online atau daring. Kondisi ini terjadi karena adanya pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak 2 maret 2020 hingga kini. Sistem daring mengharuskan siswa belajar di rumah dengan bantuan media teknologi. Sistem belajar daring melibatkan guru, orang tua dan murid. Sistem daring sebagai berikut, guru memberikan tugas melalui gawai, lalu orang tua bertugas mengajari materi yang diberikan guru kepada anak. Sistem daring menuntut orang tua untuk berperan aktif dalam proses belajar. Padahal selama ini, orang tua atau wali cenderung pasif dan percaya penuh menyerah urusan belajar-mengajar pada guru. Aarumi menghela napas panjang, dia hanya siswi SMA biasa kenapa juga dia harus peduli dengan hal semacam ini? “Mendidik seorang anak bukanlah hal yang mudah. Anak bagai tanah liat yang jika salah dibentuk, maka akan rusak dan tidak berguna," ujar narasumber. Selanjutnya ia menyampaikan, kondisi yang serba tiba-tiba ini, menuntut para orang tua membentuk kebiasaan dan kesadaran baru, guna menjaga kualitas belajar anak. Tugas dan kewajiban orang tua sebagai guru pertama bagi anaknya, harus mulai disadari. Orang tua tidak boleh sepenuhnya lepas tangan mengenai pendidikan anaknya pada guru, dan momentum ini pas untuk meningkatkan hubungan kerja sama antara guru dan orang tua. "Akhirnya selesai juga," gumam Aarumi. Namun, Aarumi tidak bisa senang dulu, dia baru menyelesaikan satu dari banyak kertas di hadapannya. Selain membaca Aarumi juga harus membuat ringkasan, itu hukuman cabang. Delshad mengingatkan Aarumi dengan guru matematika saat ulangan, janjinya hanya memberi satu soal, tapi yang terjadi satu soal beranak pinang. "Gak sesulit itu, kan ...." ujar Afiffah saat melihat Aarumi sudah menyelesaikan satu ringkas tentang berita yang dia baca tadi. Aarumi mendengus, masih tidak setuju. Dari ujung matanya dia melihat Delshad dan Afiffah beranjak keluar dari perpustakaan, meninggalkannya sendiri. Sialnya, meski dia sendiri, dia sama sekali tidak bisa mencurangi rangkuman dengan mengcopy paste di internet, karena Delshad akan mengeceknya dengan Turnitin. Kalo ketahuan copy paste, hukuman Aarumi akan ditambah lima kali lipat. Aarumi mendengus kesal mengingat saat Delshad mengatakan hal itu. "Fokus Aarumi, sekarang kertas selanjutnya... " gumam Aarumi, mencoba sebaik mungkin membuat kekesalan di benaknya. Aarumi kembali menarik kertas berikutnya, kali ini tentang cerita mini. "Jomblo Fisabillah, Say : Cinta Bertepuk Sebelah Tangan adalah anugerah." Dalam malam yang sunyi, selepas salat Isya, seperti biasa saya duduk dan berbicang ringan. Tidak ada niatan untuk membicarkan hal berat, hanya ingin bersantai dan mengobrol ringan selayaknya anak manusia yanh beranjak dewasa, seperti menceritakan hal-hal lucu atau daftar rekomendasi drakor terbaru. Namun, entah kenapa percakapan semakin larut dalam obrolan yang sering anak muda sebut dengan deep talk, yang berawal dari sebuah stetemen yang membuat saya penasaran. Setelah kemarahannya selesai, sekarang terbitlah rasa kantuk di matanya. Aarumi buru-buru mengucek matanya agar tidak terlena. "Cinta yang berbalas di saat yang tidak tepat, adalah cinta yang paling menyakitkan." Mendengar itu, saya hanya mengangguk-ngangguk pelan, sedikit setuju, mungkin. Dia kembali melanjutkan kalimatnya. "Hanya ada dua pilihan. Menghempas syariat, atau menghempas