Episode 38 -Mulai

527 Kata
Mencegah makhluk halus untuk masuk ruangan rasanya hampir mustahil. Persepsi mereka terhadap ruang berbeda. Dinding beton bisa jadi hanya seperti sarang laba-laba. Tapi bagaimana dengan manusia yang sudah dirasuki makhluk halus? Tentu saja dinding akan bisa ditembus... dengan k*******n. Bisa dibayangkan seperti batu yang dibalut kertas untuk menghancurkan sarang laba-laba. Berarti pertanyaannya satu: "Siapa yang menentukan dinding itu sekeras beton atau serapuh sarang laba-laba?" Raga yang duduk di kursinya menatap dengan penuh senyum senang. Tidak ada Baron di dekatnya. "Kembalilah pada istrimu!" Raga mengulurkan tangannya. "Tuntun aku." Indah tentu saja kesal. "Jangan bercanda," ia menampar tangan Raga. "Kau punya kaki, punya tangan, masih punya segala dan sehat. Untuk apa kau memintaku lagi." Indah menunjuk keluar. Raga berdiri dari kursinya. Indah menghela napas panjang karena akhirnya biang masalah mau bertindak. Keinginan menamparnya masih kuat tapi ia juga perlu berbicara dengan Lukman di luar sana. Menyelesaikan masalah Sana dan Raga menurutnya akan memudahkannya mengkonfrontir Lukman. Raga tentu saja tidak ingin bibit kekacauan ini selesai. Dengan satu gerakan ringan, yang tidak diantisipasi Indah, ia mencium bibir Indah. Kepalang terkejutlah Indah. Tangannya bergerak cepat. Satu tamparan, dari tangan kiri. Mencelatlah kepala itu tertebas putus oleh tangan kiri. Indah tercekat. Ia memandang tangan kirinya. "Ke-kenapa tangan kiri yang bergerak?" Indah mencoba bertanya pada si bocah -dalam kepalanya. Tapi tidak ada jawaban. "Dia target?" Juga tidak ada jawaban. Indah melihat darah mulai muncrat dari leher tersebut. Darah itu menggenangi lantai dan perlahan membasahi kakinya. Yang ia lihat adalah darah itu merambat naik ke betis dan terus naik sampai ke dadanya. Indah panik tapi suaranya seperti hilang tertelan kabut. Megap-megap ia berusaha mengambil napas saat gelap tinta darah itu seakan menelannya. "JALANG!!" Tapi segala ilusi itu buyar begitu teriakan Sana terdengar. Saat tersentaklah ia melihat kalau ia sedang memeluk Raga. Tidak ada kepala yang putus. Tidak ada darah. Hanya ada Raga yang memeluk dan Indah yang memeluk balik. Tidak perlu penjelasan apapun bila bukti sudah di depan mata. Apalagi ini dilakukan oleh pihak yang sangat dibenci. Indah melempar tubuh Raga ke arah Sana. Jelas ia jijik dengan segala yang baru saja dialaminya. Ia tidak bisa menduga ilusi atau apa yang baru saja dialaminya. Bahkan ia meludah untuk membuang sisa sensasi menjijikkan yang mengingatkannya akan masa lalu. Sana menangkap tubuh Raga yang pucat. Hanya bibir Raga yang masih terlihat hidup dan merah. Tangan Raga yang terkulai lemas dan bekas luka panjang melintang di leher memastikan kesimpulan Sana kalau Raga sudah tiada. Dari sekedar ketidaksukaan berubah jadi kebencian yang terjustifikasi. Sana meletakkan raga suaminya yang tidak lagi bergerak di tanah. "Sudah selingkuh, membunuh suami orang pula." Indah tidak suka dengan tuduhan itu. Harusnya mudah baginya untuk menepis segala tuduhan –atau setidaknya mengatakan tidak. "Menjaga suami saja tidak bisa. Lain kali kandangin saja sekalian biar dia tidak bisa menjamah perempuan lain. Suami kecentilan." Indah memilih perang. Alasannya? Suami istri sama-sama biang petaka. Baik Raga maupun Sana adalah bom waktu. Indah berpikir mungkin lebih baik keduanya tidak ada saja sekalian. Gudang yang sepi menjadi saksi mendekatnya kedua perempuan ini. Setiap langkah yang makin memupus jarak, makin panas pula udara di titik pertemuan keduanya. Secara bersamaan pula, tangan kiri Indah dan tapak kanan Sana bergerak mengincar tubuh lawan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN