Lukman adalah polisi yang ingin jujur.
Tapi ia juga mengedepankan kebersamaan. Bila memang apa yang ia katakan tidak menimbulkan kekacauan maka ia tidak akan melakukan sesuatu yang menghancurkan. Tentu saja itu bertabrakan dengan etika polisi. Kecurigaan dan pencegahan adalah hakikat utama.
Itu pula yang ia lakukan pada Indah. Ia tahu Indah tidak di rumah siang hari. Ia tahu masa lalu Indah dan bisa saja mencegahnya. Tapi saat pulang ke rumah, ia selalu melihat senyum istrinya.
Lukman tertekan, itu pasti. Saat bekerja ia menekan dirinya, saat pulang ia tahu tapi tetap tersenyum. Tapi kebersamaan menggantungnya dalam ketidakpastian. Sebagai polisi ia harus menginvestigasi tapi ia hanya curiga saat kasus diletakkan di mejanya.
Lukman menduga kalau ia tidak memiliki kekuatan sehingga ia mudah diseret oleh keputusan bersama. Bahkan menjustifikasinya sebagai demokrasi. Individu tidak akan menang melawan massa.
Sekarang jelas ia salah besar. Sana adalah individu yang mampu meneror massa. Dia beserta rekannya tidak mampu menghentikannya. Was-was mundur meresap ke hati mereka dan keluar kembali dalam wujud bisik-bisik untuk mencari posisi yang lebih strategis –strategis untuk kabur tentunya.
Lalu bagaimana dengan Lukman? Ia sekarang sudah memiliki kekuatan. Ia juga jangan-jangan bisa berubah. Tapi seperti chapter sebelumnya, ia tersandera oleh pilihannya. Sekarang ia harus memilih.
"Hentikan!"
Lukman merintangi jalan antara Sana dan Indah.
"Lukman, inikah pilihanmu?"
Lukman berdeguk. Ia membawa pistol tapi memilih tidak menggunakannya.
Sana melihat kalau Lukman merintanginya dirinya dan Sana. Ia menjulurkan tangan kanannya, hendak meraih punggung itu. Tapi di saat itu juga ia dibisikkan kalau Lukman jangan-jangan sudah selingkuh. Tangan itu pun terkulai lemah.
Asumsi itu juga diperkuat dengan tidak ditariknya pistol dari pinggang Lukman. Tidak seperti saat pertemuan pertama dimana pistol itu meletus. Kecelakaan memang tapi s*****a dihunus demi melindungi.
Indah merasa tidak diayomi. Lukman yang membaca kalimat 'merasa sedih karena tidak diayomi, kecewa.'
Tapi ia mendapat nasihat 'kalau kau mengangkat senpi, kau dan rekanmu mati.'
Lukman bertanya apa itu mengabdi pada masyarakat. Apa harus memastikan keamanan warga dengan mengorbankan diri. Tentu bukan kan. Yang ia tahu, berulang kali ia bertanya pada rekannya juga, bahwa keamanan diri sendiri diutamakan. Kalau melindungi diri sendiri tak bisa maka jangan harap bisa melindungi yang lain. Sehingga k*******n bisa dijustifikasi.
Sekarang ia bertanya pada kemampuannya. Bisakah dengan menarik senpi ia mencegah celakanya Sana.
Lukman melirik pada Indah yang masih terbujur lemah. Tangan kiri istrinya nyaris remuk. Luluhlah hatinya. Ia mengambil pistol.
"Kalian jangan bergerak!"
Sana melirik, menyadari kalau ada bala bantuan yang mengepungnya. Rekan Lukman kaget karena Lukman mengumbar persembunyian mereka.
"Tolong bantu rekan kita di luar. Aku menduga ada pelaku lain yang membuat kerusuhan!"
Tidak ada yang menolak, padahal ada yang pangkatnya lebih tinggi. Kejujuran Lukman lebih dipercaya daripada hierarki pangkat –sayang Lukman tidak tahu.
"Apa kau akan menembak?" tanya Sana. Suaranya terdengar sedih.
"Harusnya tidak perlu."
"Apa kau akan menangkapku?"
"Kalau aku menangkapmu, aku juga harus menangkap istriku."
"Istrimu?" Sana mengernyitkan alis.
"Wakil bertanya padaku waktu itu... Lukman si polisi atau Lukman si suami. Ia sudah tahu apa yang kumaksud saat aku memilih," aku Lukman.
Lirikan Sana bergeser ke arah Indah.
"Dan aku juga setuju. Cemburu melihat pasanganmu diselingkuhi itu sangat sakit," ujar Lukman mengarahkan pistolnya.
Lukman membidik Raga. Letusan terdengar.