cinta. Keduanya pasti bukan pilihan yang mudah untuk dua orang yang berada dalam lingkaran cinta." Perkataannya yang tersusun rapi, membuat saya seolah mendengar sebuah kutipan n****+ yang dibacakan dan didengarkan dengan intonasi yang kembali membuat kepala saya tanpa sadar mengangguk-ngangguk kecil. Tidak, ada niatan mengintrupsi apalagi menyela, rasanya tidak rela saja membiarkan kalimat indah terputus begitu saja. Namun, sorot matanya, membuat saya menyadari satu hal, mustahil orang bisa tiba-tiba begitu pandai bersyair padahal dia tidak suka syair kecuali dia sedang jatuh cinta, atau mungkin patah hati ? "Aarghh!" Aarumi berdecak keras. "Apa ada hukuman sesulit ini? " Aarumi merasa matanya kini terasa panas, lantaran berkali-kali ia kucek. "Jadi, cinta seperti itukah yang sekarang tengah kamu rasa, kan?" Dia tiba-tiba mengangkat kepalanya, raut wajahnya nampak sedikit kaget, sebelum seulas senyum tipis tapi di wajahnya yang terlihat jelas dari pantulan lampu putih kamar berukuran sepetak ini. "Untungnya tidak," jawabnya singkat dengan ekspresi lega yang berlebihan, berbanding terbalik dengan saya yang seketika mengertukan dahi, menuntut jawaban yang lebih panjang. Dan seperti yang tertera di judul, dia mengatakan kalo cintanya bertepuk sebelah tangan. Ini pertama kalinya, saya melihat orang yang begitu bahagia mendapati cintanya tidak terbalas. "Ini sangat mengerikan, jika saja mereka sadar kalo bunga mawar yang wangi, yang menajubkan mata dan indra penciuman, mengentarkan hati, diam-diam telah memberikan duri pada jarimu." "Udah lama-lama aku baca, ceritanya cuma gini, gantung ? nyebelin banget. Mana sih lanjutannya?" dumel Aarumi tanpa sadar. Aarumi tertegun setelah menyadari rupanya dia mulai menikmati hukumana ini. "Apaan, ceritanya aja gak jelas!" tambah Aarumi, mengelak fakta kalo dia ingin kelanjutan cerita itu. Aarumi menarik kertas berikutnya, kali ini artikel berjudul, "Komunikasi Penyiaran Islam, tidak semuanya bakal jadi Ustadz/ Ustadzah." Kali ini Aarumi langsung membaca dari dua paragfar terakhir. .... Fakta inilah yang membuat saya, si anak ‘lintas jurusan’ berani mengambil jurusan yang sangat jauh dari background saya. Saya tidak ingin menjadi ustadzah seperti stereotip masyarakat pada umumnya, melainkan saya sangat ingin menjadi seorang penulis, dan saya rasa masuk ke dalam jurusan KPI, sangat menunjang cita-cita saya itu. Karena di jurusan ini saya juga diajarkan membuat, artikel, jurnal, berita, bahkan ada satu mata kuliah yang khusus mempelajari teknik penulisan opini dan feature. Jadi, tidak adil rasanya jika jurusan ini hanya dianggap sebagai jurusan yang mencetak ustadz/ustadzah hanya karena ada label ‘Islam’ yang tersemat. Seperti yang saya bilang diawal, kalo label Islam merupakan nilai tambah, bukan sebagai penutup apalagi pembatas ruang gerak para mahasiswa/i KPI dalam berkarir. "Tuhkan benar, baca aja dari terakhir....." Aarumi tersenyum penuh kemenangan, meski dia tidak tahu ini bisa dibilang trik cepat atau tidak. So, jurusan KPI tidak selamanya hanya akan jadi sarjana yang akan memenuhi mimbar atau majelis-majelis. Jurusan KPI juga bisa, menjadi penyiar radio, jurnalis, penulis, public speaker, motivator, HRD, bahkan menjadi desainer logo. Yap ! Karena tidak selama semua orang bisa dan siap menjadi ustadz/ustadzah sekalipun dia merupakan seorang sarjana KPI, seperti saya. Saya sendiri masih merasa perlu banyak belajar untuk bisa mengemban amanat sebesar itu. Dan sebagai penutup, saya ingin menyampaikan sepatah dua patah untuk mahasiswa/i KPI yang mungkin merasa bersalah seperti yang pernah saya alami, bahwa, tidak masalah kamu tidak menjadi ustadz/ustadzah, tetaplah menyebarkan agama Islam di mana pun kamu berada dan dalam profesi apa saja. Setelah membacanya Aarumi tidak berkomentar apa-apa, dengan cepat Aarumi menulis inti sari dari artikel yang dia baca. Aarumi kemudian kembali mengambil kertas selanjutnya berjudul, "Sepenggal Surat." Hay ... ini aku. Aku yang nampaknya sedang tidak baik-baik saja— "Masa bodoh !" komentar Aarumi, buru-buru membaca cepat. "Baiklah mari kita tulis ... jadi ini hanya sepenggal sajak yang mungkin mewakili setengah kisah yang ada dan sisanya, lagi-lagi harus di penjara agar tidak melanggar kebijakan yang sudah dibuat olehku di masa lalu, yang sudah di sepakati olehku di masa ini, kebijakan ini bernama privasi. Ya, aku rasa setiap manusia harus memiliki privasi yang dia simpan, agar bisa terlihat lebih keren ... mungkin ? Atau agar ada sesuatu yang orang lain tidak tahu tentang dirimu dan hanya dirimu yang tahu. Itu terdengar seperti agen rahasia yang akan selalu bersikap waspada karena memegang banyak rahasia, setidaknya itu skala besar dari penggambaran ini. Jika kau punya privasi, maka kau bisa jadi agen rahasia untuk dirimu sendiri." "Hari ini, di bawah naungan langit yang terang, dibantu lampu jalan, lampu sen mobil dan motor yang warnanya tidak seragam, tapi terlihat indah. Di situasi seperti itulah, aku membuat surat ini. Sebuah surat yang mungkin hanya bisa dipahami oleh diriku sendiri,sebanyak lima puluh persen? Atau tujuh puluh persen atau mungkin seluruhnya? Saat orang bilang kalo hidup itu seperti roll coster, aku sepenuhnya percaya, meski terbilang manusia muda di muka bumi, belum terlalu banyak mencoba asam ataupun garam beryodium tinggi ... rasanya aku tetap berhak berceloteh tentang asam garam versi lite. Asam garam versi orang yang lebih suka manis — "Oke inti tulisan ini yaitu ... cobaan bukan hanya datang untuk orang yang beriman, cobaan juga datang untuk si pendosa. Kita semua ibarat berada dalam satu kelas, semua yang berstatus murid pastian akan mendapat kertas ujian, entah dia murid yang berprestasi atau sebaliknya, yang membedakan hanyalah, bagaimana cara mereka menjawabnya. "Si pintar tentu saja akan menjawabnya dengan cermat dan mungkin benar ... kalo pun salah, itu terjadi bukan karena mereka tidak belajar atau tidak paham, mungkin karena mereka sedikit kurang teliti ? Begitupun 'si bodoh' ia mungkin saja mengisi dengan cepat, tidak peduli benar atau salah, jika salah ya sudah... toh tidak ada effort yang perlu ditanggisi. Jika benar, itu sebuah keberuntungan yang terdengar membahagiakan, tapi hanya sesaat, lagi-lagi semua terjadi tanpa effort. Jadi apa istimewanya?" Tulis Aarumi sebagai inti sari. "Btw ini jenis tulisan apa sih? Artikel atau apa? " kening Aarumi berlipat, bingung. "Ah, gak tahu deh, tulis-tulis aja ...." pasrah Aarumi setelah otaknya terasa buntu. Kertas selanjutnya artikel, kali ini Aarumi yakin betul soal ini. "Majelis Taklim Virtual," gumam Aarumi. Sudah terhitung sejak dua tahun yang lalu, Covid-19 mengganggu kehidupan kita. Virus ini merupakan virus jenis baru, yang dinamakan Corona virus disease-2019 (COVID-19)— Alternatif seperti apa yang dibutuhkan kegiatan majelis taklim untuk bangkit? Teknologi yang berkembang pesat, merupakan angin segar di tengah pandemi. Kemajuan ini dapat digunakan untuk membuka kembali ruang publik secara virtual. Seperti kata pepatah, selalu ada jalan untuk niat baik. Tidak dapat bertemu secara langsung maka virtual jalan terbaik. Semua dilakukan dari jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Virtual menawarkan banyak keuntungan seperti, fleksibel waktu, tempat bahkan biaya dan tentunya menekan angka penularan Covid-19." —Majelis taklim virtual dapat dilaksanakan melalui video conference, youtube, w******p dan banyak aplikasi lainnya. Materi yang disampaikan dalam majelis taklim virtual juga beragam. Mulai dari keresahan masyarakat, hingga ilmu-ilmu kehidupan yang bermanfaat. Tidak heran, keberadaan majelis taklim disambut baik masyarakat terutama kalangan muda. Saya pernah mengikuti majelis taklim secara virtual dengan media w******p, diikuti sekitar 145 orang, dengan tema tabaruj, yang dipaparkan oleh ukhti Sholiha. Setelah sekitar tiga puluh menit, pemateri memaparkan, peserta bisa bertanya pada pemateri. Majelis taklim ini rutin diadakan setiap malam minggu, dengan bentuk teks dan voice note— "Ternyata efek pandemi waktu itu besar juga ya? Untung sekarang gak pandemi lagi ...." komentar Aarumi sembari menulis inti sari artikel itu. Aarumi merengangkan sedikit pinggangnya sebelum mengambil kembali kertas selanjutnya. Kertas selanjutnya cerpen bersambung. "Eh, judulnya gak ada? " gumam Aarumi heran. Kejutannya itu berlangsung dua menit saja, setelahnya Aarumi mengabaikannya dan mulai membaca. Altan menghela nafas panjang, pria berwajah tampan itu nampak frustrasi dengan kondisi yang ada. Sesekali dia memijat batang hidungnya mencoba menyingkirkan nyeri di sekitar kepalanya. "Pak, biar saya bereskan berkasnya sekarang." Seorang pegawai wanita dari staff administrasi, Audrey—mencoba ingin memanfaatkan keadaan yang ada untuk mendapatkan hati bosnya itu. "Tidak perlu. Kembali ke tugasmu saja." Altan langsung menghentikan langkah gadis itu yang hendak mendekat ke arah mejanya. Altan memiliki peraturan bahwa setiap karyawan tidak boleh mendekati mejanya. Mereka harus berdiri sejauh satu meter dari mejanya, jika pun ada hal yang ingin mereka lakukan, mereka cukup meletakan berkas di meja ujung khusus yang Altan siapkan. "Tapi, Pak—" "Apa kamu saya gaji untuk membantah saya? " sahut Altan dingin. Audrey mencibik kesal dalam hati, dengan berat hati, gadis berwajah cantik yang merupakan idaman pria di kantor, mingsut hendak keluar dari ruangan Altan. "Tunggu dulu..." henti Altan. Audrey diam-diam tersenyum bangga, pesonanya memang tidak pernah gagal. "Iya, Pak? " Audrey berbalik, sembari melempar senyum manis, percaya diri. "Besok-besok, jangan pernah masuk ruangan saya lagi, kecuali ada kepentingan mendesak." Audrey tercengang. "Mengerti?" Audrey buru-buru mengangguk dan segera keluar dari ruangan itu, dia benar-benar merasa terhina. Altan menghela nafas panjang, setelah kepergian Audrey, entah sampai kapan ia harus bersikap bak manusia yang alergi dengan manusia. "Hufttt...." "Apa perlu sekretaris? "Altan tanpa sadar bergumam pelan kembali termenung memikirkan berkas yang bertumpuk dan jadwalnya yang berantakan. Biasanya dia bisa meng-handle semua ini, tapi belakang ini Altan gagal karena banyaknya alasan. Salah satunya, perjalanan ke luar negeri yang menyita seluruh waktunya. Altan pergi bukan untuk berlibur tapi menjalin relasi agar perusahaan penerbitannya itu bisa lebih berkembang, bukan hanya sekedar perusahaan yang menerbitkan buku, tapi juga menjadi perusahaan berbasis teknologi yang menyediakan platfrom menulis dan membaca. Altan melihat ke arah luar dari ruangannya. Sekarang jam istirahat, semua karyawan sedang makan di kantin kantor. Altan keluar dari ruangannya menuju pentri untuk membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Meski seorang CEO, Altan bahkan jarang sekali memanggil OB untuk urusan-urusan yang bisa dilakukan sendiri. Tanpa sengaja Altan mendengar gosip para karyawan yang tengah asik berdandan di kubil-kubil mereka, mereka terlalu asik menatap kaca hingga tidak sadar ada Altan di sana. “Dia pikir, dia siapa? Huft! Songgong banget!” “Jadi Lo beneran di usir? “ Audrey menggeram kesal. “Gak ada orang yang sebelumnya pernah nolak gue!” “Kali ini pesona Lo gagal di depan bos super dingin itu.” “Eh, tapi gue dengar dia bentar lagi mau ke luar negeri ya? Buat bisnis? “ “Gak akan terjadi. Manusia songgong itu, bakal gagal. Liat aja, sok-sokan gak butuh bantuan orang. Awas aja kalo gaji gue kececeran karena dia gak mau punya sekertaris.” “Gue bingung, kenapa sih si bos gak mau punya sekretaris? “ Audrey tersenyum miring. “Apa lagi, dia takut rahasia besarnya terbongkar.” “Rahasia apa? “ “Emang kalian gak tahu?” “Gak.” “Kalian emang gak aneh kenapa bos selalu minta kita buat gak dekat-dekat dia? “ panci Audrey, seraya mengulas senyum miring. “Hem.. Gue pikir karena dia merasa tinggi.” Audrey menggeleng lambat, membuat dua rekannya makin penasaran. “Terus, karena apa? “ “Karena bos punya penyakit yang buat badannya bau amis. Bau banget kayak ikan busuk.” “Ha? Serius Lo? Jadi desas-desus itu benar ?” “Benar,” sahut Altan membuat ketiganya terbelalak kaget dan spontan langsung tertunduk takut. “Lalu apa? Kalian ingin membully saya? “ “Kalian bertiga saya pecat, sekarang kalian angkat kaki dari kantor saya,” kata Altan, dingin. Audrey segera memohon meminta belas kasih Altan. “Pak jangan pecat saya... Saya mengakui kesalahan saya. Saya mohon pak..” “Tidak ada toleransi bagi pembully dan penggosip seperti kalian,” tegas Altan. “Pak, kasih kami satu kesempatan lagi.” Audrey memohon. “Pak...” Altan pergi dari sana, kembali ke ruangannya, diiringi tatapan takut para karyawan. Keinginan Altan untuk minum kopi seketika sirna. Altan kembali duduk di kursinya dan tanpa sadar memperhatikan dirinya sendiri dari pantulan cermin berukuran sedang di atas mejanya. Raut wajah datar seolah menjadi wajah baru Altan sekarang. Altan bukanlah Altan. 'Altan bisa tanpa sekretaris, Ma. Altan akan buktikan.' Kalimat singkat itu mengaum di telinga Altan, layaknya gedrang kekalahan yang terus mengolok Altan. “Altan akan buktikan ke bunda kalo Altan akan bertahan di sekolah ini. Altan janji.” Dan sekali lagi, Altan keliru. Jika sekarang bernama sekertaris, maka dulu bernama.... "Baru tahu ada penyakit kayak gitu," komentar Aarumi di sela membaca. Aarumi membayangkan jika seadanya ada temannya yang seperti itu, pasti sangat menyedihkan hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN