Asyifa

2005 Kata
Delshad buru-buru pulang ke kosan setelah insiden itu, mengabaikan kenyataan kalo hari ini dia persentasi. Percuma dia masuk ke kelas, dia tidak akan bisa presentasi atau menyimak perkuliahan dengan tenang. Beruntung Giffari dengan sigap langsung membantunya, mengantikan jadwal persentasi. Aariz dengan sigap juga, mengantarkan Delshad pulang dengan motor miliknya. "Lo butuh gue beliin obat? " tanya Aariz begitu mereka sampai di depan kosan Delshad. Delshad tidak butuh obat, dia hanya ingin masuk ke dalam kosnya, sendirian. Delshad menggeleng pelan, jam memperhatikan jam yang melilit di tangannya menujukkan pukul tujuh, lima belas menit lagi perkuliah di mulai, Aariz bisa telat jika mampir ke apotik dulu. "Tenang aja, gak masalah kok bolos sehari. Jatah absen gue belum pernah dipake," sahut Aariz. "Gak perlu, Riz. Gue cuma pusing doang, butuh istirahat aja." Delshad mengambil kunci kosa-nya dari saku celananya. Aariz menatap seksama Delshad. Delshad kelihatan tidak baik-baik saja, tubuhnya berkeringat dan wajah terlihat sangat pucat. "Lo tenang aja, masalah tadi biar gue cari tahu penyebabnya. Gue curiga ada yang jebak lo, biar reputasi lo buruk." Delshad mengangguk lemah, tubuhnya terasa makin tidak enak. "Makasih ya, Riz." "Ya sama-sama. Lo kalo butuh bantuan, telepon aja gue. Oke? Gue balik ke kampus dulu. Assalamualaikum." "Walaikumsalam ...." Delshad buru-buru masuk ke dalam kamar kosnya. Sudah lama dia tidak merasakan perasaan tidak nyaman ini. Dadanya terasa sesak, napasnya memburu cepat, keringat dingin memenuhi tubuhnya, Ac di dalam kamar berukuran kecil ini sama sekali tidak berguna. Delshad segera berjalan cepat menuju meja kecil miliknya, mencari obat di dalam lacinya itu, hampir setengah jam, mencari Delshad tidak menemukan benda kecil itu. "Perkembangan kamu semakin meningkat. Saya rasa kamu harus mulai menghentikan konsumsi obat penenang. Saya yakin kamu bisa mengatasi rasa cemas itu." "Seharusnya saya tidak menyetuju hal itu! ...." Delshad mendengus teringat perkataan psikiaternya satu bulan yang lalu. Sekarang, apa yang harus dia lakukan. "Jika cemas berlebihan kamu tiba-tiba datang, cobalah untuk mengolah rasa stres itu. Stres bisa memicu kecemasan semakin memburuk. Coba duduk tenang, tarik napas abnormal mungkin ...." Dokter Farhan, psikiaternya pernah menjelaskan. Di tengah, rasa tidak nyaman itu, Delshad berusaha sekeras mungkin mengingat-ingat semua yang dikatakan dokter Farhan, satu bulan yang lalu. "Kalo itu tidak berhasil, Dok? Apa yang harus saya lakukan? " "... coba untuk beristirahat, coba lah untuk memaksa diri untuk tidak memikirkan hal-hal yang membuat kamu cemas. Pejamkan mata, dan berusah lah untuk tidur, beristirahat." Gagal! "... stres itu datangnya dari pikiran kita. Cobalah untuk mulai menuliskan semua pikiran buruk itu di dalam secarik kertas, setelah semua pikiran buruk itu kamu tulis, timpal dengan pikiran baik .... kamu harus melawan rasa cemas itu ...." Cara itu berhasil. Perlahan rasa cemas Delshad mulai menghilang. Delshad merebahkan tubuhnya di kasur, matanya mulai terasa berat. Perlahan dia mulai tertidur pulas. "Sebenarnya apa yang terjadi hari ini ?" Setelah selesai melaksanakam salat dzuhur, Delshad mengoleskan salep di wajahnya. Menatap nanar pipinya dari pantulan cermin, terasa nyeri dan juga merah. "Aku bahkan tidak mengenal mereka, kenapa mereka bilang aku memainkan hati mereka? " Kepala Delshad kembali terasa berat, Delshad segera menghentikan pertanyaan itu dari kepalanya. Delshad memutuskan untuk kembali beristirahat, meski itu tidak semudah tadi. Tiga puluh menit, Delshad hanya diam menatap lurus, atap kosnya yang baru saja di cat berwarna putih, setiap kali ada pikiran buruk yang melintas, Delshad segera berdzikir. Dua puluh menit berikutnya, Delshad mulai merasa ngantuk, matanya mulai berat, perlahan hendak terpejam. Satu ... dua ... tiga ... tiba-tiba ponselnya yang berada tepat di sebelah telinga kanannya berdering nyaring, kali ini bukan dari nomor tidak dikenal, tapi notifikasi dari chat grup. Delshad menyesali keputusannya menyalakan ponsel. 'Semua anggota AFM wajib datang ke sekertariatan sekarang juga! Gue tunggu sampai jam satu! Yang gak datang bakal gue kasih hukuman!' Itu pesan dari Satria—ketua umum himpunan AFM. Grup jadi ramai setelah pesan mendadak itu. 'Bang, gue lagi banyak tugas. Gak bisa nih.' 'Bang, kenapa mendadak sih? Gue lagi pergi nih, masa ia pulang? Jauh, Bang. Gue izin ya.' 'Bang, gue gak bisa datang. Kucing gue barusan lahiran.' 'Iya, Bang, kucing gue juga barusan nikah ini. Gue jadi saksinya.' 'Bang, gue izin masih ada kelas setelah ini. ' 'Gue gak terima alasan apa pun! Yang gak datang siap-siap di sidang seninnya!' ketik Satria. Kalimat paling ampuh membuat semuanya seketika manut. 'Gue OTW, Bang ...' 'Gue juga, Bang.' 'Mending gue putar balik dah, dari pada di sidang.' Tambah yang lain. Delshad menghela napas berat, inilah konsekuensi dari berorganisasi, semua waktu luangnya digadaikan habis-habisan. " ... Kalo gak bisa jalan, ya ngesot. Kalo gak bisa ngesot, ya ngerangka, apa pun keadaan lo harus datang pas gue bilang rapat! Kecuali kalo lo mati, beda cerita! " Kira-kira itulah kalimat sakti yang Satria selalu sebutkan saat ada anggota yang beralasan tidak datang rapat karena sakit. "Ini organisasi Aspirasi Mahasiswa, tapi anggotanya di bungkam habis-habisan ...."keluh Sadam, kala itu, setelah rapat terbatas diadakan. Sadam, salah satu anggota AFM yang sering bertukar pikiran dengan Delshad, cowok dengan kulit cokelat itu, berpikir kritis dan selalu siap membuka forum diskusi, kapan saja. Tema yang dibahas juga tidak seputaran politik saja, Sadam juga sering membahas isu-isu kontemporer dalam sudut agama. Tidak heran keberadaan Sadam, sangat mengusik kebijakan yang Satria buat. Sadam habis-habisan akan mengkritik setiap kebijakan Satria yang dianggap tidak adil, berat sebelah. Sadam juga paling vokal menyuarakan ketidak setujuannya pada Satria, yang dianggap terlalu otoriter tidak sesuai semangat demokrasi, seperti prinsip yang selalu dijunjung dalam AFM. " ... Delshad, kamu pasti pernah dengar, apa kamu berminat bergabung dalam golongan pita biru, bersama kami ? Ini bukan golongan rahasia, kita tidak bergerak di bawah tanah, tidak juga berniat mengkudeta secara illegal kekuasan Satria. Untuk di dengar, kita perlu menyatukan suara. Itulah tujuan golongan pita biru." Sadam pernah mendatangi Delshad untuk menawarkan hal itu, dengan semangat mengebu-gebu Sadam menjelaskan seperti apa golongan pita biru yang dia pimpin di dalam tubuh AFM. Ini sudah menjadi rahasia umum, keberadaan pita biru di dalam tubuh AFM, bagai lebah kecil. Degungnya membuat semua orang takut. Bahkan Satria, tidak berkuasa meski dia memiliki kekuasan tertinggi di AFM. Satria tidak mau kehilangan kekuasaannya dengan mengusik anggota pita biru. Semua keputusan yang dia buat, selalu melibatkan Sadam. Sadam dibungkam dengan cara yang sampai saat ini, masih menjadi misteri di AFM. Sadam sekarang bak kerbau yang dicucuk hidungnya. Satria sengaja membuat para lebah tidur, agar dengungnya tidak lagi terdengar. Harus Nasim akui, Satria sangat licik dalam bersiasat. Dia bisa membuat para lebah, diam, tidak berkutik. "Pertemuan akan dimulai setelah semua anggota lengkap." Pengumuman dari Satria membuat beberapa anggota AFM, mengerutu tidak setuju. Pasalnya jika menunggu, pasti rapat akan dimulai setelah ashar. Delshad juga kesal dengan jam karet yang selalu ada di setiap pertemuan AFM. "Delshad ... saya dengar dari teman kamu, kamu lagi sakit?" Sadam menarik kursi duduk di samping Delshad. "Biasalah, Bang ...." "Efek begadang?" Sadam tertawa renyah. Semenjak menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya, Sadam jarang sekali tertawa, setiap pertemuan wajahnya selalu tegang. "Lagi bahagia nih, Bang?" celetuk Delshad asal, berusaha mengurangi rasa canggung, sudah lama, Delshad dan Sadam tidak saling bicara. Bukan karena musuhan, atau apa, hanya saja, Sadam terlalu sibuk, begitu pun Delshad, tugas kuliahnya, akhir-akhir ini menumpuk. "Pasti dong. Akhirnya si burung sombong patah juga sayapnya. Dia ketar-ketir," jawab Sadam. Kening Delshad mengernyit, tidak mengerti. Burung sombong itu Satria, tapi patah sayapnya ... apa maksudnya? Kepala Delshad yang tiba-tiba kembali berdenyut, menghentikanya bertanya lebih lanjut. "Saya bangga sama kamu, Shad... "Tiba-tiba Sadam menepuk pelan bahu Delshad sebelum beranjak, keluar ruangan, cari angin. Lagi-lagi, Delshad malas bertanya lebih lanjut, meski bingung, dia membiarkan saja Sadam pergi. " .... ck, ini mah asli masih lama. Tau gini gue datang aja abis ashar ...." Terdengar lagi suara gerutu beberapa anggota AFM yang baru saja datang. "Mending, tidur aja dulu kali ya ...." putus Delshad, setelah memastikan kalo rapat ini masih lama di mulai. " .... eh, bangun, bisa-bisanya nih anak tidur di kondisi kayak gini." Delshad tersentak kaget dari tidurnya. "Akhinya lo bangun juga. Lo tidur atau mati sih? Susah banget dibangguni... "gerutu mahasiswa berambut gondrong, menatap kesal Delsahd. Pria itu satu angkatan dengan Nasim. Nasim tahu itu, meski Nasim tidak ingat siapa namanya. "Nama lo dari tadi disebut, lo malah pules tidur," katanya lagi. Nama aku disebut, kenapa? Belum sempat bertanya, teriakan nyaring dari arah depan, mengintrupsi suara Delshad. Iru suara Sadam, berdiri di deoan dengan toak di tangannya, di kepalanya teringat kain bertuliskan ganti Ketua. "Organisasi ini memang butuh manusia jujur dan religus macam Delshad ..." Delshad spontan berdiri, kaget, namanya disebut-sebut. Apa yang Bang Sadam katakan, tadi ? Ketua? Dalam sekejap, pusat perhatian berpindah pada Delshad. "Kita butuh pemimpin yang aman, tidak otoriter yang selalu membungkam mulut kita!" seru Sadam kembali membuat ruangan sekertariatan ramai, gemuru suara. Sorak setuju atau sorak tidak setuju. Ruangan sekretariat seketika terbagi menjadi dua, golongan kanan dan golongan kiri. Mereka saling menerikai satu sama lain. Dari arah depan, dengan tangan terkepal, Satria celangak-celinguk mencari keberadaan Delshad. Cowok bermata sipit itu, terus-terusan meneriaki Delshad. "Delshad, di mana lo?" teriak Satria, kencang. Kemarahan Satria membuat beberapa lebah di sayap kanan, memilih diam, mengawasi Satria, yang terus berjalan menabrak beberapa orang yang mengalangi jalannya. "Kenapa Bang Satria, kelihatanya marah gitu? " gumam Delshad tidak mengerti. Karena tidak merasa punya salah sedikit pun, Delshad tidak ragu maju, menghampiri Satria. Melihat Delshad, kemarahan Satria makin menjadi-jadi, dengan cepat langsung menarik kera kaos baju Delshad. "Sial lo ya, lo nantangi gue!" desisinya tajam. Delshad mengernyit, tidak mengerti. "Ada apa, Bang? Kenapa nyari saya? "tanya Delshad tenang. Meski membiarkan Satria menarik kencang ujung kera bajunya, keatas. Delshad tetap siaga memperhatiakan pergerakan tangan kanan Satria yang mengepal keras di sebelah pahanya. "Apa maksud lo buat bennar itu, Ha! Lo mau kudeta kekuasan gue, ha! Anak kemarin sore aja belagu lo!" pekik Satria. Delshad terus memperhatikan tangan Satria, mengatur siasat cepat, untuk menghindar. "Lo pikir gue takut sama lo! Hadapi gue dulu, sebelum lo niat ngerebut kekuasaan gue !" tantang Satria, jumawa. Satria merupakan mantan atlet silat, dia sudah banyak mengantongi mendali emas dalam beragam ajang pencak silat, kealihan bela dirinya bukan kaleng-kaleng, sabuk hitam, kejuaraan tingkat nasional, siapa yang tidak tahu itu. Satria bahkan sudah pernah melengang ke Swiss, dalam laga internasional, sayangnya, terjadi cedera pada lututnya, membuatnya harus pesiun dini. Meski begitu, Satria masih sama tanggungnya seperti sebelumnya. "Saya gak tahu maksud Abang apa ...." Dengan cepat, Delshad menepis tangan Satria, menjauh dari kerah bajunya. Delsahd mundur dua langkah menjauh. "Cuma gini nyali lo, ha? Di tarik dikit aja, udah takut! " Satria tersenyum meremehkan. "Delshad cuma gak mau ribut aja, gak kayak lo, yang dikit-dikit pake kekerasan! " sahut golongan kanan. "Alah, alibi, bilang aja takut! "Satria tertawa mengejek, diikuti golongan pro Satria yang ikut menertawakan Delshad. "Setidaknya dia gak korupsi kayak lo!" Itu suara Sadam, lantang berteriak, membela keributan yang ada, berjalan tenang, di antara kedua kubu yang membela diri, memberi jalan pada Sadam. "Kita semua tahu, kalo Satria sudah sering mengelapkan dana himpunan, mau sampai kapan kita diam, ha? MAU SAMPAI KAPAN! "teriak Sadam, kembali memancing teriakan bergemuru dari golongan kanan. Semua lebah tertidur, kini sudah bangun. Mengeluarkan semua suara yang mereka punya. Keributan kembali terjadi. Golongan kanan dan kiri, kembali adu argumen panas. "Mending kita pergi dari sini." Delshad tertegun saat tahu siapa gadis yang mengajaknya keuar dari ruangan Sekretariat. Dia, Asyifa .... kakak tingkatnya, yang tempo lalu membuat Delshad berdecak kagum karena orasi yang dia bawa. Tegas, jelas dan berisi. "Lo masih bingung, kenapa semua ini terjadi?" tanya Asyifa, Delshad mengangguk cepat, membenarkan pertanyaan Asyifa. Ini pertama kalinya Delshad memiliki kesempatan berbicara dengan Asyifa. Asiyaf tersenyum, memaklumi kebingungan Delshad. Ia mengeluarkan ponselnya, menunjukan sesuatu yang membuat mata Delshad mendelik lebar. Benner yang dari tadi Satria bicarakan, ternyata benner berisikan wajahnya, dengan tulisan ketua umum AFM. "Kok bisa sih lo gak tahu soal ini ? " tanya Asyifa lagi, kali ini terlihat heran. Delshad menghela napas panjang, kehilangan kata-kata. Bagaimana bisa masalah sebesar ini, melibatkan dirinya dan dia sama sekali tidak tahu? "Gue rasa ada orang yang iseng, mau buat lo dalam masalah," gumam Asyifa, menerka-nerka. "Lo punya musuh atau apa gitu, di sini? " tanya Asiyaf yang lagi-lagi tidak bisa Delshad jawab.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN