Lukman terbangun dengan nanar. Ia memegang lehernya yang berdarah lalu bangkit perlahan.
Lukman tahu apa yang dilakukan oleh si Wakil. Sebelum lehernya ditusuk, ia melihat kata 'maaf' di atas kepalanya. Setelah terbangun ia membaca satu paragraf.
'Si Wakil melakukan itu agar Sana tidak galau. Kau ingin keluar dan ia memberikan jalan padamu. Waktumu tidak banyak, segera temui Indah.'
Membaca ini jelas mengaduk Lukman dari kepala, perut, sampai hati. Ditambah lelah kekurangan darah, ia hampir-hampir merasa mati lebih baik. Tapi ia harus mengontak atasannya.
Lukman mengambil ponsel di saku celananya. Ia beruntung masih membawa ponsel yang masih baterenya tersisa setengah. Ia menekan nomor kapolsek.
"Briptu Lukman?"
"Pak..."
"Saya tahu apa yang mau kamu laporkan. Tapi percuma. Polda sudah siap dengan pilihan mereka. Geng Selatan akan mengeksekusi Sana dan suaminya."
Lukman membaca lagi kalimat yang muncul dari percakapan itu.
'Polda sudah berkolusi dengan Geng Selatan untuk melenyapkan Jas Merah. Mereka akan gagal. Polda akan rata. Pemerintah akan dikangkangi penghuni dunia bawah.'
Lukman keringat dingin.
"Ada cara untuk menghentikan ini?" tanya Lukman
"Tidak ada. Pasrah saja. Aku juga sudah dijauhkan dari konspirasi polda. Hey, Lukman. Bagaimana kalau kau kuberi cuti saja sekalian?"
Tapi kalimat yang melayang mendikte hal berbeda.
'Ada. Harus ada yang mati dalam p*********n. Sana atau Raga tidak boleh mati.'
Lukman merutuk. Ia tidak mengerti mengapa dua orang yang harusnya biang bencana itu justru jadi pihak yang tidak boleh kalah.
"...Baik," ujar Lukman
"Pilihan bijak. Pergilah bersama istrimu menjauh dari kota tidak jelas ini. Kalau bisa jangan lagi terlibat dengan orang seperti Sana."
'Jangan mencoba kabur dari situasi ini.'
Lukman marah. Atau ingin marah. Tapi kemampuan barunya ini, lengkap dengan dunia hitam putih tidak pernah salah.
"Mungkin kau kesal tapi demi kepentingan bersama. Kita masih butuh polisi sepertimu. Kita masih bisa membangun kembali apa yang hancur bila masih hidup."
'Kau masih dibutuhkan. Jangan sampai apa yang kau perjuangkan sia-sia. Istrimu akan menjadi korban.'
Dua-duanya seakan ingin menarik Lukman ke sisi masing-masing. Sialnya, tarikan ke sisi kalimat terlalu kuat. Pun andai ia ingin mengikuti saran atasan, ia tidak bisa. Indah hanya menghubungi melalui surel saja.
Mengingat kalau Indah juga mengirim dengan surel, tanpa ponsel, dan terlihat di atap gedung. Rasanya mustahil bagi Lukman untuk mengontaknya lagi.
Lukman menderitkan giginya. Ia mencoba mencari jawaban dengan terus bertanya apa solusi terbaik tapi kalimat tidak berubah. Sampai tiba-tiba ia menemukan sebuah solusi.
"Pak, kalau saya ingin membantu, apakah saya bisa meminta bala bantuan?"
"Saya tidak punya kuasa lagi."
"Kalau begitu, saya tidak akan minta izin bapak lagi. Saya bisa tanya pada rekan."
"Lukman!"
Lukman mematikan ponselnya. Ia membuka kontaknya. Sebelum ia menekan tombol, ia melihat susunan kalimat lagi.
'Jangan membawa pasukan tambahan. Suasana akan makin kacau. Semua bisa mati.'
Lukman menimbang. Apakah ia akan menerima saran lagi dari kemampuan barunya. Ia sudah menantang atasan juga dengan memilih untuk masuk ke medan pertempuran.
Kepalanya panas; bukan karena efek kemampuannya melainkan karena ia tidak boleh membiarkan Raga dan Sana mati. Tambah lagi ia secara tidak langsung berniat membawa tumbal. Ia pernah mendengar kalau manajemen taktis juga berarti manajemen korban. Bisa jadi keputusannya membawa masalah lebih banyak.
'Kau akan menyesal.'
Meledaklah isi kepala Lukman, tidak literal tentunya. Ia diajarkan hierarki dalam kepolisian dan sifatnya absolut. Ia sudah berani melawan itu sementara sekarang kemampuan itu menyuruhnya untuk menyerah. Memangnya siapa yang menentukan hierarki itu dalam takdir?
Lukman menekan ponselnya sambil menekan luka di lehernya. Tidak lagi ada lelah, tidak lagi ada pusing. Fisik dan hati Lukman siap menantang takdir.